Kasus RJ Lino, Kerugian Negara Dihitung oleh Accounting Forensic KPK

15 Desember 2021 13:59 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan tiga unit Quay Container Crane (QCC) di PT Pelindo II pada tahun 2010, Richard Joost Lino bersiap menjalani sidang. Foto: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
zoom-in-whitePerbesar
Terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan tiga unit Quay Container Crane (QCC) di PT Pelindo II pada tahun 2010, Richard Joost Lino bersiap menjalani sidang. Foto: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
ADVERTISEMENT
KPK melakukan terobosan dalam penanganan kasus korupsi. Penghitungan kerugian negara dilakukan oleh internal KPK.
ADVERTISEMENT
Perkara yang dimaksud ialah dugaan korupsi pengadaan Quay Container Crane (QCC) dengan Terdakwa mantan Direktur Utama PT Pelindo II RJ Lino. Dalam perkara itu, untuk pertama kalinya, perhitungan kerugian keuangan negara dilakukan oleh Accounting Forensic pada Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK. Biasanya, KPK menggandeng BPK atau BPKP dalam menghitung kerugian negara.
"KPK mengapresiasi Majelis Hakim yang telah mempertimbangkan penghitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan oleh Accounting Forensic pada Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK," kata plt juru bicara KPK Ali Fikri kepada wartawan, Rabu (15/12).
Kasus RJ Lino sempat menjadi sorotan lantaran penanganan yang dilakukan KPK terbilang lama. RJ Lino menyandang status tersangka selama 5 tahun sebelum akhirnya ditahan lalu disidangkan. Bahkan Pimpinan KPK sudah berganti sebanyak 3 kali,
ADVERTISEMENT
Salah satu kendala dalam kasus itu karena memang terkait penghitungan kerugian keuangan negara. Hingga akhirnya penghitungan dilakukan oleh Accounting Forensic pada Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK.
Dalam putusannya, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor menyatakan RJ Lino bersalah melakukan korupsi dan menghukumnya 4 tahun penjara. Majelis juga menyatakan perbuatan RJ Lino telah merugikan keuangan negara hingga USD 1,99 juta atau sekitar Rp 28 miliar sebagaimana penghitungan KPK.
"Hal ini menjadi langkah maju bagi pemberantasan korupsi bahwa KPK dapat menghitung kerugian keuangan negara dengan tetap berkoordinasi bersama BPK dan BPKP yang memiliki kewenangan tersebut," kata Ali.
"Putusan Majelis Hakim telah menjunjung tinggi asas-asas penegakkan hukum tindak pidana korupsi sebagai extra ordinary crime, yang tidak hanya untuk memberikan keadilan dan efek jera bagi pelaku, namun juga mengedepankan optimalisasi asset recovery yang akan menjadi penerimaan keuangan bagi negara," pungkasnya.
Terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan tiga unit QCC di PT Pelindo II, RJ Lino mengikuti sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (16/8/2021). Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Meski RJ Lino terbukti bersalah, terdapat satu hakim yang berbeda pendapat (dissenting opinion) dalam vonis tersebut. Hakim tersebut ialah Rosmina yang juga ketua majelis hakim.
ADVERTISEMENT
Rosmina menilai RJ Lino layak divonis bebas. Sebab, ia berpendapat tidak ada niat jahat dari RJ Lino.
Selain itu, ia menilai KPK tidak cermat dalam menghitung kerugian keuangan negara.
"Unit forensik akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK tidak cermat dalam menghitung perhitungan kerugian negara," kata ketua majelis hakim Rosmina saat membacakan vonis di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa, dikutip dari Antara.
Rosmina menyampaikan sejumlah pertimbangan sebagai alasan dissenting opinion, yakni:
Pertama, terkait nilai pembayaran pengadaan dan pemeliharaan 3 unit QCC twin lift 61 ton. Jaksa penuntut umum (JPU) KPK menyatakan hal tersebut mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar USD 1.997.740,23 atau setara sekitar Rp 17 miliar.
Perhitungan kerugian negara dalam perkara tersebut dilakukan dua lembaga, yaitu BPK RI dan Unit Forensik Akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan hasil perhitungan pembayaran riil yang dilakukan PT Pelindo II kepada HDHM Cina, kata Rosmina, sebesar USD 15.165.150 di Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) KPK dan BPK. Hal tersebut terjadi karena kepada PT HDHM dikenai denda keterlambatan pengiriman barang.
Namun, Unit Forensik Akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK menyebutkan jumlah bersih yang diterima HDHM dari Pelindo II atas pelaksanaan pengadaan 3 unit pengadaan QCC adalah USD 15.554.000.
Rosmina menilai Unit Forensik Akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK tidak cermat dalam menghitung jumlah kerugian negara.
BPK, menurut Rosmina, menghitung kerugian negara dengan cara menghitung selisih nilai pembayaran pembangunan dan pengiriman serta pemeliharan 3 unit QCC dengan nilai realiasi pengeluaran HDHM.
ADVERTISEMENT
Unit Forensik Akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK memilih untuk (A) menghitung jumlah bersih yang diterima HDHM dari pembayaran Pelindo II, (B) menghitung jumlah pengadaan 3 QCC yaitu nilai HPP di manufaktur di Cina ditambah dengan margin keuntungan wajar dan biaya lain-lain, termasuk biaya pengiriman dan biaya lainnya sampai siap dipakai oleh Pelindo II. Sehingga jumlah kerugian negara adalah poin (A) dikurangi poin (B).
Menurut hakim Rosmina, di antara metode perhitungan kerugian negara antara yang dilakukan BPK dan Unit Forensik Akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK terjadi perbedaan. Yaitu BPK tidak lagi memperhitungkan keuntungan penyedia barang. Sedangkan Unit Forensik Akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK memperhitungkan keuntungan meski kerugian negara disebut timbul akibat adanya penyimpangan-penyimpangan.
ADVERTISEMENT
Rosmina menyebut tujuan pengadaan barang adalah keuntungan baik penyedia maupun pengguna. Jika pengadaan menyimpang, keuntungan tidak dapat diterima.
"Namun, dalam perhitungan Unit Forensik Akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK terdapat perbuatan-perbuatan menyimpang dari peraturan yang berlaku namun tetap kepada penyedia barang diberi hak untuk mendapat keuntungan," kata hakim Rosmina
Perhitungan keuntungan yang dilakukan Unit Forensik Akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK, menurut Rosmina, telah melakukan pelanggaran asas perhitungan kerugian negara, yaitu keuntungan hanya dapat diberikan jika ada pelanggaran
Oleh karena itu, katanya lagi, Unit Forensik Akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK dilakukan secara tidak cermat dan melanggar asas perhitungan kerugian negara. Sehingga perhtingan keuntungan bisa dikesampingkan.
Kedua, Rosmina menyebut penggunaan QCC twin lift membawa keuntungan baik bagi pengguna jasa pelabuhan maupun pada perusahaan dalam hal ini Pelindo II.
ADVERTISEMENT
Meski terdapat penyimpangan-penyimpangan dalam pengadaan 3 QCC twin lift, menurut dia, substansi penyimpangan tujuan terdakwa adalah mendapat atau mengejar keuntungan PT Pelindo II, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.
"Dalam diri terdakwa tidak ditemukan niat jahat melakukan korupsi. Maka, hakim ketua majelis tidak sepakat dengan penuntut umum, hakim anggota I dan hakim anggota II ad hoc. Jika pada diri terdakwa tidak ditemukan niat jahat pengadaan 3 unit QCC, tidak ada pidana tanpa ada niat jahat dan beralasan hukum untuk membebaskan terdakwa," ucap Rosmina.