Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Sabtu sore, 8 Juni 2024, sekitar pukul 15.00 WIB, Afif Maulana izin meminjam motor kakeknya. Remaja 13 tahun yang tinggal bersama kakek-neneknya di daerah Cengkeh, Kecamatan Lubuk Begalung, Padang , itu berkata esok hendak jalan-jalan ke Goa Kelelawar dan menginap di tempat ayahnya di Indarung, Kecamatan Lubuk Kilangan yang bersebelahan dengan Lubuk Begalung.
Namun, kepada ayah dan ibunya, Afif minta izin keluar rumah untuk nobar pertandingan sepak bola di rumah kawannya. Ia juga bilang, esok akan tanding futsal bersama kawan-kawannya.
Ayah dan ibu Afif, Afrinaldi dan Anggun Andriani, mengizinkan. Menurut Afrinaldi, nobar Afif dengan teman-temannya itu masih di Cengkeh—kelurahan yang sama dengan rumah kakek-nenek Afif.
Afif Pertama Kali Keluar Malam dan Mati
Orang tua Afif semula sempat kaget dengan permintaan izin Afif, sebab baru kali itu putra sulung mereka keluar malam demi nonton bola di rumah kawan. Maklum, di mata keluarga, Afif adalah anak manja yang jarang keluyuran. Jika tidak ada kegiatan, ia lebih suka rebahan di rumah seharian.
Sehari-hari, Afif selalu terpantau keluarga. Pagi-pagi ia diantar neneknya ke sekolah. Pulang sekolah, ia main ponsel dan keluar rumah sebentar untuk bertemu teman-teman sebayanya.
Menurut sang nenek, Afif tidak pernah keluar rumah lebih dari jam 21.00 WIB. Kalaupun keluar, seringnya untuk main futsal bersama sepupu-sepupunya. Malam hari, Afif bahkan tidur dengan neneknya.
Maka, pada hari Afif pertama kali akan keluar malam, ia bertukar kabar dengan orang tuanya. Sabtu (8/6) pukul 22.30 WIB, Afif melakukan panggilan video ke orang tuanya, menunjukkan ia sedang masak mi bersama kawan-kawannya.
“Disuruh sama keluarga, habis nonton bola—kan katanya selesai jam 01.30 [Minggu dinihari esoknya]—langsung pulang ke rumah nenek atau langsung tidur di rumah kawan,” kata pengacara keluarga Afif yang juga Direktur LBH Padang, Indira Suryani.
Itu ternyata menjadi kontak terakhir Afif dengan orang tuanya. Keesokan paginya, Minggu (9/6), Afif tak pulang ke rumah neneknya. Orang tua dan kerabat menghubungi nomor ponselnya, tetapi tak tersambung. Mereka lalu mengontak sana-sini, namun tak ada yang tahu keberadaan Afif.
Siangnya pukul 11.55 WIB, muncul kabar tentang penemuan mayat seorang anak di Sungai Kuranji, tepatnya di bawah jembatan di Jalan Bypass KM 9 Kelurahan Pasar Ambacang, Kecamatan Kuranji, pukul 11.55 siang. Kabar buruk tersebut viral di medsos.
Ibu Afif, Anggun, juga dikirimi foto-foto jasad anak itu oleh para kenalannya yang merasa ada kemiripan antara anak pada foto dengan Afif. Sorenya, keluarga pun datang ke Polsek Kuranji yang hanya berjarak sekitar 100 meter dari jembatan Sungai Kuranji.
Kakek dan nenek Afif sampai lebih dulu di Polsek Kuranji. Di sana, polisi menyampaikan dua hal: 1) Afif merupakan pelaku tawuran; 2) Afif meninggal karena lompat dari Jembatan Kuranji .
Keluarga Diminta Tak Persoalkan Kematian Afif dan Tak Boleh Saksikan Autopsi
Ayah Afif, Afrinaldi, mengatakan bahwa kakek Afif sempat diminta menandatangani dokumen yang intinya berisi pernyataan bahwa keluarga tidak akan menuntut atau memperpanjang kasus ini. Sang kakek seketika menolak menandatangi dokumen tersebut.
“Pertama datang saja polisinya sudah marah-marah. Dibilangnya, ‘Anak Ibu tawuran, melompat.’ Dibilangnya ada senjata tajam. Ndak pernah anak saya bawa, pegang sajam. Dia umur 13 tahun. Badannnya saja kecil,” ujar Anggun di Jakarta Selatan, Rabu (3/7).
