Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Kekerasan oleh Senior, Ujian Jelang Seabad Gontor (1)
19 September 2022 13:16 WIB
·
waktu baca 12 menitJelang seabad berdiri, Pondok Modern Darussalam Gontor dihadapkan pada tragedi tewasnya Albar Mahdi. Santri berusia 17 tahun itu meninggal usai dipukul dua kakak kelasnya. Gontor bersedih, berintrospeksi, dan berjanji menjadikan pengalaman ini sebagai momen membenahi diri.
***
Kiai Hasan Abdullah Sahal menangis di hadapan para pengasuh Pondok Modern Darussalam Gontor. Sebagai salah seorang pimpinan Gontor, ia bersedih atas meninggalnya salah satu santri Gontor, Albar Mahdi. Remaja 17 tahun itu tak lagi bernapas setelah dianiaya dua seniornya, MFA dan IH, pada 22 Agustus.
Padahal, Ponpes kerap mewanti-wanti para santri senior yang menjadi pengurus pondok (mudabbir) agar tidak memukul ketika menghukum santri yang melanggar aturan.
“Teman saya yang di Gontor menceritakan, KH Hasan Abdullah Sahal menangis karena ada santri yang meninggal karena kekerasan. Beliau mengatakan, ‘Mengapa tidak saya saja yang meninggal? Saya siap meninggal asal Albar Mahdi hidup kembali,’” ujar alumni Gontor 1999, Hariqo Satria.
Albar Mahdi tewas usai dipukul dan ditendang pada bagian dada oleh MFA dan IH, senior-seniornya. Albar ketika itu dihukum lantaran belum lengkap mengembalikan peralatan kemah.
Kiai Hasan menganggap tewasnya Albar Mahdi merupakan tanggung jawabnya sebagai pimpinan Gontor. Putra keenam KH Ahmad Sahal—salah satu pendiri Gontor—itu berkata akan mempertanggungjawabkannya hingga di akhirat kelak.
“Saya sudah bilang tidak boleh sama sekali ada kekerasan, dilarang keras memukul santri. Saya akan mati. Di hari akhir, saya pasti akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah SWT, mengapa ada santrimu yang meninggal, Allah SWT pasti menanyakan itu. Bagaimana saya harus mempertanggungjawabkan ini dihadapan Allah SWT?” kata Hariqo menirukan ucapan Kiai Hasan pada pertemuan tersebut.
Sejak Gontor berdiri pada 1926, baru kali ini ada santri tewas karena dianiaya senior saat menjalani hukuman. Kasus ini jelas mencoreng nama Gontor. Namun, bagi sebagian besar alumni, Gontor bukanlah Ponpes yang mengajarkan kekerasan. Menurut mereka, Gontor justru mengajarkan ilmu kehidupan.
Hafyz Marshal pertama kali mendatangi Gontor sekitar dua dekade lalu, kala ia masih kelas 6 SD. Ketika itu ia diajak berkeliling ke sejumlah pondok pesantren di berbagai kota, mulai dari Sukabumi, Jakarta, Indramayu, sampai Ponorogo.
Di kota terakhir itulah Hafyz menambatkan pilihan untuk melanjutkan studinya, di Ponpes Darussalam Gontor. Ia kemudian ikut ujian masuk calon pelajar di Gontor. Namun, seleksi itu sama sekali tak mudah. Hafyz dua kali gagal.
“Masuk Gontor emang gampang? Susah. Gue 1,5 tahun jadi calon pelajar,” kata Hafyz, berbagi pengalaman dalam perbincangannya dengan kumparan di Senayan Park, Jakarta Pusat, Jumat (16/9).
Hafyz baru lolos jadi santri Gontor di ujian masuk yang ketiga. Tahun 2003, ia resmi bersekolah di Pondok Gontor 2 yang terletak di Madusari, Ponorogo. Pondok Gontor memang tak hanya satu. Kini, total ada 20 pondok Gontor yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, terdiri dari 12 Pondok Putra dan 8 Pondok Putri.
Menurut Hafyz, pondok-pondok Gontor secara umum sama saja. Namun, favorit para santri adalah Gontor 1—tempat pesantren itu pertama kali didirikan. Hafyz sendiri, yang semula berada di Pondok Gontor 2, pada akhirnya dipindah ke Gontor 1 karena nilai-nilainya yang baik.
Namun, di Gontor 1, Hafyz justru ketahuan melanggar aturan. Ia, misalnya, pernah tidak menggunakan bahasa Inggris atau Arab dalam percakapan sehari-hari di pondok. Ia juga tak mengikuti sejumlah kegiatan yang diwajibkan seperti lari pagi dan pidato.
