Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Belum rampung kasus kematian Vina Dewi Arsita di Cirebon yang masih menyimpan tanda tanya besar, kini kasus kematian Afif Maulana di Padang turut bikin geger. Tewasnya Afif, remaja 13 tahun yang disebut polisi terlibat tawuran, dinilai janggal. Polisi dan keluarga punya cerita versi masing-masing.
Menurut Polda Sumatera Barat, Afif meninggal usai loncat dari jembatan Sungai Kuranji di Jalan Bypass KM 9 Pasar Ambacang. Mayatnya ditemukan mengambang di sungai, tepat di bawah jembatan, Minggu siang, 9 Juni 2024.
Afif diduga melompat karena panik dikejar patroli polisi pencegahan tawuran, dini hari itu. Sebelumnya, Afif berboncengan dengan kawannya yang lebih dewasa, Adit (17 tahun). Keduanya disebut mengikuti konvoi tawuran. Motor yang ditumpangi Adit yang berboncengan dengan Afif sempat jatuh karena ditendang polisi.
Menurut Adit, setelah motornya jatuh, Afif mengajaknya lompat ke sungai dari jembatan setinggi 15 meter tempat mereka berada. Namun Adit menolak ajakan tersebut. Ia memilih pasrah ditangkap polisi bersama 17 orang lainnya.
Sementara menurut keluarga Afif dan LBH Padang, Afif meninggal karena disiksa polisi. Indikasinya adalah luka berwarna ungu seperti memar di sisi kiri tubuh Afif. Menurut kerabat Afif yang seorang marinir, memar itu mirip luka yang biasa timbul akibat (tendangan) sepatu aparat.
Selain itu, menurut LBH Padang, tidak ditemukan luka pada kepala atau kaki Afif seperti layaknya orang yang jatuh dari ketinggian. LBH Padang pun menuntut autopsi ulang pada jasad Afif.
Afif Meninggal, Orang Tua Dimarahi Polisi
Minggu sore setelah tersiar kabar ada jasad mirip Afif di bawah jembatan Sungai Kuranji, orang tua Afif, Afrinaldi dan Anggun, bergegas menuju Polsek Kuranji untuk mencari informasi.
“Dari awal, dibilangi [polisi sambil] marah-marah, ‘Itu anaknya (Afif) meninggal [karena] tawuran,’” kata Direktur LBH Padang Indira Suryani kepada kumparan, Jumat (5/7).
Anggun membenarkan. Dalam konpers di Jakarta, ia berkata, “Baru datang [ke Polsek] saja, polisinya sudah marah-marah. Dibilang, ‘Anak Ibu tawuran, melompat [ke sungai].’”
Hari Minggu itu, meski sudah ke Polsek, orang tua Afif tidak bisa langsung melihat jasad putranya. Petugas Polsek menginfokan jenazah Afif ada di RS Bhayangkara Padang. Baru keesokannya, Senin (10/6), keluarga datang ke RS.
Di RS, keluarga meneken surat izin autopsi. Namun, selama proses autopsi, mereka dilarang melihat jenazah. Padahal sebelumnya mereka sempat diizinkan melihat proses autopsi.
Soal ini, Kabid Humas Polda Sumbar Kombes Dwi Sulistyawan mengatakan, berdasarkan aturan, keluarga memang tak diperbolehkan melihat autopsi, sebab berpotensi membuat proses penyidikan medis jenazah tidak kondusif.
“Takutnya stres [waktu lihat jenazah diautopsi], terus kami (polisi) kena lagi, misal [protes kenapa] badannya dibelah-belah, padahal SOP-nya memang seperti itu. Lalu nanti diviralkan lagi,” kata Kombes Dwi saat ditemui kumparan di Mapolda Sumbar, Padang.
Kecurigaan keluarga menguat karena Polda Sumbar mengakui anggotanya melakukan kekerasan. Setidaknya tujuh remaja dari belasan orang yang diduga pelaku tawuran, termasuk Adit, teman Afif, dipukul, disundut rokok, dan disetrum dengan electric gun di Polsek Kuranji.
