Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Jemaah Jangan Berharap Lebih dari Putusan Pengembalian Asset First Travel
8 Januari 2023 11:43 WIB
·
waktu baca 6 menitADVERTISEMENT
Mahkamah Agung memutuskan mengembalikan aset First Travel kepada jemaah. Hal tersebut sebagaimana tertuang dalam putusan Peninjauan Kembali nomor 365 PK/Pid.Sus/2022.
ADVERTISEMENT
Perkara itu diadili oleh Sunarto selaku ketua majelis serta Jupriyadi dan Yohanes Priyana selaku hakim anggota. Putusan dibacakan pada 23 Mei 2022.
Putusan ini berdasarkan permohonan yang diajukan oleh dua terpidana dalam kasus tersebut, yakni eks bos First Travel: Andika Surachman dan Anniesa Desvitasari Hasibuan.
Dalam gugatannya, keduanya menggugat besaran vonis yang dijatuhkan oleh pengadilan sebelumnya yakni 20 tahun penjara untuk Andika dan 18 tahun untuk Anniesa. Kemudian soal barang bukti yang disita oleh negara.
Namun dalam putusannya, majelis hakim memutuskan hanya mengubah putusan terkait dengan nasib barang bukti yang disita oleh negara tersebut, dikembalikan untuk korban. Sementara untuk besaran vonis pidana tetap.
Penasihat hukum korban First Travel, TM. Luthfi Yazid, memberikan tanggapan atas putusan itu. Menurutnya, mekanisme pengembalian aset kepada puluhan ribu jemaah bukan perkara mudah. Ia mendesak negara harus hadir dan ikut bertanggung jawab.
ADVERTISEMENT
"FT gagal memberangkatkan ribuan jemaah, maka pemerintah harus pula bertanggung jawab terhadap kegagalan memberangkatkan jemaah tersebut," kata Luthfi dalam keterangan tertulisnya, Minggu (8/1).
Luthfi menjelaskan, setelah putusan PK yang menyebutkan asset FT dikembalikan ke jamaah, maka hal tersebut merupakan kewenangan eksekutor yakni Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Sebab PK tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan (Pasal 66 ayat 2 UU No 14/1985 tentang MA sebagaimana telah diubah dengan UU No 5/2004).
"Maka timbul pertanyaan apakah di level kasasi terdahulu eksekusi atas asset FT dirampas negara sudah dilaksanakan, baik asset dalam bentuk uang ataupun barang? Jika dalam bentuk uang (bila putusannya belum inkracht) mungkin uang tersebut ada dalam “rekening penampungan” atau “rekening penitipan” (rekening yang tidak berbunga)," ucap dia.
Jika ternyata asset FT berupa uang yang dirampas untuk negara telah masuk ke kas negara atau 'rekening Kemenkeu', maka secara berjenjang (setelah melalui Kajari Depok, Kajati Jabar dan Kejagung RI), Jaksa Agung memberikan up-date dan koreksi kepada Menteri Keuangan akan adanya putusan PK tersebut.
ADVERTISEMENT
"Semua mekanisme itu, tentu saja, melalui pembuatan Petunjuk Pimpinan (Juk Pim). Namun semuanya belum jelas, sebab bunyi putusan PK lengkapnya belum ada karena belum di upload MA sementara beritanya sudah bergulir, dan seolah-olah memberi harapan yang melegakan bagi jemaah. Padahal tidak," kata Luthfi.
Luthfi menyebut, JPU hanya menjadi eksekutor sesuai dengan bunyi putusan PK-nya karena hal ini terkait dengan barang bukti.
"Umpamanya, apakah asset FT tersebut diserahkan kepada Andika Surachman, Anniesa Hasibuan atau kepada para jemaah? Semua itu tercantum dalam bunyi putusan. Namun demikian karena menyangkut puluhan ribu orang, dengan asset FT yang sangat tidak memadai maka mekanismenya tidak mudah. Bahkan bisa timbul konflik antara jemaah dengan jemaah atau jemaah dengan agent umrah," jelas dia.
ADVERTISEMENT
Kemudian berdasarkan Pasal 86 ayat 3, 4 dan 5 UU No 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah, sebenarnya pemerintah bisa memberikan solusi untuk memberangkatkan jemaah umrah yang gagal dengan jumlah yang masif tersebut.
Dalam 'keadaan darurat atau keadaan yang luar biasa', pemerintah melalui Keputusan Presiden dapat 'mengambil alih' untuk memberikan solusi bagi jemaah First Travel yang gagal berangkat.
"Dalam hal ini Presiden dapat turun tangan menyelesaikan kasus ini, dengan memberikan perintah yang solutif kepada Menag Yaqut Cholil Qoumas. Sebab perlindungan terhadap penyelenggaraan ibadah umrah—sebagai pelaksanaan kebebasan melaksanakan ibadah agama dalam Pasal 28 dan 29 UUD 1945—adalah mandat konstitusi yang harus dilaksanakan oleh negara," ucap Luthfi.
