Ketua MK: Eks Terpidana Telah Jalani Jeda 5 Tahun, Tak Perlu Dicabut Hak Politik

3 Juni 2024 21:08 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (tengah) memimpin jalannya sidang putusan perselisihan hasil Pemilu (PHPU) atau Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (22/4/2024). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (tengah) memimpin jalannya sidang putusan perselisihan hasil Pemilu (PHPU) atau Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (22/4/2024). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
Mantan terpidana yang telah menjalani masa jeda lima tahun, tidak perlu lagi mendapatkan sanksi pencabutan hak politik. Sebagaimana tertuang dalam Putusan MK Nomor 12/PUU-XXI/2023 tertanggal 28 Februari 2023.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut disampaikan Ketua MK Suhartoyo yang menjadi Ketua Panel Hakim I dalam sidang lanjutan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Anggota DPD Provinsi Sumatera Barat yang dimohonkan oleh Irman Gusman di Ruang Sidang Pleno MK, Senin (3/6).
Awalnya Ketua KPU Hasyim Asy’ari menyampaikan keterangan terkait penyebab diskualifikasinya Irman Gusman sebagai Anggota DPD RI. Hasyim mengatakan, KPU merujuk putusan MK di mana putusan peradilan yang menjatuhkan sanksi pencabutan hak politik kepada terpidana.
Pernyataan itu lalu direspons Suhartoyo. Dia mengatakan, putusan itu tak lagi relevan karena menimbulkan kesan seseorang dihukum dua kali atas kesalahan yang sama.
“Jika mencermati Putusan MK, terhadap terpidana yang sudah dikenakan masa jeda lima tahun, itu tidak relevan lagi dikenakan (sanksi) pidana pencabutan hak politik. Meski tidak diamarkan, tapi itu ada dipertimbangkan hukum Putusan MK. Karena apa? Itu sama saja menghukum orang dua kali, sekalipun itu untuk kategori berat karena pada akhirnya terabsorbsi,” kata Suhartoyo, dikutip dari situs MK.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, Hasyim menjelaskan, berdasarkan harmonisasi dengan Kementerian Hukum dan HAM, disepakati kalau terdapat eks terpidana yang bersangkutan pernah dicabut hak politiknya selama tiga tahun harus ditambah dua tahun supaya genap lima tahun untuk memenuhi masa jeda lima tahun.
“Namun karena kemudian ada pandangan demikian dalam harmonisasi dan kami mengikuti pandangan Kementerian Hukum dan HAM dalam harmonisasi, maka kemudian kalau sudah pernah dicabut haknya dan sudah dijalankan masa jeda pencabutan hak politik tiga tahun maka sudah cukup tidak perlu digenapi lima tahun. Dengan demikian itu yang menjadi norma,” ungkapnya.
Lewati Masa Jeda
Keterangan Hasyim tersebut berkelindan dengan keterangan yang disampaikan oleh Dosen Tata Negara dan Pemilihan Umum Universitas Andalas Khairul Fahmi sebagai Ahli Termohon. Ia menyebut norma ketentuan pidana dalam Pasal 11 UU Tipikor mengandung ancaman pidana paling lama 5 tahun.
ADVERTISEMENT
“Bila dihubungkan dengan ketentuan syarat tidak pernah dipidana dengan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih sebagai termuat dalam Pasal 182 huruf g UU Pemilu, maka angka 5 (lima) tahun itu bertemu. Lima tahun ancaman maksimal dalam Pasal 11 UU Tipikor dan 5 (lima) tahun ancaman pidana sebagai syarat dalam UU Pemilu,” jelas Khairul.
Oleh karena itu, sambungnya, apabila seseorang pernah dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana yang diancam dengan ancaman pidana yang termuat dalam Pasal 11 UU Tipikor, maka syarat jeda selama 5 tahun sebagaimana terdapat dalam Putusan MK Nomor 12/PUU-XXI/2023 berlaku bagi yang bersangkutan.
Apabila yang bersangkutan belum melewati masa jeda, maka yang bersangkutan tidak atau belum memenuhi syarat sebagai perseorangan calon anggota DPD.
ADVERTISEMENT
“Bila dibaca amar Putusan PTUN menyatakan Keputusan KPU Nomor 1563 Tahun 2023 tentang Daftar Calon Tetap Anggota Dewan Perwakilan Daerah Pemilihan Umum Tahun 2024 batal dan PTUN juga memerintahkan agar KPU mencabut Keputusan dimaksud. Hanya saja, KPU tidak melaksanakan Putusan tersebut. Alasannya karena Pasal 18 ayat (2) Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2023 yang menjadi dasar pencalonan Pemohon telah dinyatakan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi berdasarkan Putusan Mahkamah Agung. Hal mana, sebagai konsekuensi Putusan Pengujian Peraturan KPU tersebut, Pemohon perkara PHPU DPD ini harus terlebih dahulu melewati masa jeda sejak selesai menjalani pidana penjara,” ungkap Khairul.