Petugas Polsek Kuranji menginfokan kepada keluarga bahwa jenazah Afif ada di RS Bhayangkara Padang. Esoknya, Senin (10/6), keluarga pun pergi ke sana.
Senin itu, sekitar pukul 14.00, keluarga menandatangani izin autopsi terhadap jenazah Afif oleh pihak RS. Kesepakatan awalnya, keluarga boleh menyaksikan proses autopsi. Namun, belakangan keluarga tak diizinkan melihat.
Setelah autopsi usai, keluarga hendak mengambil jenazah Afif agar bisa dimandikan di rumah. Tetapi, menurut mereka, pihak RS tidak mengizinkan karena petugas RS-lah yang bakal memandikan hingga mengkafani jenazah.
Polisi dan RS meminta keluarga Afif terima beres urusan jenazah. Menurut paman Afif, Riki Lesmana, keluarga baru bisa mengambil jenazah Afif kala penjagaan terhadap jenazah tersebut lengang, berhubung petugas terkait disebut sedang mengurusi tahanan yang kabur.
“[Waktu ambil jenazah] itu pun ditakut-takuti sama polisi, ‘Bang, kalau bisa jangan diautopsi ulang. Kalau diautopsi ulang, harus bayar pribadi lagi Rp 20 juta,’” ujar Riki menirukan kalimat intimidatif dari seorang petugas.
Riki juga mendengar seorang polisi meminta keluarga tidak memotret tubuh Afif yang sudah diautopsi karena dianggap “aib keluarga”.
Pada akhirnya, keluarga berhasil memandikan jenazah Afif. Pemandian itu dihadiri para tetangga dan kerabat, termasuk saudara mereka yang seorang marinir. Saat melihat memar di sisi kiri tubuh Afif, sang marinir menyampaikan dugaan bahwa luka itu muncul akibat sepatu aparat.
Rangkaian insiden dengan polisi di Polsek Kuranji dan RS Bhayangkara, serta memar dan luka di tubuh Afif membuat keluarga menyangsikan anak mereka lompat dari jembatan Sungai Kuranji.
Kecurigaan tersebut membuat Riki dan keluarga memviralkan kasus Afif seraya mengontak Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang pada 12 Juni untuk mencari tahu sebab kematian Afif.
Versi Polisi: Afif Tawuran lalu Lompat ke Sungai dan Tewas
Petugas Polsek Kuranji sejak awal berkata kepada keluarga bahwa Afif tewas karena melompat dari jembatan ke sungai saat hendak tawuran. Saat mayat Afif ditemukan Minggu siang, polisi mengamankan ponselnya. Namun ponsel itu baru bisa dibuka beberapa hari kemudian.
Ketua Harian Komisi Kepolisian Nasional Irjen (Purn) Benny Mamoto sempat menanyakan hasil pemeriksaan ponsel Afif saat berkunjung ke Polda Sumatera Barat, 26–27 Juni. Kepada Benny, Kapolda Sumbar Irjen Suharyono mengatakan bahwa ponsel itu masih diperiksa oleh unit siber kala itu.
“Kala kami ke sana, hanya dipaparkan [cerita] berdasarkan keterangan Adit. Adit mengatakan, ‘Saya di-WA oleh Afif, diajak tawuran,’” ujar Benny kepada kumparan, Sabtu (6/7).
Adit adalah teman Afif. Seorang sumber di lingkaran kasus ini sempat mempertanyakan kejanggalan langkah Polda Sumbar yang tidak memeriksa ponsel Adit lebih dulu untuk mengecek riwayat chat antara dia dan Afif.
Adit dihadirkan pada forum gelar perkara pada 27 Juni di Polda Sumbar yang dihadiri oleh Polda, Kompolnas, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan LBH Padang selaku pengacara keluarga Afif.
Dalam forum itu, menurut Benny, Adit mengatakan sempat dipanggil ke rumah Afif dan ditanya-tanya.
“Dia jelaskan, ‘Saya pernah dipanggil ke rumah korban (Afif), disuruh buang SIM card segala macam,’” ujar Benny menirukan ucapan Afif.
