Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
“Aku ingin pindah ke Meikarta .”
Ucapan gadis kecil di sebuah iklan televisi itu terngiang di telinga Nurul, mengingatkan perempuan 28 tahun itu pada keputusan yang ia buat lima tahun lalu. Sebuah keputusan yang kini ia sesali.
Ketika itu, iklan “Aku ingin pindah ke Meikarta” yang masif disebar lewat media cetak dan elektronik mengendap di kepala Nurul. Ia jadi ingin memiliki salah satu unit apartemen di Meikarta —proyek kota mandiri di Cikarang, Bekasi, yang dibangun oleh Lippo Cikarang.
Kakak Nurul pun mendukungnya agar segera punya hunian pertama. Nurul makin tertarik karena harga yang ditawarkan Meikarta masuk akal bagi karyawan baru yang masih melajang sepertinya: Rp 228 juta untuk tipe studio 1 kamar.
Nurul lantas membeli apartemen studio itu. Ia menyerahkan urusan administrasi pembelian kepada tim pemasaran Meikarta. Nurul memilih skema pembayaran angsuran melalui Kredit Pemilikan Apartemen (KPA) dengan tenor 15 tahun.
Setiap bulannya, ia menyisihkan separuh gajinya—yang total Rp 4 juta—untuk membayar cicilan apartemen. Ia membayar Rp 2 juta melalui Bank Nobu milik Lippo Group. Meski kadang cicilan Nurul dibayarkan mepet dengan kebutuhannya per bulan, ia bisa mengatasinya.
“Januari 2018 saya masuk cicilan pertama. Gaji saya masih Rp 4 juta. [Dari jumlah itu], Rp 2 juta untuk cicilan apartemen, Rp 800 ribu untuk kos, dan Rp 1,2 juta untuk makan dan kasih ke orang tua,” kata Nurul menjelaskan alokasi pengeluaran bulanannya kepada kumparan, Kamis (15/12).
“Saya berhemat… Impian saya punya tempat tinggal,” ujar Nurul.
Ia, seperti konsumen Meikarta lain, dijanjikan bahwa unit apartemen akan diserahterimakan pada 2019–2020. Pengembang Meikarta, PT Mahkota Sentosa Utama yang merupakan anak usaha Lippo Cikarang, menjamin serah terima unit bakal berlangsung di semua distrik, yakni Distrik 1, 2 dan 3. Unit Nurul terletak di Distrik 3.
Nurul berencana langsung menempati apartemennya sesudah serah terima. Ia berniat memangkas pengeluaran yang selama ini dialokasikan untuk membayar indekos. Apalagi, pada akhir 2018, Nurul menikah dan ingin membina keluarga di Meikarta—persis seperti gambaran iklan “Aku ingin pindah ke Meikarta”.
Baru setahun Meikarta diluncurkan, kasus suap perizinan megaproyek itu mencuat pada 2018. Nilai suapnya mencapai Rp 16,18 miliar dan SGD 270 ribu. Kasus tersebut menyeret antara lain petinggi Lippo Group Billy Sindoro dan Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin.
Pun begitu, Nurul masih berhusnuzan. Pengembang Meikarta meyakinkan bahwa kasus tersebut tak mengganggu pembangunan. Pengerjaan dijanjikan selesai sesuai tenggat.
Namun, dua tahun berlalu hingga 2020, Nurul tak kunjung mendapat kabar kapan huniannya bisa ditempati. Padahal, tahun itu Nurul melahirkan anaknya. Tanggungan hidupnya otomatis bertambah, tapi ia masih terpaksa mengontrak rumah karena ketidakjelasan proyek Meikarta.
Januari–Mei 2021, bertepatan dengan masa pandemi COVID-19, Nurul tak lagi bekerja. Seolah itu belum cukup, pada tahun itu pun ia berpisah dengan suaminya. Beban hidup Nurul jadi berlipat. Meski demikian, Nurul tetap berusaha mencicil KPA Meikarta dengan menguras tabungannya.
