Ketua MPR Tanggapi Putusan MK Revisi PT 4%: Kembali ke DPR dan Pemerintah

8 Maret 2024 16:37 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Politisi Partai Golkar Bambang Soesatyo menjawab pertanyaan wartawan seusai menemui Presiden Joko Widodo. Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
zoom-in-whitePerbesar
Politisi Partai Golkar Bambang Soesatyo menjawab pertanyaan wartawan seusai menemui Presiden Joko Widodo. Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
ADVERTISEMENT
Ketua MPR sekaligus Wakil Ketua Umum Golar Bambang Soesatyo alias Bamsoet menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi yang memutuskan parliamentary threshold sebesar 4 persen direvisi.
ADVERTISEMENT
Bamsoet mengatakan, masalah PT ini menjadi kewenangan penuh pembentuk UU, yakni DPR dan pemerintah.
"Semua kembali pada pembuat undang-undang di DPR dan pemerintah," kata Bamsoet di DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (8/3).
Ketua MPR ini enggan memberikan banyak komentar sebab MPR tidak mempunyai kewenangan untuk merespons isu ini.
"Ya, saya berkomentar sebagai Ketua MPR, menyerahkan sepenuhnya kepada DPR dan pemerintah," tutup dia.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo membacakan putusan uji formil aturan syarat usia capres dan cawapres di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (16/1/2024). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Sebelumnya MK mengabulkan gugatan tentang ambang batas parlemen 4%. Gugatan dengan Nomor Perkara 116/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Diwakili oleh Khoirunnisa Nur Agustyati selaku Ketua Pengurus Yayasan Perludem dan Irmalidarti selaku Bendahara Pengurus Yayasan Perludem.
Mereka menggugat Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu, yang berbunyi "Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR."
ADVERTISEMENT
Dalam permohonannya, Perludem menilai proses demokrasi akibat besarnya angka ambang batas yang mengakibatkan banyaknya suara pemilih yang tidak bisa dikonversi dalam penentuan kursi di parlemen.
Secara sederhana, ambang batas didefinisikan sebagai syarat minimal perolehan suara yang harus diperoleh partai politik peserta pemilu, agar bisa diikutkan di dalam konversi suara ke kursi di pemilu legislatif atau sebagai syarat untuk mendapatkan kursi legislatif.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat didampingi Hakim Daniel Yusmic P Foekh dan Hakim Arsul Sani memimpin persidangan pendahuluan Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentan Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) di Gedung MK, Jakarta, Rabu (6/3). Foto: Mahkamah Konstitusi
Perludem mempertanyakan, apakah penetapan angka 4% sebagai ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sudah sesuai dengan prinsip sistem pemilu proporsional.
Menurut Perludem, penentuan angka ambang batas parlemen yang tidak pernah didasarkan pada basis perhitungan yang transparan, rasional, terbuka, dan sesuai dengan prinsip pemilu proporsional.
Dalam putusannya, MK mengakui tidak menemukan dasar metode dan argumen yang memadai dalam menentukan besaran angka atau persentase ambang batas parlemen dimaksud. Termasuk metode dan argumen yang digunakan dalam menentukan paling sedikit 4% dari jumlah suara sah secara nasional sebagaimana ditentukan dalam Pasal 414 ayat (1) UU 7/2017.
ADVERTISEMENT
Menurut MK, kebijakan ambang batas parlemen telah mereduksi hak rakyat sebagai pemilih. Hak rakyat untuk dipilih juga direduksi ketika mendapatkan suara lebih banyak tetapi tidak menjadi anggota DPR karena partainya tidak mencapai ambang batas parlemen.
Oleh karenanya, MK menilai perlu ada perubahan ambang batas parlemen 4%. Namun, terkait besarannya, MK menilai hal tersebut merupakan kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang. Sepanjang penentuan tersebut menggunakan dasar metode dan argumentasi yang memadai.
Namun, MK menyatakan ketentuan 4% tersebut masih berlaku untuk Pemilu 2024. Meski demikian, ketentuan baru akan dipakai untuk Pemilu 2029.