Keterangan tersebut tak dikonfirmasi keluarga Afif dan pengacara mereka. Namun, paman Afif, Riki Lesmana, membenarkan pernah memeriksa Adit.
Setelah ponsel Afif dapat dibuka, ditemukan sejumlah bukti baru. Menurut Kabid Humas Polda Sumbar Kombes Dwi Sulistyawan, Afif memang mengontak Adit lebih dulu pada Sabtu malam (8/6), pukul 22.00 WIB, untuk menanyakan jadwal tawuran. Setelahnya, ia mendatangi Adit.
“Di situ (ponsel Afif) ada video latihan tawuran, ada video mereka pesta… Afif ini, walaupun anak-anak, dia yang nyamperin pelaku tawuran, Aditya (Adit). Sambil menunggu waktu malam, dia makan mi instan,” ujar Dwi kepada kumparan di Mapolda Sumbar, Padang, Jumat (5/6).
Secara terpisah, keluarga dalam konpers di Jakarta menyebut bahwa saat Afif sedang memasak mi instan Sabtu malam, ia menghubungi orang tuanya lewat panggilan video guna menunjukkan ia bersama teman-temannya.
Di Padang, Kombes Dwi melanjutkan keterangannya bahwa ketika hari berganti, pukul 02.00 dini hari, Minggu (9/6), Afif bergabung dengan kelompok tawuran Geng Cengkeh Raya yang hendak berkumpul dengan Geng Bandar Buat Misteri. Kedua geng itu berniat menyerang Geng Lubuk Minturun.
Di ponsel Afif, polisi juga mendapati potret Afif mengenakan jaket keemasan berkelir biru muda-putih sedang memegang pedang panjang.
Terkait foto itu, pengacara keluarga Afif, Indira Suryani, menyatakan pihaknya masih mendalaminya. Ia juga menyebut tak mau meladeni cerita Polda Sumbar yang ditaburi “bumbu-bumbu” tawuran.
Kakek Afif mengatakan, cucunya difoto memegang pedang sekitar 10 hari sebelum kejadian. Ia menduga Afif berpose seperti itu karena diminta kawannya. Keluarga yakin foto itu tidak diambil pada hari kejadian, sebab jaket keemasan yang dipakai Afif di foto itu ada di rumah.
Kembali ke peristiwa Sabtu malam, Kepolisian mendapat informasi bahwa tawuran dengan kendaraan bermotor akan berlangsung sekitar pukul 02.00 WIB, Minggu dini hari. Oleh karena itu, tim dari Sabhara Polresta Padang dan Polda Sumbar diturunkan untuk mencegahnya.
Terjadilah aksi pengejaran oleh polisi terhadap beberapa rombongan pengendara motor di Jalan Bypass, Kuranji. Polisi memepet motor yang dikendarai Adit dengan Afif duduk di boncengan.
Polisi memepet motor Adit-Afif dan menendang keduanya hingga jatuh dari kendaraan saat berada di jembatan Sungai Kuranji. Petugas yang memepet mereka kemudian berlalu untuk mengejar kendaraan lain.
Dalam situasi itu, menurut keterangan Adit kepada polisi, Afif mengajaknya loncat dari atas jembatan. Berikut percakapan mereka sebagaimana dijelaskan Kombes Dwi Sulistyawan:
“Setelah percakapan itu, Adit mencari handphone-nya yang jatuh. Saat itu, datang polisi dari belakang, set, [Adit ditangkap] oleh tim sweeper,” ujar Kombes Dwi.
Polisi Awalnya Tak Percaya Afif Loncat dari Jembatan
Setelah ditangkap polisi, Adit sempat mengecek keberadaan Afif. Namun ia tak lagi melihat Afif. Adit lalu mengatakan kepada polisi yang menangkapnya bahwa ada temannya yang melompat dari jembatan. Polisi tak percaya. Adit terus diringkus dan dibawa ke Polsek Kuranji.
Di Polsek Kuranji, ujar Kombes Dwi, Adit dikumpulkan bersama 17 orang lainnya yang diduga hendak tawuran malam itu. Di situ, Adit tak melihat sosok Afif. Ia pun kembali bilang ke polisi bahwa ada temannya yang loncat dari jembatan. Tapi lagi-lagi polisi tak menghiraukannya.