Cicilan itu tak pernah putus selama 4 tahun penuh, walaupun tak pernah jelas pula kapan Meikarta selesai dibangun.
Menjelang tahun kelima, Nurul bangun dari mimpinya. Sebuah mimpi hampa tentang Meikarta.
Nurul tersadar, impiannya memiliki hunian pertama di Meikarta justru menjadi beban. Setelah 4,5 tahun, ia memutuskan menghentikan cicilannya.
“Saya email ke Bank Nobu sebagai pemberitahuan kepada mereka alasan saya berhenti [mencicil] karena tidak ada kejelasan kapan apartemen itu terbangun,” kata Nurul.
Respons Bank Nobu tidak mengenakkan. Catatan kredit Nurul dalam Sistem Layanan Informasi Keuangan OJK diancam menjadi kredit macet sampai unitnya dieksekusi walau secara fisik unit itu tidak ada.
Nurul tutup mata. Ia tak peduli. Ia kenyang makan janji-janji kosong Meikarta. Terlebih, berdasarkan penjelasan pengembang, serah terima unit apartemen berlangsung maksimal pada 2027 sesuai putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 328/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN Niaga Jkt.Pst tentang penundaan kewajiban pembayaran utang oleh PT Mahkota Sentosa Utama.
Artinya, Nurul bisa saja baru menerima apartemen yang ia dulu ia impikan itu pada 2027—mundur 7-8 tahun dari janji awal yang pernah ia terima.
“Kini saya single mom. Sungguh berat beban di pundak jika harus terus mencicil tanpa kejelasan,” keluh Nurul yang sampai saat ini masih mengontrak rumah di Bandung.
Jual Aset demi Bayar Cicilan
Bukan cuma Nurul yang termakan janji kosong Meikarta. Banyak konsumen lain yang bernasib serupa, antara lain Waluyo, Hendra, dan Aep Mulyana.
Hendra, warga Malang, terbuai iklan Meikarta yang saat itu gencar dipromosikan di pusat perbelanjaan kotanya. Wiraswasta di bidang pariwisata itu lantas mengambil satu unit apartemen seharga Rp 350 juta. Ia memakai skema KPA dengan angsuran Rp 4,65 juta per bulan dan tenor 5 tahun. Ia dijanjikan bisa menempati apartemen di Distrik 1 itu pada 2019.
“Rencananya dulu kami sekeluarga mau pindah ke Meikarta dari Malang. Karena saya lihat promonya luar biasa. Kalau pindah ke sana, saya mau sekolahkan anak [di Meikarta juga], enggak perlu sampai di luar Meikarta,” kata Hendra.
Meikarta memang menjanjikan fasilitas lengkap untuk calon penghuninya, mulai pelayanan kesehatan, hiburan, retail, olahraga, sampai pendidikan.
“Cuma kenyataannya…” ujar Hendra menggantung ucapannya.
Kenyataan tak sesuai impian. Meikarta, kota modern dan ramah lingkungan yang dijanjikan akan menjadi pusat bisnis baru, adalah imaji yang tak nyata.
Hendra selaku calon penghuni Meikarta hanya bisa gigit jari. Ia harus terus membayar cicilan apartemen yang belum ada wujudnya meski usahanya terpuruk di masa pandemi. Padahal, sejak 2020 Hendra tak punya pemasukan.
Dua tahun belakangan ia harus berjibaku untuk bertahan hidup sekaligus membayar angsuran. Hendra terpaksa menjual harta bendanya seperti motor dan mobil.
“Waktu pandemi sebenarnya saya sudah enggak kuat bayar cicilan karena enggak ada pemasukan. Istri saya sampai stres. Tapi saya diancam-ancam terus sama Bank Nobu. Telat bayar 1–2 hari saja sudah diancam unit hangus atau hilang,” keluh Hendra.
Di tengah segala kesulitan itu, Hendra mampu melunasi KPA pada pertengahan 2022, setelah lima tahun mencicil. Masalahnya: apartemen belum ada juga walau cicilan lunas.
