Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Kalau Sutami Hidup di Masa Kini, Ia Tak Akan Mau Jadi Menteri
18 Oktober 2017 14:10 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
ADVERTISEMENT
Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, sementara manusia mati meninggalkan nama dan karya.
ADVERTISEMENT
Saat itu, 13 November 1980 menjadi suatu hari kelabu bagi negeri kita. Indonesia kehilangan sosok brilian yang mampu menjadi kreator berbagai megaproyek pada masanya. Dia adalah Prof Dr Ir Sutami.
Sutami adalah guru bagi banyak orang. Bagi keluarganya, mahasiswanya, karyawannya, hingga seluruh rakyat yang mengerti sepak terjang Sutami.
Bahkan ia pun meninggal karena sakit. Sakitnya Sutami pun karena ia bekerja terlalu keras. Untuk siapa? Untuk negara.
Sri Haryati, istri Sutami, mengatakan, suaminya kerap lupa makan kalau terlalu asyik bekerja.
"Dia susah makan. Sampai akhirnya sakit liver. Kalau sarapan itu suka enggak habis karena buru-buru mau kerja. Apalagi kalau Bung Karno atau Pak Harto nyuruh dia ke Istana Negara," kata Sri saat berbincang dengan kumparan (kumparan.com) di kediamannya di Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Rabu (11/10).
ADVERTISEMENT
Sri mengatakan, Sutami bahkan hanya sempat minum susu saja setiap sarapan karena ingin lebih awal memulai pekerjaan. Buah mangga dan sepotong roti yang disiapkan Sri acapkali terbuang.
Namun Sri mengerti, Sutami adalah sosok pekerja keras yang tak mau lalai dalam mengemban amanahnya. Dan dia bangga dengan sikap suaminya itu.
Ketika hari-hari terakhirnya di rumah sakit, Sutami sempat memaksa ingin pulang karena merasa tak betah. Namun dokter saat itu tak mungkin mengizinkan Sutami pulang.
Akhirnya, Emir Sanaf yang sudah seperti anak Sutami sendiri mengingat sesuatu yang berharga. Suatu hari di kamar Sutami, Emir pernah melihat ada foto Jenderal M Panggabean, yang saat itu menjabat sebagai Menko Polkam.
ADVERTISEMENT
Entah ada hubungan spesial apa antara Sutami dan Jenderal Panggabean. Padahal saat bekerja pun, keduanya jarang satu tim.
"Saya langsung terpikir untuk menghadap Pak Panggabean. Saya ingin meminta beliau untuk membujuk Pak Tami agar tetap di rumah sakit untuk mendapatkan perawatan," kata Emir saat ditemui kumparan di Bandung, Jawa Barat.
Jenderal Panggabean tanpa pikir panjang kemudian mau ke RSCM, tempat Sutami dirawat. Hanya memberikan salam hormat sekali, berbicara sedikit, akhirnya Panggabean berhasil membujuk Sutami untuk tetap di rumah sakit.
"Pak Sutami aman di sini, begitu kata Pak Panggabean," ujar Emir.
Namun yang namanya ajal tidak ada yang bisa melawan. Beberapa hari kemudian, Sutami memasuki masa kritis karena livernya makin parah.
ADVERTISEMENT
Saat sudah tak merasa kuat lagi, Sutami kemudian mengumpulkan seluruh orang dekatnya. Emir bercerita, ada satu pesan yang ia ingat sebelum Sutami wafat.
"Bapak bilang voorschoot, bayar uang rumah sakitnya. Sambil terseguk (terbata-bata-red). Itu pesen Bapak, luar biasa kan? Seorang pejabat negara tak mau menuntut, tak mau meminta-minta. Selama ia merasa mampu, maka ia akan menyelesaikannya sendiri," ungkapnya.
Akhirnya pada 14 November 1980, Sutami -- lulusan Sekolah Tinggi Tekhnik Bandung (sekarang ITB) -- mengembuskan napas terakhir. Dewi Susilowati, anak kedua Sutami, yang saat itu masih SMA begitu ikhlas menerima kepergian ayahnya.
"Kalau saya juga kasihan, Bapak sampai sakit begitu terlalu lama. Jadi kami ikhlas kalau dia pergi. Dia juga sempat berpesan, pesannya cuma dua. Jangan lupa salat, jangan lupa belajar," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Dewi bangga mengingat sosok ayahnya yang pekerja keras dan 100 persen hidupnya didedikasikan untuk keluarga.
Saat itu, Sutami lebih memilih dimakamkan di Tanah Kusir meski ditawari untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Sutami merasa, di Tanah Kusir hidupnya bisa menjadi lebih tenang.
Terakhir, Dewi berharap semoga apa yang dilakukan ayahnya selama hidup bisa menjadi teladan bagi para pejabat yang hidup saat ini.
"Kalau Bapak hidup di zaman ini yang serba riweh, saya pikir Bapak enggak mau jadi menteri. Dia pasti takut," tutup Dewi sambil tersenyum.