'Kerontjong Toegoe,' dari Portugis untuk Nusantara

24 Juli 2018 8:32 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Lonceng peninggalan Portugis di Tugu, Cilincing, Jakarta Utara. (Foto: Andreas Ricky Febrian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Lonceng peninggalan Portugis di Tugu, Cilincing, Jakarta Utara. (Foto: Andreas Ricky Febrian/kumparan)
ADVERTISEMENT
Lantunan keroncong pasti tak asing bagi telinga kita. Siapa sangka, musik ini dibawa oleh serdadu Portugis yang ditawan Belanda usai Pertempuran Malaka, pada tahun 1640.
ADVERTISEMENT
Serdadu yang akhirnya dimerdekakan ini mulai bermain musik, dengan alat seadanya setibanya di Batavia. Sekedar menghibur diri atau mengenang tanah air yang tak akan mereka jumpai lagi.
“Mereka memainkan musik yang berbekal bass betot, ukulele, dan rebana,” kata Arthur James Michiels, salah satu keturunan Portugis yang bermukim di Kampung Tugu, Cilincing, Jakarta Utara di kediamanya pada Senin (23/7). Arthur merupakan pembetot bass pada grup musik Kerontjong Toegoe.
Bangunan peninggalan Portugis di Tugu, Cilincing, Jakarta Utara. (Foto: Andreas Ricky Febrian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Bangunan peninggalan Portugis di Tugu, Cilincing, Jakarta Utara. (Foto: Andreas Ricky Febrian/kumparan)
Arthur menjelaskan, musik keroncong mendapat sentuhan dari ragam alat musik yang bersinggungan dengan Portugis. Termasuk Rebana, yang diperkenalkan oleh orang-orang Moor (Arab bagian Afrika Utara).
“Ada sentuhan rebana, karena Portugis pernah dijajah oleh Arab pada abad ke-7, lalu sitar India, karena basis Portugis saat era pelayaran abad ke-16 itu ada di Gua,” terang Arthur.
ADVERTISEMENT
Di Nusantara, musik ini mendapat tempat di kalangan Sinyo kemayoran, kalangan menengah saat itu. Selain para sinyo, musik ini juga diajarkan secara otodidak kepada orang Betawi saat itu. Tampaknya, Orang Betawi cepat belajar. Bahkan mereka bisa mengembangkan sendiri sesuai dengan selera mereka.
“Mulai dari sini Keroncong menyebar menyesuaikan dengan alat musik lokal, di Solo menjadi lambat, sesuai dengan permainan Gamelan. Di Ambon menjadi mendayu-dayu seperti nyiur. Kalau keroncong Tugu biasanya pakai nada mayor saja, A-D-G,” kata Arthur sembari memainkan ukulele nya.
Arthur bersama dengan kakaknya, Andre Juan Michiels membuat kelompok musik Krontjong Toegoe. Adik perempuanya menjadi salah satu penyanyi dari grup musik yang tenar di Istana Negara ini.
ADVERTISEMENT
“Di depan pak SBY kami pernah main di Istana, tepat saat kunjungan Presiden Brazil di tahun 2009, kami dapat standing applause dari sang Presiden Brazil. begitupun saat pelantikan Pak Ahok. Di era Jokowi, kami langganan main saat 17-an,” kenangnya.
Lonceng peninggalan Portugis di Tugu, Cilincing, Jakarta Utara. (Foto: Andreas Ricky Febrian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Lonceng peninggalan Portugis di Tugu, Cilincing, Jakarta Utara. (Foto: Andreas Ricky Febrian/kumparan)
Satu yang tak bisa dilupakan adalah ketika Krontjong Toegoe menjadi bintang utama perayaan penetapan musik Fado menjadi warisan budaya tak bergerak dari UNESCO, di Lisbon, Portugal, pada Akhir Januari tahun lalu. Fado sendiri merupakan musik khas Portugal, mereka juga menggunakan gitar dengan irama yang hampir sama dengan Keroncong Nusantara.
Arthur James Michiels, keturunan ke - 10 Orang Portugis pertama (Mardjikers) yang bermukim di Tugu. (Foto: Reki Febrian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Arthur James Michiels, keturunan ke - 10 Orang Portugis pertama (Mardjikers) yang bermukim di Tugu. (Foto: Reki Febrian/kumparan)
Saat berada di Lisbon, rupanya mereka sempat diremehkan oleh direktur Museum de Fado. Krontjong Toegoe tak gentar, ke-12 pemain termasuk Arthur dan Andre mantap menyanyi di khalayak Portugal.
ADVERTISEMENT
“Lagu penutup, kami bawakan lagu Rosa Branca, hits dari Mariza, yang menyanyikan Saartje adik saya. Ketika lagu usai dibawakan, sang diva memeluk kami, berkata kepada kami bahwa kami membawakan lagu dengan bahasa Portugis yang fasih dan alunan yang indah,” pungkas Arthur.