Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Kewenangan Jaksa Bertambah, Komjak Usul Posisi Jaksa Agung Diisi Pejabat Karier
8 Desember 2021 11:40 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, dengan bertambahnya kewenangan tersebut, Kejaksaan diminta menggunakannya sesuai dengan aturan. Keraguan itu muncul dikarenakan posisi Jaksa Agung kerap dianggap sejumlah pihak sebagai jabatan 'politik'.
Seperti salah satunya pernah disampaikan oleh Anggota Dewan Pakar Partai NasDem Taufiqulhadi pada 2019 silam.
"Masalah Jaksa Agung ini adalah dia jabatan politik, dalam konteks Indonesia dia jabatan politik. Semua partai boleh melirik posisi tersebut," kata Taufiqulhadi di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (30/7/2019).
Pernyataan itu keluar di saat Presiden Jokowi-Ma'ruf Amin hendak menentukan Jaksa Agung pada 2019. Dalam kabinet Jokowi periode 2014-2019 posisi Jaksa Agung diduduki oleh pensiunan jaksa yang menjadi kader Partai NasDem, HM Prasetyo.
Pada 2019, posisi Jaksa Agung diisi oleh ST Burhanuddin. Ia merupakan purnawirawan jaksa.
ADVERTISEMENT
Burhanuddin sempat membantah dirinya terafiliasi dengan PDIP. Dugaan itu tak terlepas dari hubungannya dengan politikus PDIP, TB Hasanuddin. Burhanuddin ialah adik dari Hasanuddin.
Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak) Barita Simanjuntak memiliki catatan sendiri terkait dengan posisi Jaksa Agung. Menurut dia, Komjak telah mengusulkan posisi Jaksa Agung dipilih berdasarkan jabatan karier.
"Untuk mengatasi hal itu, itulah sebabnya kami mengusulkan agar Jaksa Agung adalah jabatan karier profesional jadi bebas dari berbagai intervensi politik. Publik bisa menilai rekam jejak pejabat karier jaksa dan terlatih serta teruji dalam pelaksanaan tugas dan karier selama jadi jaksa," kata Barita Simanjuntak kepada wartawan, Rabu (8/12).
Selama ini, posisi Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Hal tersebut sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan RI tepatnya pada Pasal 19.
ADVERTISEMENT
Berikut bunyinya: Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh serta bertanggung jawab kepada Presiden.
Kewenangan Penyadapan Jaksa Harus Diawasi Ketat
Terkait kewenangan jaksa yang bertambah, Barita mendukungnya. Sebab, fungsi kewenangan kejaksaan sebagai intelijen penegakan hukum, maka kewenangan semacam penyadapan mutlak harus dimiliki Kejaksaan.
"Sebab tidak mungkin fungsi ini bisa berjalan dengan baik tanpa kewenangan tersebut. Karena itu kami support dan berterima kasih kepada DPR sebagai pembuat UU yang memahami dan memberikan landasan hukum dalam UU untuk memperkuat Kejaksaan menjalankan kewenangan tersebut," kata Barita.
Namun demikian, dengan bertambahnya kewenangan, mutlak pengawasan harus ditingkatkan.
"Tentu saja seberapa besar kewenangan yang diberikan akan sejalan dan seimbang dengan bagaimana kewenangan itu diawasi agar tidak terjadi penyimpangan atau penyalahgunaan kewenangan itu," kata dia.
ADVERTISEMENT
"Karena itulah UU sendiri telah mempersyaratkan secara ketat pengawasannya melalui adanya izin pengadilan atau hakim secara teknis dan pengawasan oleh internal Kejaksaan maupun oleh Komisi Kejaksaan sesuai tugas dan kewenangannya," sambung dia.
Pesan Jaksa Agung
Terkait kewenangan jaksa yang bertambah, Jaksa Agung telah angkat bicara. Salah satunya terkait penyadapan, menurut Burhanuddin, boleh dilakukan secara serampangan.
"Hati-hati dan jangan disalahgunakan dalam menggunakan kewenangan ini karena terkait dengan hak privasi. Di samping itu, kita akan menambah satu pusat lagi yaitu pusat pemantauan (monitoring center) yang akan menunjang pelaksanaan tugas penyadapan," ucap dia.
Adapun wewenang penyadapan diatur dalam Pasal 30 C huruf i yang berbunyi:
i. melakukan penyadapan berdasarkan Undang-Undang khusus yang mengatur mengenai penyadapan dan menyelenggarakan pusat pemantauan di bidang tindak pidana.
ADVERTISEMENT
Adapun definisi penyadapan dalam Penjelasan Pasal 30C Huruf i berbunyi:
Yang dimaksud dengan ”penyadapan” adalah kegiatan mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetik atau radio frekuensi, termasuk memeriksa paket, pos, surat-menyurat, dan dokumen lain.