Luthfi mengatakan, pihak yang mengeluarkan izin PPIU adalah Pemerintah melalui Kementerian Agama. Berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomer 589 Tahun 2017, menyebutkan seluruh biaya umrah yang telah ditransfer ke rekening First Travel harus dikembalikan kepada jemaah atau mereka diberangkatkan untuk umrah.
ADVERTISEMENT
"Keputusan Menteri Agama ini dibuat pada masa Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Sampai Menteri Agamanya berganti ke Fachrul Razi sampai Menag Yaqut Cholil Qoumas keputusan Menteri Nomer 589/2017 ini hanya sebatas janji kertas," ucap dia.
Selain itu, dalam rapat kerja Menteri Agama Fachrul Razi dengan Komisi VIII DPR RI pada akhir 2019 yang dihadiri 21 anggota Komisi VIII dari 9 fraksi di DPR RI, Menteri Agama berjanji akan memberangkatkan secara bertahap para jemaah yang gagal berangkat.
"Tapi nyatanya sampai Menteri Agamanya berganti ke Yaqut Cholil Qoumas janji tetap tinggal janji," ucap Luthfi.
Luthfi mengingatkan, kasus First Travel ini menyangkut puluhan ribu orang dan terkait dengan hak fundamental (fundamental rights) warga negara yakni menjalankan ibadah keagamaan (umrah). Pelaksanaan umrah merupakan kegiatan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
"Kerugian First Travel saja dengan 63.310 jemaah sudah mencapai sekitar Rp 1 T. Jadi sangat beralasan pemerintah untuk turun tangan sebagaimana pemerintah turun tangan dalam kasus PT Lapindo Brantas, PT Bank Century dan PT Jiwasraya di mana negara menalangi para korban," ucap Luthfi.
Luthfi menyebut, dalam kasus PT Lapindo Brantas, Menteri Keuangan Sri Mulyani berdasarkan Keppres No 13 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Penanggulangan Sembur Lumpur Lapindo memberikan ganti rugi kepada korban lumpur sekitar Rp 751 M.
Kemudian dalam kasus PT Bank Century pemerintah menalangi (bailed-out) para nasabah sekitar Rp 6,76 T. Lalu dalam kasus PT Jiwasraya pemerintah menalangi kerugian sekitar Rp 22 T.
Luthfi menyoroti keberadaan Satgas Waspada Investasi (SWI) yang terdiri dari 13 kementerian atau setingkat menteri yakni Kementerian Agama, Kepolisian RI, OJK, Kemenkumham, BPK, Menko Info, Kejagung, dll --yang dibentuk saat mencuatnya kasus First Travel.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, satgas itu tidak maksimal dan tidak bisa mencarikan solusi, bahkan kasus kegagalan berangkat jemaah umrah masih berulang sampai saat ini.
"Akhirnya, para jemaah jangan terlalu banyak berharap atas hasil putusan PK tersebut karena asset FT jumlahnya sangat kecil. Asetnya yang disita selama 4 tahun sudah pasti menyusut karena kasus ini terlalu lama terkatung-katung dan pasti tidak mungkin memberangkatkan semua jemaah yang gagal berangkat, kecuali pemerintah memberikan jalan keluar seperti dalam kasus PT Lapindo, PT Bank Century atau PT Jiwasraya, toh jumlahnya tidak sampai Rp 1 T dibandingkan kerugian ketiga PT tersebut," ucap dia.
Luthfi mengatakan, sebagai sebuah usulan, para jemaah korban First Travel sebaiknya diberangkatkan untuk umrah.
"Jika umrah biasanya dilakukan 9 hari, ini cukup 3 atau 4 hari saja dan cukup di kota Makkah saja. Soal biaya visa bisa dinegosiasikan antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Kerajaan Arab Saudi (KSA) agar mendapat keringanan atau digratiskan," kata Luthfi.
ADVERTISEMENT
"Soal tiket pesawat bisa juga dinegosiasikan antara pemerintah Indonesia dan Saudi Arabia. Begitupun dengan akomodasi selama ibadah maupun soal konsumsi buat para jemaah selama di kota Makkah," lanjut dia.
Sementara terkait konsumsi, Luthfi mengatakan biasanya jemaah Indonesia sangat simpel karena lebih memilih konsentrasi dalam beribadah. Meski begitu, jemaah bisa diminta menambah biaya yang terjangkau atau tidak terlalu memberatkan.
"Banyak skema solusi yang dapat dipikirkan oleh pemerintah untuk menekan biaya pelaksanaan umrah. Untuk menambah kekurangan, bisa saja asset FT atau Andika Cs ditelusuri lagi sampai tuntas, karena mungkin masih ada yang disembunyikan atau dialihkan ke pihak lain namun dilakukan secara tidak legal sehingga mesti dibatalkan. Masalahnya, pemerintah mau ataukah tidak? Itu saja," tutup dia.
ADVERTISEMENT