Di situ, Adit tak melihat sosok Afif. Polda Sumbar dalam konpers menunjukkan foto-foto remaja yang diringkus ke Polsek, dan menegaskan bahwa Afif tidak ada di antara mereka. Namun, menurut LBH Padang, beberapa orang dari tujuh saksi mereka mengatakan Afif terlihat di Polsek Kuranji.
Indira yang juga pengacara keluarga Afif yakin, Afif sempat dikerumuni polisi di jembatan Sungai Kuranji. Sementara dua sumber di lingkaran kasus ini menyebut bahwa sempat ada saksi yang melihat pemukulan dan penyiksaan oleh polisi di jembatan Sungai Kuranji. Meski demikian, hingga kini saksi tersebut belum bisa ditemui lagi.
Yang tak kalah penting, polisi diduga mengaburkan tempat kejadian perkara di Sungai Kuranji. Menurut LBH Padang, kedalaman sungai hanya 50 cm, namun beberapa hari lalu kedalamannya menjadi lebih dari 1 meter. Terlihat pula ada bekas tanah galian ekskavator.
Anehnya lagi, lokasi penemuan mayat yang notabene TKP mestinya dipasangi garis polisi segera sesudah kejadian, namun TKP kematian Afif baru dipasangi garis polisi 18 hari setelah kejadian.
Terakhir, Kapolda Sumbar Irjen Suharyono malah meminta anak buahnya mengejar pihak yang memviralkan video kematian Afif. Hal ini, menurut pengamat kepolisian ISESS Bambang Rukminto, terlalu reaksioner dan tidak sesuai jargon “presisi” Polri yang mengedepankan penyelidikan kasus secara inklusif dan ilmiah (scientific crime investigation).
Kinerja dan profesionalitas polisi bukan kali ini saja dipertanyakan.
Salah Tangkap Polisi pada Kasus Vina
Masih beberapa bulan ke belakang kita tentunya masih ingat, bagaimana polisi melakukan penyelidikan terhadap 8 pelaku yang kontroversi. Sebab, satu orang anak di bawah umur bernama Saka mengaku dirinya merupakan korban salah tangkap polisi.
Tiga orang lainnya masih buron. Polisi lalu menyebarkan ciri-ciri identitas salah satu otak pembunuhan kematian Vina, namanya Pegi Setiawan. Ia disebut aktor utama dalam dugaan kasus pembunuhan Vina dan Eky. Eky merupakan anak mantan Kanit Narkoba Polres Cirebon yaitu Iptu Rudiana.
Polda Jabar berhasil menangkap Pegi pada 21 Mei lalu. Anehnya, Pegi yang ditangkap tidak seperti memiliki ciri-ciri seperti yang sebelumnya yang disebarkan polisi, yakni tinggi badan 160 cm, badan kecil, rambut keriting, dan kulit hitam.
Benar saja, sidang praperadilan di PN Bandung menggugurkan status tersangka Pegi. Sebelumnya, Pegi bahkan belum diperiksa oleh polisi saat ditetapkan sebagai tersangka.
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto melihat sering kali dalam sebuah penyelidikan kasus, polisi kerap melontarkan pernyataan yang kontroversial. Padahal, sebaiknya polisi lebih menekankan pada pendalaman kasus untuk menemukan barang alat bukti.
“Terkait dengan Kasus Vina misalnya ketika kepolisian membuat pernyataan ada DPO yang tidak dikejar selama 8 tahun. Kemudian dianulir dari 2 [DPO]. Kemudian ada sketsa wajah yang berbeda. Halal seperti itulah yang memunculkan kontroversi di masyarakat,” kata Bambang, Kamis (4/7).
Bambang bilang, sejak awal penyelidikan polisi tidak menunjukkan alat bukti yang kuat. Sehingga, dengan tambahan ‘bumbu’ pernyataan-pernyataan yang kontroversi dari polisi hanya membuat ramai di masyarakat.
“Jadi tambah ramai dan sampai sekarang sudah dua bulan lebih, kasus ini tidak kelar dan terus berkembang,” ucapnya.
