Keluarga Terdakwa Kasus Klitih Gedongkuning Berharap Keadilan di Jakarta

7 Maret 2023 20:44 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Para ibu dari 3 terdakwa kasus salah tangkap klitih Gedongkuning yang datang ke Amnesti Internasional. Baju Abu-abu, Andayani ((50) Ibu dari Andi), Kerudung Merah, Subadriyah ((51) Ibu dari Hanif), Kerudung Ungu, Siti Wahyuni ((51) Ibu dari Fandi).  Foto: Thomas Bosco/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Para ibu dari 3 terdakwa kasus salah tangkap klitih Gedongkuning yang datang ke Amnesti Internasional. Baju Abu-abu, Andayani ((50) Ibu dari Andi), Kerudung Merah, Subadriyah ((51) Ibu dari Hanif), Kerudung Ungu, Siti Wahyuni ((51) Ibu dari Fandi). Foto: Thomas Bosco/kumparan
ADVERTISEMENT
Tim advokasi terdakwa kasus Klitih Gedongkuning, Yogya, datang ke markas Amnesty International di Indonesia, Menteng, Jakarta Selasa (7/3).
ADVERTISEMENT
Mereka datang untuk meminta dukungan terkait kasus yang menimpa anak mereka. Mereka yang datang adalah tiga orang ibu dari para terdakwa kasus klitih di Gedongkuning.
Bersama tim advokasi, mereka meminta bimbingan Amnesty Internasional terkait mekanisme mana yang harus ditempuh agar mereka mendapat keadilan.
Para ibu dari 3 terdakwa kasus salah tangkap klitih Gedongkuning yang datang ke Amnesti Internasional. Baju Abu-abu, Andayani ((50) Ibu dari Andi), Kerudung Merah, Subadriyah ((51) Ibu dari Hanif), Kerudung Ungu, Siti Wahyuni ((51) Ibu dari Fandi). Foto: Thomas Bosco/kumparan
"Jadi kasus kami sudah masuk kasasi. Kita masih menunggu. Yang kami butuhkan pastinya kita melakukan advokasi bahwa konsolidasi sudah jalan sampai sejauh ini. Kita ingin kasus ini menjadi atensi publik, enggak cuma nasional tapi juga internasional," jelas salah satu tim advokasi, Adriani dalam diskusi tersebut.
"Kita sudah main banyak sekali ke media di Jogja tingkat lokal dan beberapa media nasional juga sudah melakukan liputan. Kemudian di sini kami hari ini," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Pihak tim advokasi mengatakan tengah menyusun laporan untuk teruskan kasus ini ke Badan Komisioner Tinggi untuk HAM di PBB (OHCHR).
Menyambut aduan tersebut, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional, Usman Hamid, menyambut baik aduan mereka. Pihaknya akan berupaya membantu lewat mekanisme tertentu agar kasus tersebut bisa naik ke level global.
Tim advokasi bersama ibu-ibu dari para terdakwa kasus salah tangkap klitih Gedongkuning datang ke Amnesti Internasional, minta dukungan internasional, Menteng, Selasa (7/3). Foto: Thomas Bosco/kumparan
"Penjelasan yang disampaikan oleh Ibu Badriah, Ibu Andayani, juga Ibu Meni semuanya cukup lengkap atau kami terima, termasuk yang disampaikan oleh pendampingnya dan lengkap dalam arti menggambarkan peristiwa-peristiwa dugaan pelanggaran HAM yang dialami anak-anak mereka," jelas Usman kepada wartawan.
"Mereka meminta Amnesty untuk ikut membantu mereka menyurati badan HAM PBB dan kita akan membantu sebaik-baiknya," lanjutnya.
Usman juga berharap Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dapat melakukan penyelidikan yang bersifat pro justisia. Artinya memeriksa delik materil atau tindakan penyiksaan yang diduga kuat terjadi di balik penangkapan, penahanan, dan proses persidangan terhadap Fandi, kemudian Hanif, dan juga Andi dalam kasus klitih pada Maret 2022 lalu.
ADVERTISEMENT
Sedangkan dua terdakwa lainnya Ryan dan Dito yang divonis paling berat, tak hadir dalam diskusi ini. Ryan divonis 10 tahun dan Dito 6 tahun.
Tim advokasi bersama ibu-ibu dari para terdakwa kasus salah tangkap klitih Gedongkuning datang ke Amnesti Internasional, minta dukungan internasional, Menteng, Selasa (7/3). Foto: Thomas Bosco/kumparan
Kejanggalan-kejanggalan kasus Klitih
Pihak keluarga lalu menceritakan kejanggalan-kejanggalan yang terjadi dalam kasus anak-anak mereka tersebut. Setidaknya ada 4 kejanggalan-kejanggalan yang dinilai sebagai bukti rekayasa yang dilakukan polisi untuk menangkap kelima anak tersebut.
Kejanggalan pertama adalah para terdakwa saat dibawa polisi adalah untuk kejadian peristiwa perang sarung yang terjadi di kawasan Druwo.
Namun mereka malah disangka dengan peristiwa klitih Gedongkuning di Sewon yang berbeda 8 Km jaraknya dari lokasi.
