Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
Jasa penitipan alias jastip sekarang lagi jadi sorotan nih. Jastip dinilai merugikan negara karena tidak membayar bea cukai atas semua barang belanjaan mereka.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, masih banyak warga yang lebih milih jastip karena berbagai alasan, padahal situ belanja online alias online shop sudah menjamur.
Tuntutan dari pemerintah agar pelaku jastip membayar pajak atau bea masuk ke negara menimbulkan keresahan tersendiri.
Salah satunya, Iyus (28), pelaku jastip asal Bogor. Sejak 2017, Iyus sudah melakukan praktik jastip setiap ia berlibur ke luar negeri. Negara yang pernah ia kunjungi di antaranya Korea Selatan, Singapura dan beberapa negara di Eropa.
Menurut Iyus, awal tergerak melakukan jastip saat beberapa temannya meminta tolong atau titip dibelikan sejumlah barang dari negara yang ia kunjungi. Dari permintaan itu, ia pun berinisiatif untuk menjadikannya salah satu peluang berbisnis.
"Banyak teman minta titip, dari situ awalnya. Jadi sekalian aja deh kalau beli ada yang mau nitip. Aku juga nggak merasa diribetin, karena lumayan kan sekalian liburan, lihat-lihat, eh nambah uang jajan," ujarnya kepada kumparan, Sabtu (18/2).
ADVERTISEMENT
Barang yang ia jual lewat jastip juga beragam. Iyus biasanya menawarkan barang-barang tertentu sebelum ia berangkat ke luar negeri atau pembeli bisa memilih barang yang mereka inginkan sendiri.
Ia pun sampai membuka akun instagram yang khusus mengunggah foto-foto barang yang dia tawarkan, platform media sosial juga membantu dia menjangkau pembeli lebih banyak. Saat ini pengikutnya di Instagram sudah mencapai 13 ribu.
Barang yang Iyus pilih untuk di-jastip akan menentukan tren yang sedang terjadi di pasar dan di negara-negara tersebut.
"Barang yang paling banyak dijastip tergantung dari barang apa yang lagi happening di negara tersebut. Jadi nggak menentu. Contohnya di Singapura lagi hits itu tas-tas tertentu dan bodycare. Terus di Korea itu skincare sama merchandise K-Pop. Kalau Eropa barang-barang branded," paparnya.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, pendapatan untuk setiap membuka jastip bisa mencapai Rp 10 sampai 15 juta. Kemudian barang tersebut akan dimasukkan dalam bagasi miliknya ditambah membeli bagasi milik temannya yang berlibur bersamanya.
Jastip informal merasa dirugikan dengan beban pajak
Menurut Iyus, jastip yang dia lakukan tergolong bisnis sampingan. Dia bukan dengan sengaja bepergian ke luar negeri untuk membuka jastip dan menjual barang-barang di luar negeri dengan skala yang besar.
Sehingga, Iyus pun merasa keberatan apabila pemerintah menyebut kegiatan jastip yang ia lakukan sebagai beban negara dan membebankan pajak yang tinggi bagi para pelaku jastip seperti dirinya.
“Saya merasa, saya pribadi sudah mengeluarkan tiket pesawat untuk pergi ke luar negeri. Kemudian berusaha juga cari barangnya sendiri, jadi kenapa harus dibebani pajak. Saya juga bukan yang full dan tidak menjadikannya ini sebagai sumber utama mata pencaharian,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, ke depan, Iyus tak kapok dan tetap membuka jastip ke luar negeri.
“Tetep akan buka jastip, tinggal pintar-pintar aja bawa barangnya,” imbuh Iyus.
Di sisi lain, tentu ada pembeli yang merasa diuntungkan dengan kehadiran jastip. Salah satu pembeli tersebut ialah Khairunnisa, yang sudah menjadi pelanggan jastip sejak 2018.
Baginya, jastip memudahkannya mendapat barang-barang berkualitas dari luar negeri dan harga yang miring. Beberapa barang yang ia incar pun belum tentu suatu saat akan masuk ke Indonesia.
“Merasa untung beli di jastip gitu karena di sini (di Indonesia) lebih mahal. Harga jadi lebih murah dibandingkan dari produk yang masuk ke Indonesia. Ada barang-barang yang jenis-jenis tertentu yang atau tipe-tipe tertentu yang kita mau tapi nggak masuk Indonesia gitu. Jadi kita harus beli lewat jastip,” tutur Khairunnisa.
Tak hanya itu, Khairunnisa memilih jastip karena barang-barangnya juga diskon. Barang-barang ini biasanya tidak ada di toko online.
ADVERTISEMENT
"Kalau misalnya jastip, biasanya kalau yang diincar itu kan barang-barang yang sale gitu. Nah kalau yang di barang-barang normal yang ada di olshop, ya baru beli di olshop. Tapi, kalau misalnya barang-barang yang sale itu jarang kan ada yang di olshop yang jual. Jadi biasanya lebih milih yang jastipers, kebanyakan kalau ngejar-ngejar barang yang sale," jelas dia.
Sebagai pelanggan jastip, Khairunnisa pun tak keberatan apabila para jastiper harus dikenakan biaya pajak atau ia harus membeli barang yang terkena pajak, bila hal itu memang menjadi aturan yang harus ditaati dan berlaku. Ia pun menganggap selama ini barang yang ia beli sudah pasti mendapat beban bea cukai.
“Sepengetahuan aku sih harusnya bayar juga ya selama dia memang melewati sistem kargo misalnya. Terus lewat bea cukai harusnya ya barang itu tetap kena pajak dan bea masuk, seharusnya sih gitu,” imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Pengamat ekonomi: sepertinya jastip kecil-kecil, diakumulasi jadi besar
Pengamat Ekonomi dan Direktur Riset CORE Indonesia Dr. Piter Abdullah Redjalam sepakat menilai pelaku jastip ilegal merugikan negara. Penyebabnya karena tidak membayar bea masuk.
Meskipun praktik jastip yang dilakukan dengan skala kecil, namun diakumulasikan dapat menjadi kerugian yang besar.
“Jelas merugikan ya, karena melalui jastip tersebut jadinya tidak bayar bea masuk. Memang sepertinya kecil-kecil, tapi kalau diakumulasikan pasti jadi besar, apalagi kalau dihitung dari waktu ke waktu,” ujarnya kepada kumparan.
Meski begitu, Piter menilai, bukan berarti praktik jasa titip harus dihentikan. Pemerintah harus membuat aturan yang tegas terkait praktik jastip.
“Perlu didesain bagaimana jasa titip ini bisa tetap melakukan pembayaran bea masuk apabila barang yang dibeli adalah barang di luar negeri," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kebijakan para jastiper untuk membayar bea masuk secara ketat tidak bisa dipaksakan kepada jastiper informal.
Ia menekankan, pengawasan dan pengaturan tentang pajak dapat ditegakkan kepada para jastip dengan skala besar dan beroperasi secara reguler.
"Pengaturan tentang bea masuk bisa dilakukan ketika usaha jastip sudah cukup besar dan beroperasi secara reguler, kalau informal dan tidak beroperasi reguler, sulit dipaksakan untuk bayar bea masuk,” tandasnya.