Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Kemlu: Negara Pasifik yang Ungkit Papua di Sidang Majelis Umum PBB Tinggal Satu
12 September 2022 16:22 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Setiap tahunnya, negara-negara Kepulauan Pasifik mengangkat isu pelanggaran HAM di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dalam Sidang Majelis Umum PBB (UNGA). Namun, kelompok yang membawakan isu tersebut kini hanya tersisa satu negara.
ADVERTISEMENT
Pernyataan itu disampaikan oleh Kementerian Luar Negeri RI. Pihaknya tidak merinci negara yang dimaksud. Namun, negara yang konsisten melayangkan tuduhan tersebut adalah Vanuatu.
"Jadi kalau kita lihat tren dalam beberapa tahun terakhir ini, dari beberapa negara Pasifik yang selalu berbicara di Sidang Majelis Umum PBB, 'atas nama teman-teman atau saudara-saudara di Papua', itu tinggal satu," terang Dirjen Kerja Sama Multilateral Kemlu RI, Tri Tharyat, saat Media Briefing di Jakarta pada Senin (12/9).
Ketika ditanya perihal potensi terulangnya perdebatan, Tri membeberkan sejumlah respons dari pemerintah. Menlu RI, Retno Marsudi, telah memperkuat kerja sama dengan Kepulauan Pasifik.
Retno mengadakan perjalanan resmi menuju Fiji dan Kepulauan Solomon pada 6 dan 7 September. Dalam lawatan itu, dia menyampaikan bantuan Indonesia kepada negara-negara tersebut.
ADVERTISEMENT
Retno turut menginisiasikan dialog terkait dengan negara-negara Kepulauan Pasifik. Dia menggarisbawahi kemajuan yang diciptakan pemerintah di Provinsi Papua dan Papua Barat.
Pemerintah Indonesia mengupayakan agar klaim-klaim pelanggaran HAM tidak kembali terdengar di UNGA. Tetapi, Tri menekankan, semua negara tentunya berhak untuk angkat bicara dalam PBB.
"Tidak ada internasionalisasi isu Papua. Semua negara boleh ngomong apa saja di forum PBB karena tidak ada larangan," jelas Tri.
"Yang jelas, semua negara mendukung NKRI dalam integritas wilayah dan kedaulatan Indonesia di seluruh wilayah Indonesia," imbuhnya.
Isu Papua di UNGA
Klaim seputar pelanggaran HAM di Papua dan Papua Barat pertama kali menggema di UNGA ke-71 pada 2016. Vanuatu bersama lima negara Kepulauan Pasifik lainnya menyuarakan kekhawatiran mereka.
ADVERTISEMENT
Negara-negara tersebut adalah Kepulauan Solomon, Kepulauan Marshall, Nauru, Tuvalu, dan Tonga. Keenam negara itu mendesak PBB agar menyelidiki dugaan pelanggaran HAM di Indonesia.
Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Manasseh Sogavare, mengaitkannya dengan perjuangan kemerdekaan di kedua provinsi. Vanuatu lantas mendesak Indonesia agar memberikan orang Papua kebebasan untuk menentukan nasib mereka sendiri.
Perwakilan Indonesia dalam UNGA ke-71, Nara Masista Rakhmatia, menyebut bahwa kritik mereka memiliki motif politik. Menurut Nara, negara-negara itu sengaja mengalihkan perhatian dunia.
Sehingga, mereka dapat menutupi permasalahan dalam negeri. Dengan demikian, dia menegaskan, mereka telah melanggar kedaulatan dan integritas teritorial Indonesia.
"Sangat disesalkan dan berbahaya bagi negara-negara untuk menyalahgunakan PBB," ujar Nara, dikutip dari ABC, Senin (12/9).
"Negara-negara ini menggunakan Majelis Umum untuk memajukan agenda domestik mereka, dan bagi beberapa negara untuk mengalihkan perhatian dari masalah politik dan sosial di dalam negeri," tambah dia.
ADVERTISEMENT
Negara-negara Kepulauan Pasifik mengulangi pernyataan mereka pada 2017. Selama UNGA ke-72, mereka menuduh, PBB sengaja mengabaikan 'kolonialisme' di Provinsi Papua dan Papua Barat.
Ketika kecaman itu muncul untuk ketiga kalinya dalam UNGA ke-73 pada 2018, Indonesia menuding bahwa Vanuatu menantang hubungan antara kedua negara dan mendukung gerakan separatisme.
Mantan Wakil Presiden RI, Muhammad Jusuf Kalla, juga menanggapi kritik dari Vanuatu. Dia menegaskan, perlakuan semacam itu melanggar prinsip-prinsip PBB.
"Indonesia tidak akan membiarkan negara mana pun merusak integritas teritorialnya," ujar Jusuf Kalla usai UNGA ke-73 dikutip dari The Guardian.
"Seperti negara berdaulat lainnya, Indonesia akan dengan tegas mempertahankan integritas teritorialnya," sambung dia.
Vanuatu lalu mengungkapkan harapan tentang penyelidikan terkait dalam UNGA ke-74 pada 2019. Mereka menuntut investigasi langsung dari Kantor Komisaris Tinggi HAM PBB (OHCHR).
ADVERTISEMENT
Perdana Menteri Vanuatu, Bob Loughman, lalu mengaku masih mencatat banyak pelanggaran HAM di Indonesia pada 2020. Dia menyinggung laporan tersebut dalam pertemuan UNGA ke-75.
Loughman meminta Indonesia untuk mengizinkan kunjungan Dewan HAM PBB (UNHRC). Dia juga masih meragukan status kedua wilayah itu sebagai bagian dari Indonesia.
Menanggapi seruan itu, diplomat Indonesia di New York mengungkit prinsip-prinsip dasar Piagam PBB. Sebab, PBB tidak memiliki wewenang untuk campur tangan dalam masalah negara lain.
Dia juga membahas konvensi internasional tentang penghapusan diskriminasi rasial yang justru belum ditandatangani Vanuatu.
Walaupun begitu, Loughman tidak mengurungkan niat untuk membahasnya dalam UNGA ke-76 pada 2021. Dia mengatakan, Forum Pasifik telah mengajukan kunjungan OHCHR ke Indonesia.
"Pelanggaran HAM terjadi luas di seluruh dunia, masyarakat Papua Barat terus menderita pelanggaran HAM," ungkap Loughman.
ADVERTISEMENT
Sekretaris Ketiga Perwakilan Tetap RI di New York, Sindy Nur Fitri, membalas kritik Loughman. Dia mempertanyakan sikap Vanuatu terkait kelompok separatis di Provinsi Papua dan Papua Barat.
"Vanuatu secara sengaja menutup mata ketika kelompok kriminal separatis bersenjata ini membunuh para perawat, tenaga kesehatan, guru, pekerja konstruksi, dan aparat penegak hukum," tegas Sindy.
"Ketika ada sejumlah pekerja konstruksi yang dibunuh secara brutal, mengapa Vanuatu memilih untuk diam? Ketika para guru dibantai tanpa belas kasihan, mengapa Vanuatu memilih diam?" tanya dia.