Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Robi dulu seorang gay. Ia pertama kali tertarik dengan sesama jenis saat duduk di bangku SMA pada 2004. Robi merasa nyaman ketika sedang bersama kakak kelasnya yang laki-laki.
“Dia lulus duluan... Saat itu ada rasa kehilangan,” kata Robi, Rabu (22/3). Kepada kumparan, ia meminta nama aslinya tak disebutkan.
Selepas SMA, Robi mencari tahu keberadaan kakak kelasnya. Ia memutuskan untuk mendaftar ke Perguruan Tinggi Negeri tempat kakak kelasnya berkuliah. Tak disangka ia lolos, bahkan satu jurusan dengan kakak kelasnya.
Menginjak semester 4, Robi memberanikan diri untuk mengutarakan perasaannya lantaran kakak kelasnya itu tak lama lagi lulus kuliah.
“Dia marah. Akibat kejadian itu, saya jadi benci,” kata Robi.
Namun, kebencian itu malah membuat Robi mencari sosok lain yang mirip kakak kelasnya, hingga ia merasa menemukannya. Orang itu tak lain teman kuliah Robi. Mereka menjalin hubungan sejak semester 6 sampai lulus kuliah pada 2011.
Lulus kuliah, Robi tak melanjutkan hubungan dengan temannya. Ia yang berasal dari sebuah daerah di Jawa Barat, merantau ke Bogor.
Jauh dari keluarga membuat pergaulan Robi semakin liar. Ia kembali menjalin hubungan sesama jenis pada 2012 sampai 2014.
Meski bertahun-tahun menjadi LGBT, Robi tidak pernah ikut kampanye mendukung legalisasi LGBT di Indonesia. Ia merasa perilakunya salah dan tak sesuai adat ketimuran. Menurut Robi, teman-temannya yang bergabung dengan komunitas tertentu dan menyuarakan legalisasi LGBT pun sesungguhnya mengalami siksaan batin.
“Mereka orang-orang yang gelisah, butuh tempat cerita, perlu diarahkan jadi baik. Bukan merasa ‘Ya sudah nikmati saja…’ Enggak begitu, salah banget,” kata Robi.
Perasaan tak tenang itu pula yang dirasakan Robi. Selama bergaul di dunia LGBT selama hampir satu dekade, Robi jauh dari kenyamanan hidup. Ia merasa sakit hati dan kerap dimanfaatkan sehingga motivasi belajar serta bekerjanya menurun.
“Dari situ saya berpikir sudahlah, kayaknya harus keluar dari dunia ini,” ucap Robi.
Robi mencari wadah untuk keluar dari dunia LGBT. Ia menemukan grup hijrah di Facebook. Grup itu berisi para LGBT yang merasakan hal serupa Robi. Namun grup tersebut hanya wadah curhat tanpa solusi.
Sampai akhirnya Robi menemukan Yayasan Peduli Sahabat pada 2014. Di yayasan ini, ia mendapat pendampingan selama hampir 2 tahun hingga bisa kembali seutuhnya menjadi lelaki.
Walau sempat goyah pada awalnya, Robi berusaha istikamah. Dan setelah jatuh bangun mencari pasangan hidup, ia akhirnya menikah pada 2018. Kini, Robi telah dikaruniai dua anak.
“Allah sudah baik ke saya. Saya menikah dan alhamdulillah sampai sekarang bisa stay. Walau tidak dipungkiri kalau melihat ‘sesuatu’ yang menarik masih dilihat, tapi tidak seperti dulu. Saya berusaha istikamah,” kata Robi.
Renaldi, eks gay di Jakarta, juga merasa resah ketika berada di dunia LGBT. Renaldi sudah merasa berbeda dengan kawan-kawan lelakinya sejak kelas 3 SD.
Suatu ketika, ia dan teman-temannya tak sengaja menemukan gambar porno perempuan. Kawan-kawannya amat tertarik melihat gambar tersebut, namun Renaldi tidak. Pun begitu, ia pura-pura suka melihat gambar itu agar tidak dipandang aneh.