Hendra tak kunjung menerima kejelasan soal apartemen yang ia beli. Ia malah dapat kabar bahwa batas serah terima unit diperpanjang sampai 2027.
Sungguh janggal. Serah terima unit yang sedianya berlangsung 1–2 tahun sesudah akad jual beli jadi molor panjang sampai 8–9 tahun.
“Setiap saya ke Bekasi, saya sempatkan nengok [Meikarta], itu enggak ada jawaban dari pengembang. Saya tanya ke Bank Nobu status apartemennya seperti apa, juga [dijawab] enggak tahu. Konyolnya, saat saya minta refund, dijanjikan di 2027, itu pun masih diangsur,” ucap Hendra.
Meikarta memang menjadi beban bagi banyak orang. Mereka yang membeli unit apartemen di Meikarta bak sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah terhimpit kesulitan ekonomi akibat pandemi, masih menanggung cicilan yang barangnya masih khayalan.
Selain Nurul dan Hendra, ada pula Waluyo. Wirausaha di bidang kuliner itu mengambil dua unit apartemen sekaligus dengan cicilan Rp 3,6 juta per bulan selama 15 tahun. Kedua unit apartemen itu ia anggap sebagai investasi. Nantinya, dua apartemen itu akan ia kontrakkan dan hasilnya bisa untuk menguliahkan kedua anaknya.
“Ternyata [rencana itu] meleset semua,” kata Waluyo.
Serah terima dua unit apartemennya yang seharusnya berlangsung pada 2019 belum terealisasi hingga kini. Padahal, demi membayar cicilan Meikarta di tengah pandemi, Waluyo sampai harus menjual 2 dari 4 outlet makanan miliknya.
Sampai akhirnya Waluyo tak sanggup lagi dan berhenti mencicil pada 2021. Waluyo kemudian bertanya ke Bank Nobu mengenai status apartemennya. Ia diminta menghubungi PT Mahkota Sentosa Utama (MSU) selaku pengembang.
PT MSU selalu berkata apartemen tersebut masih dalam progres. Padahal, setahu Waluyo yang kerap melewati kawasan Meikarta, lahan yang diklaim pengembang akan dibangun apartemen, sebagian masih berupa tanah merah.
Menghentikan cicilan membuat Waluyo menerima surat peringatan 1, 2, dan 3 dari Bank Nobu. Utusan bank bahkan pernah mendatangi rumahnya dan memfoto-foto.
“Saya bilang, ‘Ngapain foto-foto? Saya kan enggak menjaminkan rumah saya.’ Dia [utusan Bank Nobu] maksa. Terakhir, saya terima surat bahwa unit saya sudah enggak ada (hangus). Semua dilakukan sepihak tanpa konfirmasi [ke konsumen],” kata Waluyo.
Mimpi buruk Meikarta juga dialami Aep Mulyana. Tergiur iklan Meikarta sebagai Jakarta Baru dengan segala kecanggihan teknologinya membuat Aep sempat ingin membeli 3 unit apartemen sekaligus. Namun ia kemudian memutuskan mengambil 1 unit apartemen saja senilai Rp 200 jutaan.
Apartemen di Distrik 3 Meikarta itu ia beli tunai bertahap selama dua tahun. Aep berencana menyewakan apartemen tersebut. Apa boleh buat, rencana tinggal rencana.
Aep mengendus ketidakberesan proyek Meikarta pada awal 2018. Ketika itu, ia ditawari relokasi unit dari Distrik 3 ke Distrik 2 melalui adendum surat Penegasan dan Persetujuan Pemesanan Unit (PPPU). Adendum tersebut hanya berjarak tiga bulan dari ia meneken PPPU pada Oktober 2017.
“Dalam adendum ternyata ada ketentuan yang diubah. Penalti keterlambatan [serah terima unit] dari 1% jadi 0,5% [per bulan dari harga unit]. Kemudian ada grace period (masa tenggang) serah terima selama 6 bulan. Sebelumnya enggak ada,” kata Aep yang baru mengetahui perubahan ketentuan itu belakangan setelah tanda tangan.