Adit dan 17 orang lainnya lalu menerima kekerasan fisik di Polsek Kuranji. Hal ini diakui Polda Sumbar, bahwa belasan anak tersebut mengalami penyalahgunaan kekerasan seperti dipukul, disundut rokok, hingga disetrum dengan electric gun.
Indira bahkan menyebut, ada tiga saksi, termasuk Adit, yang bercerita bahwa para remaja yang digelandang ke Polsek Kuranji itu sampai disuruh berciuman sesama jenis.
Polisi menekankan, Afif malam itu tidak berada di Polsek Kuranji bersama 18 remaja yang diringkus. Fakta itu, menurut polisi, berdasarkan foto yang diambil di Polsek Kuranji, keterangan Adit, serta kesaksian remaja lain yang disiksa di polsek tersebut malam itu.
Menurut Kombes Dwi, polisi baru tahu Afif betul lompat ke sungai—seperti ucapan Adit—setelah mayatnya ditemukan Minggu siang, pada waktu hampir berbarengan dengan dipulangkannya 18 remaja yang diduga akan tawuran.
“Kami tidak tahu ada kejadian seperti ini, makanya [pelaku tawuran] dipulangin semua. Kalau kami tahu dan merekayasa, semua handphone mereka pasti kami ambilin dan anak-anak itu enggak dipulangin,” ujar Kombes Dwi.
Versi Keluarga: Afif Tidak Tawuran; Tewas Disiksa Polisi
Keluarga Afif tak mempercayai keterangan Polda Sumbar. Mereka yakin Afif tak terlibat tawuran. Bagi mereka, tawuran tak cocok dengan kepribadian Afif yang lugu, manja, anak rumahan, bahkan sering bangunkan orang untuk sahur di bulan Ramadan.
Sementara itu, Direktur LBH Padang Indira Suryani menekankan bahwa tawuran belum terjadi. Menurutnya, yang terjadi Minggu dini hari itu adalah konvoi kendaraan biasa, dengan Afif dan Adit kebetulan ada di sana sehingga turut dikejar polisi. Indira berkata, polisi sendiri menyebut operasi tersebut sebagai tindak pencegahan tawuran.
Indira mengeklaim ada tujuh orang yang bersaksi bahwa para pelaku itu tidak tawuran atau membawa senjata tajam. Remaja-remaja yang dibawa ke Polsek Kuranji malam itu bahkan menyebut tidak saling kenal.
Cerita versi keluarga dan versi polisi mulai bercabang pada bagian jatuhnya Adit dan Afif saat motor yang mereka kendarai ditendang polisi.
Rupanya, sebelum dimintai keterangan oleh polisi usai penemuan jasad Afif, Adit telah lebih dulu memberikan penjelasan kepada keluarga Afif (pada 11 Juni) dan LBH Padang (pada 12 Juni).
Cerita Adit ke keluarga Afif sesungguhnya mirip seperti yang ia sampaikan ke polisi, yang rekamannya pada 11 Juni viral di medsos. Intinya: Setelah jatuh dari motor, Afif sempat ajak Adit melompat, tapi Adit enggan. Usai diringkus polisi, Adit tak lagi melihat Afif, baik di jembatan maupun Polsek Kuranji.
Bedanya, Indira yakin Afif sempat dikerumuni polisi di jembatan Sungai Kuranji. Malahan, dari tujuh saksi yang didapat LBH Padang, beberapa di antaranya melihat Afif di Polsek Kuranji, meski Adit sendiri berkata ke keluarga Afif tidak melihat sosok temannya itu di sana.
“Ada yang bilang dia lihat Afif di Polsek Kuranji dan dia dipukuli minta ampun dan ada perkataan pingsan begitu,” ujar Indira.
Dua sumber di lingkaran kasus ini menyebut bahwa sempat ada saksi yang melihat ada pemukulan dan penyiksaan oleh polisi di jembatan Sungai Kuranji. Namun, hingga kini saksi tersebut belum bisa ditemui kembali.
Menurut Indira, dari tujuh saksi yang memberikan keterangan kepada LBH Padang, hanya satu orang yang mengenal Afif. Indira menjelaskan, pihaknya mengonfirmasi kesaksian-kesaksian itu dengan cara menunjukkan foto Afif kepada tiap saksi, untuk mengetahui apakah mereka mengenalnya atau tidak.