Pelanggaran-pelanggaran itu membuatnya dihukum, salah satunya dengan menjadi jasus alias mata-mata. Sebagai jasus, Hafyz harus melaporkan pelanggaran yang dilakukan santri lain kepada pihak keamanan pondok atau mudabbir.
Selain itu, Hafyz menerima hukuman lain berupa salat Tahajud dan salat Subuh di depan kamar senior. Ia juga dibotaki.
“Selama di Gontor, gue sepuluh kali gue botak,” kata Hafyz.
Kebandelan Hafyz bahkan membuatnya kena ‘mutasi’—dipindah dari Pondok Gontor 1 ke pondok lain. Namun, selama enam tahun menjadi santri Gontor, dari medio 2003 sampai 2008, Hafyz tak pernah mendapat hukuman fisik.
Ia tak pernah dipukul oleh seniornya yang menjadi pengurus rayon atau asrama. Itu sebabnya, ketika mendengar kabar ada santri Gontor yang meninggal karena pemukulan itu, ia kaget.
“Di Gontor [pada masa saya] enggak ada [pemukulan]. Zaman itu, kalau pengurus kelas 6 (setara 3 SMA) mukul, dia diusir, dikeluarin [dari pondok]. Yang jadi mudabbir (pengurus) rayon dari kelas 5 pun, kalau ketahuan mukul kelas 1 sampai 4, diusir,” ujar Hafyz.
Hariqo mengamini. Lulusan ’99 itu mengatakan, selama ia mondok di Gontor, tak pernah ada santri yang dikeluarkan karena memukul santri lain. Para musyrif atau pembimbing selalu mengingatkan santri-santri senior yang diberi mandat menjadi petugas keamanan pondok untuk tidak melakukan kekerasan.
Bahkan, kekerasan seperti pemukulan dan perkelahian termasuk di antara pelanggaran syariat. Santri yang melakukannya tak pelak bakal diusir. Sama halnya dengan santri yang melakukan pelanggaran fatal lain seperti mencuri, berbuat asusila, dan mencontek.
“Saya pernah lihat waktu lagi ujian, santri depan saya nyontek. Magribnya sudah dikeluarkan,” kata Hariqo.
Sementara Hariqo Satria yang lulusan 1999 dan Hafyz Marshal yang lulusan 2008 tak pernah dipukuli atau menyaksikan pemukulan oleh senior, Abdul dan Ibnu yang lulusan 2018 justru menyebut “dipukuli adalah keniscayaan.”
Abdul pertama kali dipukul senior saat duduk di kelas 3. Gara-garanya, ia lupa memakai tanda pengenal atau name tag. Seluruh santri Gontor memang wajib mengenakan atribut lengkap, termasuk name tag. Namun, hari itu Abdul lupa.
“Saya dipukul di dada. Saya marah. Sakit hati sekali. Rasanya ingin saya balas. Kalau di luar [Gontor], sudah pasti saya balas. Hanya satu kali pukul—buk. Setelah itu sudah. Saya biarkan,” kata Abdul kepada kumparan di Yogya, Rabu (14/8). Ia meminta namanya disamarkan.
Baru di kelas 3 itu Abdul dipukul. Di kelas 1 dan 2, ujarnya, hukuman bagi santri yang melanggar aturan umumnya berupa keharusan bersih-bersih, push-up, sit up, atau lari.
Abdul menegaskan, kekerasan dan hukuman fisik, termasuk pemukulan, sesungguhnya dilarang di Gontor. “Larangan itu dibacakan secara lisan setiap tahun ajaran baru.”
Itu sebabnya, bila ada senior yang memukul adik kelasnya, biasanya hal itu tidak dilakukan di depan umum. Sang junior dipanggil dulu ke kamar atau ruangan tertentu, baru dipukul.
Walau begitu, selama masa nyantri Abdul di Gontor pada 2014–2018, kekerasan oleh senior itu tidak sampai menyebabkan siswa meninggal. Kalaupun ada santri meninggal, itu karena sakit atau kecelakaan—tertabrak atau tersetrum.
Abdul sendiri tidak pernah mau menghukum adik-adik kelasnya dengan pukulan saat ia menjadi pengurus rayon di kelas 5 (setara kelas 2 SMA). Kawan seangkatannya, Ibnu, membenarkan.
“Dia pengurus rayon yang tidak pernah memukul. Tradisi [kekerasan] itu juga kan tergantung orangnya,” ujar Ibnu.
Abdul mengangguk. “Tidak semua anak Gontor kayak begitu.”
24 Jam di Gontor
Aktivitas santri Gontor sehari-harinya amat padat. Mereka bangun pukul 04.00 untuk Tahajud, salat Subuh berjemaah, dan membaca Al-Quran. Setelah subuh lewat, santri punya waktu bebas sampai pukul 07.00 WIB yang biasa mereka gunakan untuk mandi, makan, dan bersiap masuk kelas.
