Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Melihat itu, Najwa Shihab, putri kedua Quraish yang saat itu duduk di sampingnya, membantu membukakan kantong kurma tersebut. Ayah-anak itu lantas bertatapan sambil tersenyum-senyum. Mereka seolah saling bicara lewat mata, tanpa harus berucap.
Najwa kemudian memasukkan sedotan ke gelas air mineral Quraish tanpa diminta. Kala itu, mereka usai mengisi acara dakwah Shihab & Shihab yang dipandu Najwa Shihab sendiri. Tentu Quraish yang notabene cendekiawan muslimlah yang menjadi pembicara.
Kedekatan ayah-anak itu tampak di sepanjang acara. Najwa terlihat memperlakukan Quraish dengan lembut. Ia, misalnya, kerap menyentuh lengan Quraish saat memanggil “Abiku” pada sang ayah. Sebaliknya, Quraish tak jarang melontarkan kelakar halus kepada Najwa.
Tindak tanduk manis juga terlihat dalam interaksi antara Quraish dengan putri ketiganya, Nasywa Shihab. Terasa betul kehangatan di antara mereka ketika Nasywa menggandeng dan menggenggam tangan kanan abinya itu.
Gerak-gerik sederhana itu setidaknya menggambarkan betapa kasih sayang yang sering ditekankan Quraish dalam materi bahasannya, ia tanamkan mulai dari keluarga.
“Hidup ini cinta. Apa pun problema Anda, jawablah dengan cinta. Planet ini beredar di sumbunya karena cinta. Manusia diciptakan Tuhan karena cinta,” kata Quraish saat berbincang dengan kumparan di Pusat Studi Al-Quran, Ciputat, Tangerang Selatan.
Bahasan soal cinta itu akan ia ulas panjang lebar pada buku barunya, Jawabannya adalah Cinta, yang akan segera terbit. Di usianya yang ke-75 tahun kini, buku itu akan menjadi buku ke-72 Quraish. Menulis memang jadi bagian lekat dari kehidupan seorang Quraish.
“Hidup saya di tengah buku dan menulis. Bangun tidur saya sudah di depan komputer, menulis. (Setelah berkegiatan di luar lalu) kembali ke rumah dan istirahat sebentar, sore atau malam juga menulis. Itulah hidup saya,” kata Quraish yang menghabiskan waktu di depan komputer tak kurang dari lima jam setiap harinya.
Quraish yang mendalami ilmu tafsir memang dikenal senang belajar sejak muda. Sahabatnya semasa kuliah di Mesir, KH Ahmad Mustofa Bisri alias Gus Mus—Dewan Penasihat Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, sering mengatakan Quraish tipe orang yang tekun belajar.
“Saya di sana (Mesir) main-main. Ketika dia jenuh melihat kitab-kitab, dia main bola. Kalau saya memang pekerjaannya main bola, cuma kadang-kadang saja lihat buku,” kelakar Gus Mus dalam Mata Najwa edisi Cerita Dua Sahabat.
Kecintaan Quraish pada Al-Quran didapat langsung dari ayahnya, Habib Abdurrahman Shihab yang ia panggil dengan sebutan “Aba.” Abdurrahman ialah seorang dosen dan guru besar ilmu tafsir—persis Quraish kini.
Menghabiskan masa kecil di Makassar, Quraish lalu merantau ke Jawa untuk belajar di Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah Malang. Sesudahnya, ia melanjutkan studi ke Mesir, pada usia 14 tahun. Kala itu Quraish dan adiknya, Alwi Shihab, harus berlayar selama 16 hari menuju Mesir.
Quraish meraih gelar master dan doktor di bidang tafsir Al-Quran di Universitas Al-Azhar Kairo. Hingga kini, ia masih terus belajar. Baginya, belajar tak pernah usai dan tak akan pernah cukup. Meski demikian, ia tak mau digelari kiai dan habib walau memiliki garis keturunan habib dari sang ayah.
“Kalau ilmu tidak memadai, akhlak tidak luhur, dia tidak mencerminkan akhlak rasul. Maka tidak wajar dipanggil habib. Ilmu saya belum dalam, akhlak saya belum sesuai dengan yang diajarkan agama. Jadi tidak usah panggil saya habib. Biar saya berjuang dulu,” kata dia.
Seiring dengan itu, Quraish selalu berpesan untuk memahami Al-Quran secara kontekstual, tak sekadar tekstual. “Kita tidak mau Al-Quran hanya diterapkan di bumi masa lalu. Kita mau menerapkan Al-Quran di bumi Indonesia. Masyarakat kita beda dengan masyarakat Barat dan Timur Tengah. Maka kita perlu terbuka. Mari bekerja sama,” kata dia.
