Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Kantong Plastik Ana untuk Kehidupan 3 Anaknya
5 Mei 2018 14:09 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
ADVERTISEMENT
Hari itu matahari tengah berada tepat di atas kepala. Panas terik begitu terasa menyengat kulit. Orang-orang berjalan cepat dari arah Masjid Istiqlal, setelah menunaikan salat Zuhur.
ADVERTISEMENT
Sementara, di sebuah sudut pelataran Istiqlal, seorang ibu bertubuh kecil sedang bersandar di pagar. Sesekali dia membenarkan jilbab yang ada di kepalanya. Sambil melihat lalu lalang orang yang lewat, dia terus menawarkan dagangannya.
“Tisunya-tisunya, kantong, pulsa boleh, terima kasih”, ucap dia dengan suara kecilnya.
Saat orang-orang terlihat ‘mengabaikannya’, dia tak lantas menyerah. Dia kembali menawarkan dagangan yang dia tenteng di tangan serta disematkan di bagian depan tubuhnya yang mungil.
Dari pukul 08.00 WIB hingga selepas salat Isya atau pukul 19.00 WIB, Ana terus menawarkan dagangannya kepada mereka yang datang ke Masjid Istiqlal.
ADVERTISEMENT
Ana menjual pulsa, tisu, dan juga kantong plastik. Untuk kantong plastik, dia hargai seiklhasnya.
Saat berjalan menawarkan dagangan, Ana tampak begitu sulit bergerak. Ya, bagaimana tidak, tubuh ibu tiga anak itu bisa dibilang sangat kecil. Jemarinya pun tak seperti kebanyakan orang lainnya. Sehingga, dia terlihat sulit menggenggam barang dagangannya itu.
Sesekali, barang dagangan Ana itu jatuh dan tertiup angin. Dia pun mencoba berlari dan meraihnya. Namun, tubuhnya yang mungil membuat dia sulit menjangkaunya. Beruntung, kadang pedagang lain yang ada di sekitarnya membantu mengambil barang Ana yang jatuh. Rasa terima kasih terus dia ucapkan kepada mereka yang telah berbaik hati menolongnya.
Menghadapi sulitnya berjualan di pelataran Istiqlal dengan fisik tak mendukung nyatanya tak membuat Ana menyerah begitu saja. Dia terus menatap ke depan, semua perjuangan itu dia lakukan demi tiga anaknya yang begitu dia sayangi.
ADVERTISEMENT
“Capek ya capek, panas ya panas, hujan kehujanan, namanya hidup di jalan gini. Semua demi anak. Kita berjuang demi anak, anak berjuang demi masa depan. Yang nyemangatin hidup kan anak,” cerita Ana kepada kumparan (kumparan.com), saat berbincang di salah satu sudut pelataran Istiqlal, Kamis (3/5).
Menjalani kerasnya hidup di jalanan bagi Ana itu sudah biasa. Lima tahun sudah, dia berjualan di pelataran Istiqlal. Memang, penghasilannya tak seberapa, tapi dia tetap bersyukur atas rezeki yang dia dapatkan dari Yang Kuasa.
“Tergantung enggak tentu. Kadang sehari cepek (Rp100 ribu). Ya bisa buat nyekolahin anak, makan, bayar kontrakan, gitu,” sebut Ana.
Ana sendiri saat ini mempunyai suami. Suaminya itu merupakan suami kedua. Suami pertamanya telah meninggal beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, dia mengaku suaminya tersebut tidak menafkahi keluarganya. Oleh sebab itu, Ana harus membanting tulang di kerasnya Ibu Kota dari pagi hingga malam.
“Suami saya enggak pernah ngasih uang . Uang belanja, 10 ribu, 5 ribu aja enggak pernah. Saya enggak pernah nuntut apa-apa dari suami. Anak 3 saya semua. Kontrakan saya yang bayar. Ya saya punya suami kayak enggak punya suami,” tutur Ana sembari menundukkan kepala seakan meratapi nasibnya yang kurang begitu beruntung.