"Polisi menangkap mereka untuk alasan sebenarnya perang sarung. Dijemput karena perang sarung. Tapi kemudian ditersangkakan untuk klitih di Gedongkuning," papar Adriani.
ADVERTISEMENT
"Kejadian perang sarung itu di Druwo, di Bantul. Sedangkan Gedongkuning itu di Jogja Kota itu adalah 8 Km dari lokasi perang sarung. Kalau kita lihat timeline yang dibuat polisi sangat tidak masuk akal," lanjutnya.
Pihak keluarga melihat terdapat perbedaan timeline yang dijelaskan polisi dengan menggunakan riwayat perjalanan yang tercatat pada aplikasi google maps.
Kemudian di saat persidangan, saksi yang dihadirkan yang merupakan teman-teman terdakwa dikesampingkan di persidangan. Kesaksian mereka ditolak lantaran mereka adalah teman dari tersangka.
Selanjutnya kejanggalan terkait CCTV. Saat orang tua mencoba mengecek CCTV di TKP Gedongkuning, mereka tidak bisa melihatnya. Berdasarkan kesaksian mereka bukti CCTV tersebut sudah dimodifikasi.
"Jadi orang tua-orang tua ini pascakejadian keliling ke semua titik dan kemudian satu titik yang TKP. Kemudian titik di mana pengakuan anak-anak mereka sedang di mana pada waktu itu. Dari titik yang TKP itu sulit karena polisi sudah mengintimidasi para pemilik CCTV sekitar untuk menyembunyikan," cerita Adriani.
ADVERTISEMENT
"Bahkan sudah diambil dan menghapus data dan itu kemudian yang jadi obstruction of justice. Mereka ambil, dihadirkan ke persidangan dengan kondisi yang sudah divideokan dengan handphone," lanjutnya.
Saksi yang dihadirkan pun ada yang mengaku tidak bisa memastikan siapa yang ada di rekaman tersebut lantaran buruknya kualitas gambar.
Kejanggalan terakhir, dari CCTV tempat anak-anak mereka berada benar-benar menampilkan aktivitas mereka saat itu. Bahkan ada bagian yang terekam yang mereka upload di media sosial mereka.
"Terus kemudian adalah lewat CCTV yang tempat di mana anak-anak ini memang sebenarnya berada. Di tempat ini kejadian anak-anak ini memang terlihat salah satunya bisa dilihat dari CCTV di bagian belakang anak-anak sedang joget-joget. Dan di salah satu social media-nya teman ini ada foto TikTok mereka sedang joget-joget gitu," ucap Adriani.
ADVERTISEMENT
"Jadi itu sangat bisa dikonfirmasi dan jamnya berbeda ketika korban yang mengalami kekerasan yang kemudian meninggal itu dibawa ke rumah sakit. Itu jamnya tidak berkesesuaian," lanjutnya.
Selain daripada kejanggalan-kejanggalan tersebut kelima anak tersebut juga mengalami penyiksaan saat penyidikan. Bahkan Komnas HAM sudah keluarkan rekomendasi untuk ditangani kepada divisi Propam.
Akan tetapi berdasarkan keterangan orang tua yang hadir dalam diskusi tersebut akan diteruskan ke pembinaan internal. Belum ada info lanjutan terkait upaya di divisi tersebut.
Keluarga hidup di tengah opini publik yang benci Klitih
Dalam kesempatan tersebut Ibu Subadriyah (Ibunda dari Hanif), menyebutkan kalau orang tau anak-anak yang sekarang terdakwa itu mengalami tekanan yang berat dari sekitar. Mereka tertekan lantaran imbas kebencian terhadap klitih.
ADVERTISEMENT
"Kita sudah kehilangan 11 bulan, hampir setahun. Di dalam sana tidak bisa apa pun. Kami juga kena mental. Artinya kami di rumah juga harus menanggung kehidupan anak di rutan. juga dengan penilaian masyarakat, kami dikucilkan. Kami tidak bisa hidup dengan nyaman," jelas Ibu yang anaknya berumur 20 tahun.
Berdasarkan keterangan pihaknya, pengadilan Negeri Jogja bahkan menggunakan alasan merusak momentum pariwisata Yogya yang kembali buka di akhir tahun 2021. Hal tersebut dijadikan faktor yang memberatkan hukuman kelima anak tersebut.
"Itu April, sebelumnya di 2020 itu Jogja kan salah satu income utamanya dari pariwisata. Kemudian 2020 tutup, baru di 2021 akhir di Tahun Baru/Natal itu baru bergeliat. Kemudian April ada kejadian ini yang kemudian dianggap mencederai pariwisata dan itu masuk dalam putusan hakim di PN, menjadi pemberat," jelas Adriani
ADVERTISEMENT
Adriani betul imbauan Sultan untuk mengusut tuntas kasus klitih."'Segera tangkap agar tidak merusak pariwisata,' gitu," katanya dalam diskusi tersebut.
Kasus klitih Gedongkuning ini sendiri terjadi pada Maret 2022 lalu. Kasus ini menewaskan pelajar bernama Daffa Adzin, kasus ini viral di medsos serta menjadi perhatian publik.