Kasus suap Meikarta menambah kekhawatiran Aep. Tapi lagi-lagi, manajemen Meikarta memberi janji bahwa kasus tersebut tak akan mengganggu pembangunan apartemen.
“Saya terbuai janji dua kali karena nama besar Lippo. Saya percaya rayuan itu meskipun masih [lahan] kosongi,” kata Aep kepada kumparan di Bekasi, Rabu (14/12).
Cicilan Aep lunas pada Oktober 2019. Setelah masa tunggu 6 bulan, Aep terus menagih serah terima unitnya kepada pengembang. Ia diminta menunggu lagi sampai 2021. Dan ketika pada 2021 ia kembali meminta kejelasan, jawaban yang ia dapat membuatnya geram. Ia diminta mematuhi putusan PKPU bahwa serah terima maksimal 2027.
“Saya baru tahu itu ada PKPU. Saat saya gencar datang ke Meikarta sejak lunas pada 2019, belum ada PKPU. Begitu datang lagi, diminta patuh PKPU, harus nunggu 7 tahun lagi. Betapa kesalnya saya,” ujar Aep.
Di tengah kejengkelan Aep, Lippo Group menawarinya untuk relokasi ke Distrik 1 yang sudah dibangun hunian lain di bawah Lippo seperti SOHO New York, Newville, dan Rolling Hills. Menurut Aep, hampir seluruh konsumen ditawari relokasi.
Namun, relokasi itu tak cuma-cuma. Konsumen dibebani biaya tambahan, sedangkan uang yang sudah disetorkan ke Meikarta hanya dianggap sebagai uang muka (down payment).
“Cicilan [unit apartemen] yang sudah dibayar hanya sebagai DP, dan mulai dari 0 lagi. Di situlah pintar menipunya, supaya secara bisnis enggak akan repot-repot dituntut, malah punya keuntungan dari cicilan yang baru,” kata Aep.
Banyaknya korban yang senasib dengannya membuat Aep dkk. membentuk Perkumpulan Komunitas Peduli Konsumen Meikarta (PKPKM). Mereka menempuh jalur non-litigasi di luar pengadilan untuk meminta pengembalian dana dengan menemui PT MSU dan Bank Nobu. Mereka juga mengadu ke Presiden Jokowi melalui surat terbuka dan beraudensi dengan Komisi V DPR.
Terkait komplain para konsumen Meikarta tersebut, kumparan berkali-kali menghubungi manajemen Meikarta seperti Chief Marketing Officer Meikarta Lilies Surjono. Namun panggilan telepon dan pesan tertulis kumparan kepadanya tidak mendapat tanggapan. Pun daftar pertanyaan tertulis yang diajukan kumparan secara tertulis pun tidak direspons.
Berlindung di Balik PKPU
Saat launching Meikarta pada 2017, Lippo Group menargetkan membangun 400 ribu unit apartemen yang dilengkapi berbagai fasilitas umum hingga komersial seperti rumah sakit, sekolah, hingga mal. Proyek ambisius itu memakan anggaran Rp 278 triliun.
Pada tahap awal, Lippo berencana membangun sekitar 250 ribu unit apartemen yang ditargetkan tuntas pada 2019–2020. Namun, baru menyerahkan beberapa unit pada Maret 2020, tujuh bulan kemudian PT MSU digugat di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dengan nomor 328/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN Niaga Jkt.Pst.
Pengembang Meikarta itu digugat PT Graha Megah Tritunggal lantaran belum membayar jasa keamanan. Namun, nilai tunggakannya tak disebutkan.
Dari gugatan tersebut, majelis hakim menjatuhkan status Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sementara kepada PT MSU pada 9 November 2020.
Majelis hakim juga mengabulkan permohonan PT Graha Megah Tritunggal dengan menunjuk empat kurator sebagai tim pengurus. Majelis hakim meminta tim pengurus memanggil debitur (PT MSU) dan para kreditur dengan surat tercatat atau melalui kurir pada sidang 18 Desember 2020.
