Kemendikbud: Anak Direktur dan Anak Tukang Becak UKT-nya Rp 5 Juta, Adil Nggak?

15 Mei 2024 14:26 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Plt. Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Tjitjik Sri Tjahjandarie dalam acara Taklimat Media tentang Penetapan Tarif UKT di Lingkungan Perguruan Tinggi Negeri di kantor Kemendikbudristek, Jakarta Pusat, Rabu (15/5/2024). Foto: Fadlan Nuril Fahmi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Plt. Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Tjitjik Sri Tjahjandarie dalam acara Taklimat Media tentang Penetapan Tarif UKT di Lingkungan Perguruan Tinggi Negeri di kantor Kemendikbudristek, Jakarta Pusat, Rabu (15/5/2024). Foto: Fadlan Nuril Fahmi/kumparan
ADVERTISEMENT
Kemendikbudristek buka suara soal uang kuliah tunggal (UKT) yang kini lagi ramai dikritik oleh mahasiswa di berbagai kampus negeri di Indonesia. Mahasiswa merasa kampus tak adil karena ada mahasiswa dari keluarga tak mampu, tapi UKT-nya besar dan ada yang sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Plt Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Prof. Tjitjik Sri Tjahjandarie, mengatakan berdasarkan Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada PTN di Lingkungan Kemendikbudristek, UKT yang wajib ditetapkan adalah UKT 1 dan UKT 2.
Nilai UKT 1 untuk keluarga dengan penghasilan Rp 0-Rp 500 ribu dan UKT 2 Rp 500 ribu-Rp 1 juta.
Namun hanya 20 persen di antara mahasiswa baru yang mendapatkan itu. Sisanya UKT 3 sampai UKT 9 ditentukan kampus. Semua tergantung mekanisme masing-masing.
Mahasiswa ITB menggelar demo di Gedung Rektorat ITB, Jalan Sulanjana, Kota Bandung, terkait pembayaran UKT. Foto: Rachmadi Rasyad/kumparan
Namun Tjitjik meminta kampus tetap inklusif dalam menentukan batas UKT mahasiswa. Jangan sampai terjadi ketidakadilan.
"Ini Saudara-saudara semua, nih, ya, rekan-rekan, ikhlas nggak kalau, mohon maaf, nih, anaknya direktur misalnya di Kementerian Keuangan. Kemudian dia minta UKT-nya Rp 5 juta. Adil nggak? Tidak adil. Tapi faktanya itu terjadi," kata Tjitjik dalam jumpa pers di kantornya, Jalan Sudirman, Jakarta, Rabu (15/5).
ADVERTISEMENT
Namun, ia mengaku tidak bisa mengontrol sepenuhnya UKT di kampus. Untuk itu ia meminta kampus bekerja sama.
"Pendidikan tinggi ini, supaya benar-benar bermutu memenuhi dengan Standar Nasional Pendidikan Tinggi, ya, kita tidak bisa, pemerintah tidak bisa sendiri. Perlu gotong royong dengan masyarakat," ujar Tjitjik.
"Ada standar minimal. Jangan sampai anaknya tukang becak dikenakan UKT Rp 5 juta. Jangan sampai kemudian, mohon maaf, ada yang, kan, kita punya kriteria, nih, ikut yang kriteria diisi. Yang dimaksud dengan golongan ukuran mampu itu adalah yang penghasilan orang tuanya maksimum, itu adalah Rp 4 juta," lanjutnya.
Mahasiswa USU menggelar aksi demo terkait kenaikan dan penggolongan UKT yang dinilai ngawur pada Rabu (8/5/2024). Foto: Dok. Istimewa
Atau, kata Tjitjik, rata-rata pendapatan penghidupan untuk per anggota keluarga itu tidak boleh lebih dari Rp 750.000.
ADVERTISEMENT
"Kalau misalnya saya, penghasilan saya Rp 5.000.000, tapi anak saya itu 5 dan kemudian kan ada ayah dan ibu, Rp 5.000.000 dibagi 7, itu berapa ini? [Jika penghasilan] Di bawah, misalnya di bawah Rp 7.500.000, ya dia tetap masuk kelompok yang Rp 1.000.000 [UKT 2]," jelasnya.
Demo mahasiswa memang belakangan terjadi di kampus-kampus berbadan hukum atas mahalnya UKT. Dari mulai UGM hingga USU.
Di USU misalnya, BEM memprotes, ada mahasiswa yang orang tuanya punya penghasilan Rp 3 juta, tapi UKT-nya Rp 8 juta. Menurut mereka itu sesuatu yang tidak adil.