Menurutnya, polisi perlu menyampaikan pernyataan yang tidak reaksioner di masyarakat. Sebab, tentu suatu saat ini akan merugikan kinerja kepolisian ke depan.
“Penyelidikan yang benar saja yang sudah sesuai dengan SOP, tetapi disampaikan dengan tidak benar, itu juga bisa membuat kontroversi di masyarakat. Apalagi bila penyelidikan yang dilakukan oleh kepolisian itu tidak benar,” lanjutnya.
Tragedi Kanjuruhan: Polisi Divonis Bebas
Tragedi terbesar dalam sejarah sepak bola Indonesia yang menewaskan 135 korban dan 583 mengalami cedera itu tak lepas dari aksi oknum aparat. Kapolri Jenderal Listyo Sigit menetapkan enam tersangka, tiga di antaranya merupakan polisi yang terbukti lalai dalam penggunaan gas air mata di dalam Stadion Kanjuruhan pada 6 Oktober 2022.
Tiga petugas polisi yang dijadikan tersangka yaitu Wahyu SS, yang merupakan Kabag Ops Polres Malang. Wahyu SS terbukti mengabaikan aturan FIFA tentang larangan penggunaan gas air mata, meskipun dirinya mengetahui aturan tersebut.
Lalu Komandan Kompi III Brimob Polda Jatim AKP Hasdarman karena memerintahkan anggotanya untuk menembakan gas air ke arah penonton. Lalu, Kasat Samapta Polres Malang Ajun Komisaris Polisi Bambang Sidik Achmadi, yang juga memerintahkan anak buahnya menembak gas air mata.
Sayangnya, dalam proses persidangan yang digelar pada 16 Januari 2023 proses persidangan dilakukan tertutup dan tidak ada siaran langsung. Lebih disayangkan lagi, dua polisi divonis bebas karena kejaksaan menganggap angin yang bersalah atas kematian kepada 135 aremania termasuk perempuan dan balita.
Pengamat kepolisian Bambang Rukminto miris melihat hasil persidangan yang menyatakan dua polisi bebas tersebut. Adapun Komandan Kompi III Brimob Polda Jatim AKP Hasdarman satu-satunya polisi yang dihukum 1 tahun 6 bulan penjara karena terbukti melanggar Pasal 359, Pasal 360 ayat 1, dan Pasal 360 ayat 2 KUHP, yaitu karena kelalaiannya mengakibatkan matinya orang lain atau luka-luka.
“Sebanyak 135 nyawa hilang di situ, tetapi di mana pertanggungjawaban kepolisian terkait itu, nyaris tidak ada seseorang yang dihukum personal. Semuanya bebas,” kata Bambang.
Dorong Profesionalitas Polri
Kinerja profesionalisme kepolisian dalam menangani kasus selama ini menjadi sorotan banyak pihak. Menurut Bambang, kinerja profesionalisme kepolisian perlu terus diperbaiki apalagi dalam menangani kasus kematian yang tidak wajar.
Bambang mengakui bahwa sering kali polisi enggan mengaudit kasus kembali. Audit kinerja penyelidikan kasus yang minim membuat prinsip akuntabilitas tidak terlihat secara nyata.
“Kepolisian diberikan kewenangan yang sangat besar, tetapi negara itu tidak membuat sistem pertanggungjawaban yang baik kepada kepolisian,” jelasnya.
Kewenangan besar yang dimaksud Bambang itu tertuang dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Pasal 8 UU Nomor 2/2002 menyebutkan bahwa Kepolisian berada di bawah Presiden dan dipimpin oleh Kapolri yang bertanggung jawab kepada Presiden sesuai dengan peraturan perundang undangan.
Menurut Bambang, dengan kewenangan yang begitu besar langsung di bawah Presiden membuat lembaga korps bhayangkara ini minim pengawasan. Sayangnya, ia melihat RUU Polri yang kini dibahas di DPR nyaris tidak menyentuh masalah pengawasan kewenangan kepolisian.