Empat Kejanggalan Menurut Pengacara Keluarga Afif
Ada sejumlah kejanggalan yang menguatkan kecurigaan keluarga bahwa Afif tewas karena disiksa. Pertama, menurut Indira, kondisi mayat Afif yang tidak memiliki luka di kepala atau kaki layaknya orang jatuh dari ketinggian.
Kedua, pernyataan Polda Sumbar yang dianggap berubah-ubah, misalnya soal teori Afif tewas karena lompat, dan ada pula yang menyebut terpeleset.
Berdasarkan amatan kumparan di jembatan Sungai Kuranji, kemungkinan seseorang jatuh terpeleset amat kecil karena sisi jembatan diberi pembatas setinggi dada orang dewasa. Jika pun tak sengaja jatuh, teori yang lebih mungkin ialah Afif terjungkal.
Mengenai teori Afif terpeleset, hal itu sempat dikemukakan oleh Ketua Harian Kompolnas Benny Mamoto. Ia menjelaskan, kemungkinan terpeleset ada karena Afif diduga melompat di tengah jembatan untuk sampai ke sisi jembatan lainnya.
Memang, jembatan Sungai Kuranji terpisah untuk dua arah jalan, dan di antara keduanya terdapat celah di tengah sekitar 1,5 meter.
Kejanggalan ketiga, tidak ada garis polisi usai penemuan mayat Afif. Hal ini ditemukan Indira saat menerjunkan tim ke tempat kejadian perkara pada 17 Juni. Menurut Indira, garis polisi baru dipasang dua minggu terakhir.
Keempat, tidak ada rekaman CCTV di Polsek Kuranji dan sekitar TKP di jembatan Sungai Kuranji. Kapolda Sumbar menyebut CCTV itu baru dicek pada 23 Juni, dan hanya bisa menampilkan data 11 hari ke belakang.
“Menurut saya itu salah. Kan dari awal, tanggal 9, dia (Polsek Kuranji) sudah tahu ada keganjilan dan kami juga melakukan konferensi pers. Masa iya tidak diamankan CCTV [di TKP]?” kata Indira, Rabu (3/7), usai melaporkan Kapolda Sumbar ke Propam Mabes Polri.
Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel memperkirakan, Afif yang dikejar polisi malam itu dilingkupi perasaan kritis dan menakutkan. Akibatnya, ia berpikir tunggal laksana garis lurus tanpa percabangan.
Salah satu pikiran tunggal yang paling mungkin muncul, menurut Reza, adalah menyamakan tindakan dengan perilaku orang lain, semisal Adit yang usianya lebih tua darinya, yakni 17 tahun. Jadi, jika kawannya lari, ia kemungkinan ikut lari. Begitu pula bila kawannya melawan polisi, maka ia turut melawan.
Dengan demikian, jika Adit, kawannya, memutuskan menyerah—seperti keterangan Adit kepada polisi, sedangkan Afif justru menjadi satu-satunya orang yang melompat dari jembatan, hal itu justru bertolak belakang dengan sistem berpikir tersebut.
“Kemungkinan Afif melompat selalu ada. Namun, landasan berpikir saya condong mengarah ke probabilitas yang lebih besar: bahwa dalam situasi genting saat dikejar polisi, Afif akan membuat keputusan untuk juga melakukan apa yang dilakukan oleh teman-temannya,” kata Reza.
Vis-à-vis Fakta Keluarga vs Fakta Polisi
Kasus kematian Afif jadi geger salah satunya karena konpers Kapolda Sumbar pada 23 Juni yang hendak menindak pihak-pihak yang melakukan trial by the press (penghakiman publik) dengan memviralkan narasi Afif tewas disiksa.
Pada 26 Juni, LBH Padang, keluarga Afif, dan pendukung mereka menggelar aksi di Polda Sumbar menuntut keadilan. Aksi empat jam itu berakhir dengan janji Kapolda Sumbar Irjen Suharyono kepada Direktur LBH Padang Indira Suryani untuk memberikan: 1) Hasil autopsi dan 2) Rekaman CCTV.
Disepakatilah penyerahan dua bukti tersebut akan dilakukan keesokannya, 27 Juni, pukul 09.00 pagi. Sesi itu ternyata dibarengkan dengan gelar perkara tertutup yang dihadiri antara lain oleh Kompolnas, KPAI, dan Kementerian PPPA.