Tak heran salah satu buku pertama Quraish berjudul Membumikan Al-Quran. Buku yang terbit pada 1994 itu hingga kini begitu populer dan disebut-sebut sebagai karya monumental Quraish.
Buku tersebut, ujar Quraish, ingin menyampaikan bahwa Al-Quran perlu ditafsirkan secara tepat agar dapat diterapkan sesuai kondisi dan masa saat ini.
“Al-Quran dinamai juga hidangan Tuhan. Ia terdiri dari beragam hidangan. (Isi) Al-Quran dapat ditafsirkan bermacam-macam. Tapi ada kaidah-kaidah penafsiran. Bisa saja berbeda penafsiran akibat perbedaan kecenderungan seseorang. Selama tafsiran itu tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah penafsiran, kita terima,” kata Quraish.
Apalagi, tuturnya, “Pemahaman atas suatu ayat tak bisa lepas dari budaya seseorang dan perkembangan ilmu pada zamannya. Maka bisa saja penafsiran masa lalu berbeda dengan masa kini.”
Ia menekankan, “Islam bisa menjadi agama yang sesuai di setiap waktu dan tempat karena interpretasinya bisa berbeda-beda dalam rincian ajarannya. Jadi tidak usah tuduh orang lain sesat. Allah yang lebih tahu. Selama tujuan kita ke sana (jalan Allah), insyaallah dirahmati.”
Jalan moderasi itu membuat Quraish menjalin pertemanan tak hanya dengan ulama-ulama muslim, tapi juga rohaniwan agama lain. Bagi Quraish, mewujudkan nilai-nilai Islam tak terbatas hanya pada relasinya dengan muslim.
“Beliau menyampaikan secara nyata apa sebenarnya sikap dan hati orang yang betul-betul islami,” kata Franz Magnis-Suseno, budayawan dan rohaniawan Katolik, dalam buku biografi Quraish, Cahaya, Cinta dan Canda M Quraish Shihab.
Tentu, jalan moderasi Quraish bukannya selalu mulus. Ia bahkan sempat dituduh Syiah. Dan Quraish menjawab tegas, seperti yang juga ia muat dalam biografinya.
“Saya bukan NU, Muhammadiyah, Sunni, atau Syiah. Saya berada di tengah. Usahakanlah mempertemukan dua hal yang berbeda bahkan bertolak belakang. Mempertemukan hati dengan akal, iman, dan ilmu,” ujarnya.
Demi menciptakan moderasi, Quraish mendirikan Pusat Studi Al-Quran (PSQ) 15 tahun lalu. Ini lembaga nonprofit yang bertujuan membumikan Al-Quran ke tengah masyarakat pluralistik, dan melahirkan kader mufasir (ahli tafsir) profesional.
Belum lama ini, PSQ meluncurkan platform Cari Ustadz, aplikasi untuk membantu masyarakat mencari ustaz sesuai kebutuhan, baik untuk pengajian atau kegiatan rohani lain. Ustaz-ustaz yang terdaftar pada aplikasi itu, menurut Quraish, seluruhnya membawa ajaran moderasi.
“Tidak ekstrem ke kiri, tidak ekstrem ke kanan. Moderasi itulah yang terbaik,” tutur Quraish.
Pemimpin CariUstadz.id, Ali Nurdin, mengamini. “Kami berada di tengah dan berpikiran terbuka.” Jalan ini juga disebut Islam Wasathiyah (mengambil jalan tengah atau moderat).
Quraish juga mengingatkan umat untuk merangkul keragaman, dan tidak sedikit-sedikit menyebut pihak yang berbeda keyakinan dan pandangan sebagai “sesat” atau “salah”.
“Padahal Al-Quran saja mengajarkan pada Nabi agar kepada orang-orang yang bertentangan dengan prinsip ajaran agama dan mempersekutukan Tuhan, sampaikan, ‘Boleh jadi kamu yang benar, boleh jadi saya yang benar. Kalian tidak akan dimintai pertanggungjawaban mengenai dosa-dosa kami. Kami pun tidak akan dimintai pertanggungjawaban menyangkut apa yang kalian lakukan. Tuhan yang akan putuskan.’”
Tutur kata yang baik, menurut Quraish Shihab , selalu digunakan Nabi Muhammad saat berdakwah, sehingga selayaknya Islam disebarkan dengan cara demikian—lembut dan ramah.
“Tuhan itu kasih. Jangan gambarkan Tuhan itu kejam. Rahmatnya jauh lebih luas dari dosa kita. Tampilkan kasih, jangan tampilkan dendam dan amarah,” ujarnya.