Kejagung Dalami Keterkaitan Tom Lembong dengan Charles Sitorus soal Korupsi Gula

30 Oktober 2024 19:54 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Perdagangan periode 2015-2016 Thomas Lembong berjalan dengan mengenakan rompi tahanan usai ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi impor gula oleh Kejaksaan Agung di Jakarta, Selasa (29/10/2024). Foto: Rivan Awal Lingga/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Perdagangan periode 2015-2016 Thomas Lembong berjalan dengan mengenakan rompi tahanan usai ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi impor gula oleh Kejaksaan Agung di Jakarta, Selasa (29/10/2024). Foto: Rivan Awal Lingga/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan Menteri Perdagangan RI 2015–2016 Thomas Lembong sebagai tersangka dalam kasus importasi gula. Diduga, negara mengalami kerugian hingga Rp 400 miliar.
ADVERTISEMENT
Tom Lembong dijerat bersama dengan satu orang lainnya, yakni Charles Sitorus selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI 2015–2016.
Dalam konferensi pers di Gedung Kejagung pada Selasa (29/10) kemarin, terdapat perbedaan kurun waktu antara perbuatan yang dilakukan oleh Tom Lembong selaku menteri dan yang dilakukan oleh Charles Sitorus.
Dugaan korupsi Tom Lembong dilakukan 2015. Sementara Charles 2016.
Menanggapi itu, Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar menekankan bahwa ada keterkaitan dalam perkara tersebut meski waktu perbuatannya berbeda.
"Nanti, kan, berkaitan dia itu, karena perusahaannya PT AP, kan. 2015, yang 105 [ribu ton]. Di 2016 [ada] PT AP juga, kan. Jadi pasti ada keterkaitan, makanya itulah yang namanya merangkai peristiwa pidana," ujar Harli kepada wartawan di kantornya, Rabu (30/10).
Direktur Pengembangan Bisnis pada PT PPI 2015-2016 tersangka kasus dugaan korupsi impor gula di tahan di Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (29/10/2024). Foto: Thomas Bosco/kumparan
Ia pun menjelaskan modus yang dilakukan dalam importasi gula tersebut.
ADVERTISEMENT
"Karena yang mau kita cari, kan, tindak pidana korupsi, kan, ada unsur kerugian negara, mulai kebijakan, regulasi yang sudah ada unsur perbuatan melawan hukumnya sampai ada tindakan actus reus," kata dia.
"Di mana actus reus-nya? Ya si CS [Charles Sitorus] gandeng 8 perusahaan yang core bisnisnya bukan di situ, lalu melakukan importasi dan PT PPI seolah membeli, ya, kan. Negara kok membeli lagi dari swasta lalu dijual, nah sampai di situ," jelasnya.

Kasus Impor Gula

Adapun dalam kasusnya, pada 2015, berdasarkan rapat koordinasi antar kementerian, telah disimpulkan Indonesia surplus gula sehingga tidak perlu atau tidak butuh impor gula.
Namun, pada tahun yang sama, Thomas Lembong selaku menteri diduga justru mengizinkan persetujuan impor gula kristal mentah sebanyak 105 ribu ton kepada perusahaan PT AP. Kemudian gula kristal mentah itu diolah menjadi gula kristal putih.
ADVERTISEMENT
Padahal, yang boleh mengimpor gula kristal putih adalah BUMN, bukan perusahaan swasta. Izin itu dikeluarkan tanpa rapat koordinasi dengan instansi terkait.
Kemudian, pada 28 Desember 2015, dilakukan rapat koordinasi di Kementerian Bidang Perekonomian yang dihadiri kementerian di bawah Kemenko Perekonomian. Salah satu yang dibahas yakni Indonesia pada 2016 kekurangan gula kristal sebanyak 200 ribu ton dalam rangka stabilisasi harga gula dan pemenuhan stok gula nasional.
Pada November-Desember 2015, Charles Sitorus selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI, memerintahkan staf senior manager bahan pokok PT PPI atas nama P untuk melakukan pertemuan dengan 8 perusahaan swasta yang bergerak di bidang gula.
Perusahaan gula swasta yang dimaksud yakni PT PDSU, PT AF, PT AP, PT MT, PT BMM, PT SUJ, PT DSI, dan PT MSI.
ADVERTISEMENT
Kemudian, 8 perusahaan swasta yang mengelola gula kristal mentah jadi gula kristal putih itu sebenarnya izin industri mereka hanyalah produsen gula kristal rafinasi yang diperuntukkan untuk industri makanan minuman dan farmasi.
Lalu, setelah 8 perusahaan itu mengimpor gula mentah dan diolah menjadi gula kristal putih, PT PPI seolah-olah membeli gula tersebut tetapi sebenarnya gula itu dijual oleh perusahaan swasta ke pasaran. Harga jualnya Rp 16 ribu, jauh lebih tinggi dari HET saat itu yakni Rp 13 ribu.
Akibat perbuatannya, para tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
ADVERTISEMENT