Renaldi mulai sadar bahwa ia menyukai sesama jenis saat duduk di bangku SMP. Ketika itu ia tertarik dengan guru laki-laki di sekolahnya. Namun ia memendam hasratnya sampai dewasa. Renaldi tidak pernah menjalin hubungan dengan sesama lelaki meski menyukai mereka.
“Semua itu bisa saya kendalikan karena bisa merasa puas dengan hanya menonton video porno dan masturbasi. Saya juga takut berdosa karena zina homoseksual sangat dilaknat Allah,” kata Renaldi yang juga meminta namanya disamarkan.
Di sisi lain, Renaldi kerap mendengar ada kelompok LGBT yang menyebut homoseksual sebagai bawaan lahir dan tidak dilarang agama. Apa pun itu, Renaldi yang terus dilanda resah akhirnya memutuskan untuk kembali ke asalnya sebagai lelaki.
Pria 40 tahun itu terbantu karena faktor dorongan agama dalam hatinya. Renaldi ingin hidup sebagai lelaki normal yang berkeluarga. Upayanya tak sia-sia. Saat ini ia dan istrinya telah dikaruniai dua orang anak.
Selain Robi dan Renaldi, Siska juga pernah mengalami pergulatan serupa. Perempuan 30 tahun yang tinggal di Sumatera Utara itu suka dengan sesama jenis sejak kelas 2 SMP. Ia bingung dan berusaha mencari jawaban sendiri, namun tak berhasil. Akhirnya Siska memendam saja perasaan itu sampai kuliah.
Semasa kuliah, Siska ingin mengekspresikan hasratnya dengan mencoba bergabung ke komunitas LGBT. Ia menghubungi nomor telepon salah satu anggota komunitas yang ia temukan di internet. Tak disangka, komunitas itu justru menasihatinya agar urung bergabung.
“Jangan coba-coba gabung karena ini enggak baik dan kamu pasti akan menyesal,” ujar anggota komunitas itu, seperti ditirukan Siska.
Siska—yang nama aslinya disamarkan—jadi terkejut. Pada titik itu, ia kerap gelisah, bad mood, dan marah-marah tanpa sebab.
Sampai suatu waktu, ia bertemu seorang senior di kampus yang mengenalkannya dengan dunia dakwah. Siska yang awalnya merasa tak nyaman, lama-lama merasa tenang. Ia bahkan kemudian dipercaya menjadi pengurus di departemen pembinaan kader.
Siska tak langsung menerima amanat itu. Ia merasa tak pantas. Ia lalu menceritakan soal dirinya yang sesungguhnya kepada pembina dakwah sekaligus guru mengajinya.
Siska merasa lega karena guru mengajinya—yang juga perempuan—ternyata tidak menghakimi dan menjauhinya. Sang guru menjadi secercah cahaya yang membimbingnya.
“Beliau malah merangkul, mendampingi, dan meyakinkan saya bahwa siapa pun saya, dengan orientasi seperti itu, kalau tetap dekat dengan Allah dan hidup di jalan yang benar, suatu saat akan diberi jalan untuk berubah,” tutur Siska.
Dari situlah Siska bertekad ingin sepenuhnya menjadi perempuan. Jalan terbuka baginya. Ia mendapat pendampingan penuh dari Yayasan Peduli Sahabat, seperti juga yang dialami Robi dan Renaldi.
Ribuan LGBT Mencari Jalan Kembali
Yayasan Peduli Sahabat mulai mendampingi LGBT sejak 2015. Pendirinya, Sinyo Egie, telah mendampingi LGBT secara pribadi mulai 2008.
Menurut Sinyo, ia telah mendampingi lebih dari seribu LGBT dalam rentang usia remaja (belasan tahun) hingga dewasa (sampai 50 tahun ke atas).