Santri belajar di kelas dengan bimbingan guru-guru mulai pukul 07.00 sampai 12.30, dengan dua kali waktu istirahat. Setelah kelas bubar, mereka salat Zuhur dan makan siang, dilanjut kelas siang oleh para senior kelas 5 dan 6.
Kelas siang berakhir pukul 15.00 dan para santri salat Asar. Selanjutnya, mereka mengikuti kegiatan ekstrakurikuler seperti basket, sepak bola, melukis, jurnalistik, takraw, bahasa Arab/Inggris, tilawatil Quran, dan lain-lain.
Aktivitas itu berlangsung sekitar satu jam, dan pukul 17.00 para santri sudah harus mandi dan pergi ke masjid untuk bertilawah serta berzikir, yang langsung disambung dengan salat Magrib berjemaah.
Usai magrib, santri-santri makan malam dan salat Isya berjemaah, kemudian belajar mandiri sampai pukul 21.30 WIB. Setengah jam kemudian, pukul 22.00, mereka harus tidur.
Dalam sepekan, santri Gontor hanya libur satu hari, yakni pada hari Jumat. Khusus hari itu, seluruh penghuni pondok, mulai kiai, guru/ustaz, sampai santri, meliburkan diri. Para santri berbondong-bondong ke alun-alun untuk refreshing.
Hariqo menjelaskan, kegiatan di Gontor dilaksanakan dari santri untuk santri. Artinya, santri bukan sekadar belajar secara akademis, tapi juga mengurusi kehidupan rumah tangga di Gontor.
Ia mencontohkan, Organisasi Pelajar Pondok Modern Gontor (OPPM)—yang semacam OSIS—diberi mandat untuk mengurus hampir seluruh bidang kehidupan santri selama 24 jam. Santri senior kelas 5 dan 6 bahkan dilibatkan dalam pengajaran siang atau taklim bagi adik-adik kelasnya.
Juru Bicara Gontor Noor Syahid menyatakan, santri-santri Gontor memang dididik untuk bisa mengajar (to teach) dan mengelola (to manage) sejumlah unit pondok seperti asrama, kafetaria, dan koperasi.
Sebanyak 50 santri juga dilibatkan dalam piket atau ronda untuk menjaga keamanan pondok setiap malam. Keamanan dan kedisiplinan adalah prinsip yang ditanamkan para santri.
Dalam berbagai kegiatan di pondok, pengawasan dilakukan berjenjang. Guru mengawasi santri kelas akhir atau santri senior, sedangkan santri senior mengawasi adik-adik kelas mereka. Pengawasan itu meliputi penegakan disiplin, ketaatan pada aturan, dan kepatuhan pada kegiatan pondok.
“Santri kami biasakan tepat waktu, belajar sungguh-sungguh, dan berperangai mulia dengan mengambil serta mengamalkan nilai-nilai yang dijaga pondok seperti keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, ukhuwah islamiyah, dan kebebasan,” kata Noor kepada kumparan.
Diskresi penegakan disiplin oleh para santri kepada santri lainnya, menurut Hariqo, menjadi pembeda Gontor dengan lembaga pendidikan lain. Para santri yang mendapat diskresi adalah orang-orang pilihan. Mereka terpilih dari kombinasi beberapa faktor, yakni tingkat kelas (5 dan 6), usia, dan kedewasaan.
OPPM diambil dari santri-santri kelas 6 (setara 3 SMA). Kandidat OPPM diusulkan tim ustaz Gontor kepada kiai pimpinan pondok. Sang kiailah yang kemudian memilih nama-nama yang dianggap terbaik.
Sedangkan pengurus rayon berasal dari para santri kelas 5 (setara 2 SMA). Mereka dipilih oleh pengurus OPPM kelas 6 atas persetujuan ustaz.
Santri-santri senior dilibatkan dalam menegakkan aturan pondok, salah satunya, karena jumlah santri yang banyak dan wilayah ponpes yang luas.
“Kan asrama-asrama santri itu banyak. Ada yang [pengelolaannya di bawah] pengurus pusat [seperti menteri], ada juga yang tingkat rayon [seperti gubernur],” ujar Noor.
Di sisi lain, sistem penegakan disiplin semacam itu dianggap sebagian santri memberatkan mereka. Tak terkecuali Abdul yang terpilih menjadi pengurus rayon saat kelas 5. Ia harus bertanggung jawab atas kesalahan anggota rayon dan ikut menanggung hukuman dari kelas 6 yang paling senior.