Pada 12 November 2020, tim pengurus mengumumkan status PKPU sementara PT MSU di Harian Republika dan Harian Terbit. Dari pengumuman tersebut, muncul sejumlah kreditur lain yang turut menuntut haknya kepada PT MSU seperti PT Visionet Data International dengan tagihan senilai Rp 28 miliar, PT Multi Dimensi Kreasindo senilai Rp 29,7 miliar, dan PT Warna Warni Media senilai Rp 63,3 miliar. Ada pula 15.859 konsumen yang disebut kreditur konkuren dengan nilai Rp 7,1 triliun dan 1 kreditur separatis senilai Rp 452 miliar.
Tim pengurus juga menyebut telah mengundang kreditur yang dikenal untuk hadir di rapat-rapat kreditur. Rapat perdana kreditur digelar 17 November 2020. Hingga akhirnya PT MSU menawarkan proposal perdamaian kepada para kreditur pada 14 Desember 2020.
Dari verifikasi yang dilakukan tim pengurus dan PT MSU, utang yang diakui hanya terhadap 15.859 konsumen senilai Rp 7,1 triliun dan 1 kreditur separatis senilai Rp 452 miliar. Proposal itu disetujui dalam rapat pada 15 Desember di Pengadilan Niaga Jakpus. Majelis hakim kemudian memutus perkara tersebut pada 18 Desember 2020.
“Menghukum Termohon PKPU (PT. Mahkota Sentosa Utama) dan seluruh kreditor-kreditornya untuk tunduk dan mematuhi serta melaksanakan isi proposal perdamaian,” demikian bunyi putusan majelis hakim di perkara yang kini telah berkekuatan hukum tetap itu.
Dalam proposal perdamaian, PT MSU membagi para konsumen menjadi dua kelompok. Kelompok pertama yakni konsumen yang membeli unit di gedung yang progres pembangunannya telah mencapai 20% atau lebih berdasarkan penilai independen yang ditunjuk PT MSU. Sementara kelompok kedua ialah konsumen yang progres bangunannya di bawah 20% atau sudah direlokasi.
Bagi konsumen di kelompok I, periode serah terima mulai Maret 2021 hingga Desember 2025. Sedangkan bagi kelompok II, PT MSU baru memulai pembangunan selambatnya pada Desember 2022, kemudian menyerahkanya ke konsumen pada 2025 hingga pertengahan 2027.
Kuasa hukum PKPKM, Rudy Siahaan, mensinyalir ada cacat prosedur dalam proses PKPU. Sebab para konsumen Meikarta yang berhimpun di PKPKM, tak pernah mendapatkan informasi maupun undangan rapat PKPU.
Berdasarkan penjelasan PT MSU, undangan PKPU telah disampaikan ke konsumen melalui surat kabar atau koran. Padahal, sesuai Pasal 57 ayat (4) dan Pasal 90 ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU, undangan kepada para pihak harus melalui surat tercatat atau kurir dan pemberitahuan di surat kabar. Di samping itu, para konsumen juga tidak pernah memberi kuasa kepada siapa pun untuk menghadiri rapat kreditur.
“Dari semua anggota komunitas, satu pun enggak ada yang ikut, enggak ada yang terima surat panggilan pemberitahuan,” kata Rudy.
Aep, Nurul, Hendra, dan Waluyo mengonfirmasi tak adanya panggilan rapat kreditur PKPU.
“Saya dikasih tahu enggak, dihubungi juga enggak, saya enggak tanda tangan. Malah dibilang sudah dikasih tahu lewat surat kabar, zaman gini lewat surat kabar? Saya bilang [ke pihak Meikarta] ‘anda kalau saya telat tagihan dengan mudahnya hubungi lewat HP, tapi begitu urusan penting seenaknya saja lewat surat kabar’,” kata Aep geram.