“Setelah menjadi yayasan, rata-rata setahun mendampingi sekitar 100–150 orang. Kalau sejak 2008 mungkin sekitar 2.000-an orang,” kata Sinyo, Selasa (21/3).
Pria bernama asli Agung Sugiarto itu mengatakan, yayasannya mendampingi LGBT dari semua agama, bukan hanya muslim. Pendampingan yang diberikan pun tidak berbayar.
“Kami basic-nya mendampingi secara Islam, tetapi menerima semua kalangan, bahkan ada yang ateis. Kami bantu secara psikologi,” ucap Sinyo.
Bagi Sinyo, LGBT tidak bisa disamaratakan. Berdasarkan pengalamannya mendampingi mereka, ada 3 tahapan ketika seseorang menjadi LGBT, yakni orientasi, tindakan, dan identitas.
Tahapan pertama, orientasi, merupakan fase ketika seseorang tertarik dengan sesama jenis (same-sex attraction—SSA) tetapi tidak pernah menjalin hubungan sesama jenis.
Tahapan kedua, tindakan, ialah fase ketika seseorang yang mengalami SSA telah menjalin hubungan dengan sesama jenis. Sementara tahapan terakhir, identitas, adalah seseorang dengan SSA yang telah berhubungan dengan sesama jenis dan menganggap hal itu sebagai anugerah Tuhan yang harus diperjuangkan.
Menurut Sinyo, LGBT yang berada pada tahap orientasi dan tindakan relatif lebih mudah untuk berubah ketimbang yang sudah berada pada tahap identitas.
LGBT yang didampingi Yayasan Peduli Sahabat kebanyakan baru sampai tahap orientasi dan tindakan. Ada pula yang sudah berada di tahap identitas dan ingin berubah, padahal mereka semula berniat menikah dengan pasangan sesama jenisnya atau melakukan operasi ganti kelamin. Namun, mereka kemudian gamang dan ingin tobat.
Menikah Bukan Hal Mudah
Sinyo menjelaskan, dorongan terbesar bagi LGBT untuk berubah adalah karena ingin hidup normal. Itu pula yang membuat mereka ingin membina rumah tangga. Namun, menikah bukan hal mudah buat mereka. Perlu pendampingan berkesinambungan agar mereka sampai pada jenjang pernikahan.
“Mungkin uang [untuk menikah] sudah ada, jodoh bisa dicari, tapi bingung misalnya malam pertama harus ngapain. Contohnya, mereka [yang gay] kalau melihat perempuan mau muntah. Sama seperti heteroseksual kalau melihat sesama laki-laki berhubungan kan mau muntah,” jelas Sinyo.
Untuk itu, Yayasan Peduli Sehat pun memiliki sejumlah tahapan dalam proses pendampingan. Tahap awal ialah mengedukasi LGBT dengan membaca buku, menonton video, atau mencermati file yang telah disiapkan.
Sinyo mengatakan, yayasannya tidak berupaya mengubah orientasi seksual LGBT, tetapi memodifikasi perilaku mereka agar sesuai dengan fitrahnya.
Tahap berikutnya setelah edukasi adalah inti pendampingan. Di sini, para LGBT akan diberi simulasi tentang apa yang akan terjadi ke depan jika ia memutuskan untuk hidup normal. Namun, pendampingan tidak bisa dilakukan seumur hidup lantaran keterbatasan SDM yayasan.
“Simulasi berjalan selama 6–7 bulan, tentang apa yang mereka hadapi di dunia nyata. Misalnya supaya enggak nonton video porno harus bagaimana,” ujar Sinyo.
Simulasi tersebut mencakup agar LGBT yang ingin menikahi lawan jenis bisa tertarik secara seksual kepada pasangannya. Tahapan ini ialah fase perubahan sudut pandang.
Faktor Pemicu Menjadi LGBT
Selama mendampingi ribuan LGBT dan mendengarkan cerita mereka, Sinyo melihat faktor pemicu seseorang menjadi LGBT bermacam-macam. Namun, menurutnya, faktor pemicu terbesar adalah pola asuh yang tidak ideal pada keluarga.