“Kelas 5 paling berat karena urusannya sama kelas 6. Misal ada kelas 4 yang melanggar aturan, kami (pengurus rayon) dipanggil, ditanyai ‘Kenapa membiarkan adik-adik melanggar?’ Lalu kelas 6 memberikan hukuman. Hukumannya terserah mereka—namanya juga kelas 6, atasan. Bisa dihukum pukul, bisa lari keliling,” papar Abdul.
“Jadi, kelas 5 mengatur rayon dan bertanggung jawab ke kelas 6. Pokok kelas 5 sibuk tanggung jawab dan dihukum. Sebenarnya aku enggak terima,” lanjut Abdul, memendam ketidaksetujuan atas sistem tersebut.
Kelas 6 sebagai pengurus OPPM, menurut Abdul, boleh menghukum siapa pun kecuali santri kelas 1.
Janji Berbenah Diri
Meninggalnya Albar Mahdi membuat Gontor berduka. Ponpes mengakui ada kekurangan dalam upaya menjaga tradisi pondok. Oleh sebab itu, menurut Noor Syahid, Gontor menjadikan tragedi ini sebagai pelajaran penting untuk berbenah diri dari berbagai segi.
Noor tak merinci pembenahan apa yang akan dilakukan Gontor ke depan. Meski demikian, alumni seperti Hariqo dan Hafyz mengusulkan agar Gontor mengevaluasi pemberian wewenang terhadap kelas 5 (pengurus rayon) dan kelas 6 (pengurus OPPM).
“Pemilihan orang [untuk menjadi pengurus] harus lebih hati-hati. Tidak hanya menimbang kepintaran, tapi juga kematangan emosionalnya,” ujar Hariqo.
Ia sepakat pengawasan terhadap santri senior yang menegakkan disiplin perlu diperketat. Perlu ada edukasi serius kepada mereka agar tak melakukan kekerasan dalam mengatur rayon dan menghukum junior.
Selain itu, perlu aturan tertulis yang merinci jenis-jenis pelanggaran dan hukuman yang akan diterima santri. Sepengetahuan Hariqo saat nyantri di Gontor, rincian itu sudah ada untuk beberapa pelanggaran seperti mencuri. Namun, menurutnya, aturan itu perlu didetailkan hingga pelanggaran kecil.
“Misal Anda berbahasa Indonesia (bukan Arab/Inggris), berarti sanksinya menghafal. Aturan itu semua harus terbuka, dan santri-orang tua tahu. Jadi di sana santri akan belajar bagaimana jadi pengacara dan aparat,” kata Hariqo.
Selain itu, Hafyz mengusulkan agar Gontor memasang CCTV agar pengasuh pondok bisa memantau aktivitas dan penegakan disiplin di ponpes, sekaligus memiliki bukti jika terjadi sesuatu.
“Kami sebagai alumni menyayangkan ada kejadian seperti ini. Kami memberi masukan kepada pesantren. Dulu dan sekarang kan beda,” ujarnya.
Renungan Seabad Gontor
Seperti pengasuh pondok, para alumni tak kurang berduka dengan meninggalnya Albar. Cucu salah satu pendiri Gontor, KH Husnan Bey Fananie, pun mendapat rentetan telepon dari Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKPM) Gontor di luar negeri seperti IKPM Eropa, Yordania, Mesir, Malaysia, dan Thailand. Mereka menanyakan tragedi ini.
Kepada ikatan alumni, Husnan menyampaikan bahwa kasus ini menjadi momentum bagi Gontor untuk merenung jelang usianya yang seabad.
Husnan yang anggota Badan Wakaf Pondok Gontor itu mengatakan, tragedi yang menimpa Albar merupakan salah satu ujian dari Allah bagi Gontor sejak ponpes itu berdiri pada 1926.
“Agar Gontor semakin dewasa jelang satu abad, kita harus lebih mengerti tentang kepentingan negeri, bangsa, dan umat. Bukan hanya Gontor sebagai komunitas, tetapi semua umat,” kata eks Dubes RI untuk Azerbaijan itu.
Bagi banyak santri, Gontor adalah pengalaman sekaligus pelajaran berharga untuk seumur hidup. Kedua hal itu kerap menjadi tujuan para calon santri yang hendak menimba ilmu di Gontor, seperti tulisan yang terpajang di salah satu gedung di Gontor: Ke Gontor, Apa yang Kau Cari?
Hariqo, misalnya, merasa mendapat pengalaman merantau sekaligus pelajaran muamalah (interaksi sesama manusia) yang amat berharga, sedangkan Hafyz merasa mendapat pelajaran penting dari moto Gontor: berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas, dan berpikiran bebas.
Tak kalah penting, para santri juga mendapat bekal jaringan pergaulan luas setelah menempuh pendidikan di Gontor.