Dugaan cacatnya prosedur tersebut tengah dipelajari kuasa hukum konsumen Meikarta. Jika benar terbukti ada pelanggaran, konsumen siap menempuh upaya Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) atas putusan PKPU tersebut.
Ketidakpuasan konsumen terhadap proyek Meikarta sedianya sudah sejak 2018. Ketika itu, sejumlah konsumen mengadu ke Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN). Para konsumen beralasan manajemen Meikarta telah melanggar Pasal 8 ayat (1) huruf f UU Perlindungan Konsumen yang berbunyi:
(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut.
Para konsumen, khususnya dengan skema tunai bertahap, kemudian diberi tiga opsi, salah satunya pengembalian dana. Berbeda dengan konsumen dengan skema KPA, uangnya tidak bisa dikembalikan lantaran skema pembayarannya berbeda.
“Pembeli yang membayar cash bertahap ke pengembang lebih mudah dikembalikan pada saat itu. Yang masalah yang pembayaran melalui bank. Kami sudah panggil OJK tapi tidak selesai, deadlock,” ucap Kepala BPKN, Rizal E Halim.
Menurut Rizal, kasus yang sekarang berbeda dengan sebelumnya. Sebab kini sudah ada putusan PKPU di mana konsumen terikat dan mau tidak mau harus mematuhi. Kini, konsumen harus mengawasi manajemen Meikarta apakah menjalankan proposal perdamaian tersebut. Walau demikian, lanjut Rizal, bisa saja pemerintah menganggap kasus ini spesial dan mengambil langkah mediasi antara Meikarta dan konsumen.
Aep Mulyana menengarai, upaya menunda serah terima hingga 2027 merupakan akal-akalan manajemen Meikarta agar para konsumen menyerah dan tidak lagi memperjuangkan haknya. Ketakutan lainnya, PT MSU digugat pailit sebelum 2027 yang membuat uang konsumen berpotensi hilang begitu saja.
“Kami takutnya di tengah-tengah terindikasi mau mempailitkan diri, aset-asetnya PT MSU mungkin sudah diambil-ambilin, setelah itu mau kemana kami? kalau enggak ada aset gimana. Kami menduga politik bisnisnya seperti itu,” ucap Aep.
Di sisi lain, Lippo Group menegaskan akan menaati dan menuntaskan proyek Meikarta sesuai putusan PKPU. Ia meminta konsumen tidak perlu khawatir.
“PT MSU senantiasa memenuhi komitmennya dan menghormati putusan homologasi yang mengikat bagi MSU dan seluruh krediturnya,” ujar Corporate Secretary Lippo Cikarang, Veronika Sitepu, dikutip dari keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia, Jumat (9/12).
Namun bagi Aep dan para konsumen lainnya, target selesai 2027 mustahil dicapai. Ia merujuk pada data kemampuan pembangunan Meikarta dan serah terima unit kepada konsumen.
Pada September 2017 atau tahun di mana Meikarta diluncurkan, manajemen mengeklaim unit yang sudah dipesan mencapai 130 ribu. Namun pada Desember 2021, manajemen Meikarta baru menyerahkan 1.500 unit apartemen ke konsumen. Angka itu naik menjadi 1.800 unit pada Desember 2022.
Dari data tersebut, kata Aep, kemampuan Meikarta membangun dan serah terima apartemen hanya 300 unit per tahun atau satu tower. Kini tersisa lima tahun lagi menuju 2027. Jika merujuk hitungan tersebut, pada akhir 2027, Meikarta diprediksi hanya mampu serah terima 1.500 unit kepada konsumen. Sehingga jika ditotal dengan data saat ini, jumlahnya hanya mencapai 3.300 unit apartemen. Jauh dari jumlah pesanan sebanyak 130 ribu unit apartemen.
“Bagaimana caranya mengejar angka ini? Tidak masuk logika 130 ribu unit apartemen diselesaikan sampai 2027. Tuntutan kami refund harga mati. Kami tidak tertarik lagi dengan Meikarta,” tutup Aep.
Pupus sudah mimpi ingin pindah ke Meikarta.