“Semisal tidak dekat sama bapaknya. Atau bapak ibunya tidak belajar ilmu parenting sehingga tidak tahu arah anaknya ke mana,” kata Sinyo.
Faktor kedua ialah gaya hidup dan pergaulan. Orang dengan orientasi seks normal atau heteroseksual bisa menjadi LGBT hanya karena coba-coba. Dan faktor ketiga ialah paparan konten pornografi.
“Awalnya yang ditonton video porno heteroseksual, kemudian menemukan yang lain (LGBT), lalu coba-coba,” ucap Sinyo.
Sinyo menyatakan, faktor keluarga paling krusial karena keluarga adalah tempat pertama anak bertumbuh. Keluarga pula yang mestinya bisa menjadi tempat keluh kesah anak ketika menghadapi masalah.
Ia mencontohkan, ada kliennya dari Bali yang menjadi LGBT karena pernah menjadi korban kekerasan seksual oleh tetangganya sewaktu SD. Klien tersebut tidak bercerita ke orang tuanya karena mereka tidak dekat. Dan seiring waktu, ia menjadi gay.
“Ini mengerikan. Setiap ada masalah terkait tumbuh kembang seseorang dan masalah itu tidak terselesaikan, akan menimbulkan efek yang bermacam-macam,” kata Sinyo.
Robi, Renaldi, dan Siska mengamini bahwa salah satu faktor yang dulu membuat mereka menjadi LGBT adalah keluarga yang tak ideal.
Robi menyebut pola asuh di keluarganya terlalu keras sehingga ia tak leluasa mengungkapkan isi hati. Kini, Robi bertekad agar anak-anaknya tidak mengalami hal semacam itu.
“Saya berusaha selalu ada untuk anak saya. Selalu hadir. Banyak anak laki-laki yang berubah seperti itu (gay) karena tidak dekat dengan ayahnya, lalu akhirnya mencari sosok lain. Losing father itu berbahaya,” ujar Robi.
Setali tiga uang, Renaldi pun kurang mendapatkan kasih sayang dari ayahnya
“Bapak saya orangnya keras, galak, dingin, pendiam, tidak dekat dengan anak. Bisa dibilang saya ini fatherless,” ucap Renaldi.
Siska juga merasa kehilangan kasih sayang keluarga ketika ayahnya meninggal dunia. Sejak itu, ia terpaksa tinggal bersama keluarga besar ibunya. Mirisnya, ia kemudian dilecehkan secara seksual oleh sepupu laki-lakinya.
Tak cuma itu, Siska menilai keluarga besar ibunya tidak bisa jadi panutan karena mereka sering menyakiti dan mengintimidasi ibunya.
“Dari rangkaian kejadian itu, saya jadi menganggap laki-laki adalah sosok yang menakutkan,” ucap Siska.
Pada 2016, Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) menyatakan bahwa orang dengan orientasi homoseksual dan biseksual dapat dikategorikan sebagai orang dengan masalah kejiwaan (ODMK), sedangkan transgender dikelompokkan sebagai orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).
Namun, sikap PDSKJI tersebut ditentang American Psychiatric Association (APA) yang kemudian menyurati PDSKJI. APA menekankan tak ada hubungan antara orientasi dan identitas seksual dengan kondisi mental seseorang.
“Ada komponen biologis yang kuat pada orientasi seksual, dan itu bisa dipengaruhi interaksi genetik, hormon, dan faktor-faktor lingkungan. Singkatnya, tiada bukti saintifik bahwa orientasi seksual, apakah itu heteroseksual, homoseksual, atau lainnya, adalah suatu kehendak bebas,” tulis Direktur APA Saul M. Levin dalam suratnya kepada PDSKJI seperti dikutip dari BBC Indonesia .
Stop Transfobia
Yayasan Peduli Sahabat tidak menyebut kalangan LGBT sebagai orang yang mengalami gangguan atau berpenyakit. Mereka lebih memilih istilah “tidak sesuai fitrah”.