Di situ kemudian LBH Padang berbantah-bantahan soal warna yang timbul di tubuh Afif, yang awalnya disebut lebam mayat (livor mortis) oleh Polda Sumbar.
Dalam foto yang dilihat kumparan saat jasad Afif ditemukan, tampak luka berwarna ungu pada sisi kiri tubuh Afif, yakni sekujur rusuk dan perutnya. Menurut Indira, warna itu merupakan memar tanda kekerasan.
Namun, dokter forensik dalam forum tersebut menyatakan penyebab kematian Afif adalah patah tulang rusuk belakang kiri sebanyak 6 ruas, yang salah satunya mengenai paru-paru.
Selain soal hasil autopsi, ada pula kesaksian Adit (ia ikut hadir untuk memberikan keterangan secara langsung di hadapan LBH Padang dan Polda Sumbar) dan pembacaan data soal para petugas yang melakukan kekerasan di Polsek Kuranji.
Menurut Benny Mamoto, dalam forum terungkap ada 14 polisi yang memukul dan menendang, 1 polisi yang menyetrum dengan electric gun, dan 2 polisi yang menyulut rokok ke para remaja yang digelandang malam itu.
Polda Sumbar mengakui terjadi kekerasan oleh 17 anggotanya, dan meminta para korban melapor untuk mencocokkan siapa polisi yang melakukan apa terhadap siapa.
“Tapi ketika anggota (polisi) ditanya ‘Kamu mukul siapa?’ Jawabannya ‘Waduh Pak, saya enggak hafal karena suasananya seperti itu malam itu.’ Demikian juga korban ketika ditanya ‘Siapa yang mukul kamu?’ Jawabannya ‘Polisi, Pak!’ Ditanya ‘Yang mana?’ Jawabnya ‘Waduh, saya enggak hafal, Pak,’” kata Benny.
Menurut Benny, Kapolda Sumbar memberikan nomor kontaknya kepada Direktur LBH Padang agar LBH langsung memberitahunya bila ada saksi atau bukti baru untuk segera ditindaklanjuti.
LBH sendiri tidak segera membawa saksi-saksi yang mereka lindungi untuk diperiksa di Mapolda Sumbar. Alasannya, menurut Indira, kasus ini tergolong kejahatan terhadap hak asasi manusia sehingga tidak mudah membongkarnya. Ia meminta para saksi dilindungi dulu oleh LPSK.
“Apalagi ini anak-anak kecil; siapa yang berani lawan polisi? Mereka pun sudah disiksa, diancam, jadi enggak semudah itu sebelum kami beri bukti ke penyidik. Tapi polisi tergesa-gesa, itu aneh,” kata Indira.
Ia berharap polisi fokus mencari penyebab kematian Afif, bukannya malah fokus pada cerita tawuran.
Polda Sumbar Dianggap Reaksioner
Kasus kematian Afif berujung kontroversi setidaknya karena dua sebab. Pertama, menurut Benny Mamoto, karena Polda Sumbar terkesan meremehkan kasus sehingga tidak memprosesnya sesuai prosedur operasional standar (SOP).
SOP itu tidak berjalan karena kurangnya pengawasan melekat oleh atasan sehingga petugas polisi di lapangan menyalahgunakan wewenang.
Kedua, menurut pengamat kepolisian Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto, komunikasi publik Polda Sumbar terkesan reaksioner. Alih-alih mendalami kasus lebih dulu, Kapolda justru langsung membuat pernyataan kontroversial.
“Sehingga akhirnya masyarakat berpikir semakin jauh dan liar,” ujar Bambang.
KPAI secara khusus menyoroti anak-anak yang menjadi korban kekerasan fisik; diamankan polisi dalam pengawasan polda; dan anak saksi yang mengetahui kejadian tersebut. Ketiganya harus ditindaklanjuti karena mengindikasikan pelanggaran UU Perlindungan Anak.
“Misal, kalau membubarkan anak-anak—mungkin ada isu tawuran, caranya apa sudah proporsional, sudah benar?” kata Komisioner KPAI Diyah Puspitarini.
Diyah juga menyinggung info yang ia terima bahwa hingga kini belum ada psikolog untuk mendampingi anak-anak yang sempat diringkus polisi. Ia juga mengkritik langkah Polda Sumbar menyebarkan foto Afif yang dinilai tidak sesuai dengan UU Perlindungan Anak Pasal 64.