“Makanya ini yang menjadi problem kita. Ke depan harapannya wacana terkait dengan kepolisian di bawah kementerian itu sangat penting untuk membatasi kewenangan kepolisian yang sudah sangat besar seperti saat ini,” katanya.
Ketua Komisi Kepolisian Nasional Irjen (Purn) Benny Mamoto mengakui dalam kasus kematian tidak wajar Afif polisi bersikap tidak profesional karena terjadi penyiksaan terhadap pelaku anak di bawah umur.
“Jadi, sekali lagi penanganan ini memang harus diakui, ada kekurangan-kekurangan kelemahan-kelemahan. Jadi apakah dalam konteks terjadinya penyiksaan itu tidak profesional,” katanya.
Benny pun menyadari bahwa dalam melakukan pemeriksaan, polisi sebaiknya lebih mengedepankan pembuktian secara scientific. Pembuktian melalui pendekatan scientific akan memiliki dasar keputusan yang lebih jelas.
Ia juga menyoroti keberadaan CCTV yang tidak dapat dioperasikan pada saat terjadi penyiksaan terhadap pelaku. Ia memandang perlunya standar operasional dalam pemanfaatan CCTV ke depannya.
“Kemudian tadi CCTV untuk mengecek alibi atau posisi dia pada saat kejadian. Atau kejadian sesungguhnya tuh apa yang terjadi,” imbuhnya.
Anggota Komisi III dari fraksi PDIP, Bambang Wuryanto mendorong profesionalisme di tubuh Korps Bhayangkara itu. Begitu juga, anggota Komisi III DPR lainnya dari Fraksi PDIP Trimedya Panjaitan turut mendorong profesionalisme kepolisian melalui RUU Polri yang saat ini tengah dibahas. Baginya, tantangan paling sulit dalam reformasi di tubuh Polri yaitu masalah kultural.
“Kalau bicara reformasi Polri, itu di UU Nomor 2 Tahun 2002 ya memang ada tiga hal: reformasi instrumental, struktural, dan kultural. Yang sulit itu adalah kultural, itulah tugas Kapolri secara berjenjang, tugas kapolda, tugas kapolres,” kata dia.
Trimedya menyoroti perlunya kontrol ketat berupa pengawasan tiap satuan kepolisian agar tidak ada penyalahgunaan wewenang di tubuh Polri. Ia juga mendorong fungsi pengawasan dari Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) yang lebih intensitif.
"Lalu reward and punishment harus terjadi, kalau enggak ada reward and punishment orang ya berbuat kesalahan aja," ujar Trimedya.
Rangkap Jabatan dan Politik Praktis Ancam Profesionalisme Polri
Masih menyangkut profesionalisme di tubuh Polri, di tengah banyaknya kasus-kasus kematian yang menggantung, ada sebagian anggota kepolisian yang merangkap jabatan di luar instansinya.
Rangkap jabatan ini tentu saja melanggar UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam pasal 28 ayat 3 disebutkan bahwa anggota kepolisian harus mengundurkan diri atau pensiun sebelum menduduki jabatan di luar kepolisian.
Berikut bunyi pasal 28 secara lengkap:
Bambang khawatir dengan begitu besarnya kewenangan ditambah dengan makin banyaknya tanggung jawab di instansi yang berbeda makin menyulitkan kinerja kepolisian dalam mengungkap kasus.
“Kalau sekarang mereka tidak pensiun di sini, tidak mengundurkan diri, itu jelas pelanggaran undang -undang,” tegasnya.
Berbeda dengan Bambang, Ketua Komisi Kepolisian Nasional Irjen (Purn) Benny Mamoto memandang adanya anggota kepolisian yang rangkap jabatan di lembaga lain telah diperhitungkan secara matang.
“Tentunya penugasan-penugasan itu perlu ada keterkaitan dengan kompetensi yang dimiliki,” kata Benny.
Sementara terkait anggota Polri yang masih menjabat dan terjun ke politik praktis, menurut Bambang Rukminto itu adalah pelanggaran. Baginya, pengawasan terhadap anggota kepolisian yang rangkap jabatan ataupun terjun ke politik praktis hanya perkara political will dari presiden.