Sementara organisasi yang mewadahi LGBT, Arus Pelangi, menegaskan bahwa LGBT bukanlah penyakit menular. Mereka pun tidak menyebarluaskan LGBT. Arus Pelangi hanya ingin masyarakat Indonesia menerima kenyataan atas adanya keberagaman orientasi seksual.
“Stop transfobia. Tidak perlu ada yang dibenci. Kami juga ciptaan Tuhan, kami juga manusia. Mari hidup berdampingan, tidak perlu saling saling membenci,” ucap Sekjen Arus Pelangi, Echa Waode, kepada kumparan.
Ia menilai keinginan sebagian LGBT untuk hidup normal sebagai hak mereka.
“Karena yang menciptakan kesedihan, kebahagiaan, dan kenyamanan ya individu itu sendiri,” kata Echa.
Psikolog Tika Bisono berpendapat bahwa LGBT merupakan penyimpangan yang disebabkan dua faktor: fisiologi dan psikososial.
Secara fisiologi, untuk menjadi laki-laki dan perempuan seutuhnya ada pengaruh kromosom, gen, dan hormon yang normal. Sementara secara psikososial, LGBT bisa terbentuk karena interaksi sosial yang kadang menimbulkan trauma.
“Peristiwa traumatik masa lalu juga sangat berpengaruh terhadap seseorang untuk menyeberang menjadi LGBT,” kata Tika.
Menurutnya, LGBT yang terpicu faktor psikososial masih bisa berubah, namun perlu dengan dukungan keluarga.
“Sayangnya mereka rata-rata diusir keluarga dan akhirnya bergabung dengan komunitasnya [yang berorientasi seksual sama]. Di Indonesia, untuk berterus terang [sebagai LGBT] itu masih sangat menakutkan,” kata Tika.
Ketua MPR Bambang Soesatyo menyebut LGBT tak sesuai dengan norma agama di Indonesia. Majelis Ulama Indonesia misalnya telah mengeluarkan fatwa bahwa hubungan seksual sesama jenis (liwath) adalah haram. Fatwa tersebut antara lain berdasarkan Al Quran surat An-Naml (54–55) dan Al-A’raf (80–81) yang menceritakan kisah kaum Nabi Luth yang homoseksual.
Dalam fatwa tersebut, MUI menyatakan orientasi seksual sesama jenis adalah kelainan yang harus disembuhkan. MUI juga merekomendasikan agar DPR dan pemerintah mencegah berkembangnya LGBT melalui sosialisasi dan rehabilitasi.
Senada, Pesamuhan Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) juga menolak perkawinan sejenis karena menyimpang dari tujuan perkawinan Hindu. Walau demikian, PHDI meminta umat Hindu tetap menyayangi LGBT, tidak mencemooh mereka, dan membantu mereka sembuh.
Sementara pemimpin Gereja Katolik, Paus Fransiskus, menyebut menjadi seorang homoseksual bukanlah kejahatan, melainkan dosa.
“Kita harus memisahkan antara dosa dan kejahatan,” kata Paus dilansir AP.
Adapun Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) menyatakan masih mengkaji soal LGBT. Persekutuan gereja Protestan tidak dalam posisi menghakimi orientasi seksual seseorang, sebab gereja-gereja memiliki pandangan beragam soal ini.
“PGI mengimbau negara untuk melindungi hak-hak setiap warga apa pun orientasi seksualnya, dan tidak mengkriminalisasi seseorang atas dasar pilihan orientasi seksual,” ujar Kepala Humas PGI Jerry Sumampouw, Sabtu (25/3).
***
Catatan redaksi: Paragraf 65–67 pada artikel di atas yang memaparkan ketidaksetujuan Asosiasi Psikiatri Amerika (APA) terhadap sikap Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) soal LGBT kami lengkapi dengan sumber referensi yang sebelumnya luput kami cantumkan.