Dengan demikian, Khairul melanjutkan, KPU dalam memutuskan penetapan Daftar Calon Tetap Anggota DPD telah mendasarkan keputusannya atas ketentuan peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan, yaitu UU Pemilu, Putusan MK dan juga Putusan MA dalam pengujian UU Pemilu dan pengujian Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2023.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, keputusan penetapan Daftar Calon Tetap Anggota DPD Pemilu 2024 tidak dapat dinilai sebagai pelanggaran. Bahkan, apa yang ditetapkan KPU dalam penetapan Daftar Calon Tetap Anggota DPD Daerah Pemilihan Sumatera Barat memang sudah seharusnya seperti itu sebagai bentuk kepatuhan KPU terhadap peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.
Selain itu, ia menjelaskan, dalam menerima pendaftaran bakal calon anggota legislatif (termasuk DPD) KPU melakukan verifikasi kelengkapan dan keabsahan dokumen persyaratan yang diunggah pada sistem informasi pencalonan (SILON).
Jika ditemukan ada dokumen pendukung keterpenuhan syarat sebagai calon yang tidak benar atau tidak sesuai dengan fakta yang sesungguhnya, maka KPU sebagai penyelenggara pemilu berwenang untuk menyatakan bakal calon dimaksud tidak memenuhi syarat.
ADVERTISEMENT
“Sehingga, bakal calon yang demikian memang harus dinyatakan tidak memenuhi syarat. Dengan dinyatakan tidak memenuhi syarat, maka KPU tidak perlu lagi menetapkan yang bersangkutan sebagai calon anggota legislatif dalam Daftar Calon Tetap (DCT),” ungkap Khairul.
Dalam sidang tersebut, Maruarar Siahaan yang merupakan Ahli Hukum Tata Negara menilai konflik norma yang timbul akibat putusan MK harus dipecahkan dengan asas-asas derogasi norma, baik melalui pengujian undang-undang atau revisi norma oleh pembuat undang-undang.
Menurutnya, putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap dalam satu kasus konkret adalah norma hukum dalam arti konkret yang dideduksi dari norma abstrak. Sehingga selama putusan hakim tersebut tidak dibatalkan dia berlaku mengikat sebagai norma hukum yang berlaku untuk kasus konkret tersebut.
ADVERTISEMENT
“Putusan MK/MA dalam judicial review yang menyatakan norma yang diuji inkonstitusional dan tidak mengikat, harus diimplementasikan dengan mengubah UU yang diuji lebih dahulu untuk dapat mempunyai kekuatan hukum mengikat kecuali menyangkut pembatalan norma HAM dan hukum pidana, yang dinyatakan inkonstitusional. Hal ini sifatnya self implementing, orang tidak dapat dihukum dengan norma yang dinyatakan inkonstitusional,” ucap Maruarar.
Maruarar menegaskan, pengabaian terhadap putusan tersebut merupakan sikap yang melanggar profesionalitas, jujur, adil, kepastian hukum dan sikap independent KPU mengakibatkan Keputusan KPU No. 1563 tahun 2023 Tentang DCT Anggota DPD dalam Pemilu Tahun 2024, dan Keputusan KPU Nomor 360/2024 Tentang Rekapitulasi Hasil Perolehan Suara Pemilihan Umum anggota DPD tahun 2024 untuk daerah Pemilihan Provinsi Sumatera Barat adalah batal demi hukum.
ADVERTISEMENT
Gugatan Irman Gusman di MK
Mantan Ketua DPD RI, Irman Gusman, saat diwawancarai wartawan di Gedung Bawaslu, Jakarta Pusat, Jumat (10/11/2023). Foto: Fadlan Nuril Fahmi/kumparan
Irman Gusman juga menjadi salah satu pihak yang melayangkan gugatan pada sidang sengketa hasil pileg 2024. Pada gugatannya, ia menuntut KPU melakukan pemungutan suara ulang (PSU) untuk calon anggota DPD di Sumatera Barat dengan dirinya masuk sebagai salah satu daftar caleg.
Melalui kuasa hukumnya, Heru Widodo, Irman Gusman mempermasalahkan surat keputusan KPU yang mencoret namanya dari daftar calon sementara (DCS) lantaran pernah jadi terpidana korupsi dan belum bebas bersyarat atau masa jeda selama lima tahun. Dengan pencoretan itu, ia tidak ikut serta dalam Pileg DPD 2024 untuk wilayah Sumatera Barat.
“Tindakan termohon telah merugikan pemohon karena mengakibatkan hilangnya hak pemohon untuk dipilih sebagai calon anggota DPD,” kata Heru Widodo di panel 1 MK, Jakarta, pada Senin (29/4).
ADVERTISEMENT