Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Kisah Aman Abdurrahman dan ‘Kantornya’ di Nusakambangan
21 Mei 2018 12:29 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
ADVERTISEMENT
Satu hari di bulan November 2015, Aman Abdurrahman kedatangan tamu di tempatnya ditahan, Lapas Kembangkuning, Nusakambangan . Saiful Munthohir alias Abu Gar datang berkunjung bersama rekannya.
ADVERTISEMENT
Itu bukan kunjungan biasa, tapi pertemuan anak buah dan pemimpinnya. Aman dikenal luas sebagai pendiri dan pemimpin spiritual Jamaah Ansharut Daulah , sedangkan Abu Gar ialah Ketua Laskar Askari (semacam laskar tempur) dan pemimpin atau Amir JAD Ambon.
Lawatan itu memang sudah direncanakan. Aman sendiri yang memanggil Abu Gar usai sang ‘komandan tempur’ mengikuti dauroh (pembinaan) JAD se-Indonesia di Vila Batu, Malang, Jawa Timur, yang digelar pada bulan yang sama.
Dauroh tiga hari tersebut dihadiri perwakilan JAD dari 30 wilayah, dan disamarkan dengan tajuk acara ‘pengolahan obat herbal.’ Hebatnya, pada dauroh itu, Aman melakukan telekonferensi via ponsel. Dari Nusakambangan, ia memberikan ceramah lewat audio call kepada 30 orang pengikutnya yang berkumpul di Malang.
ADVERTISEMENT
Dalam ceramahnya, Aman meminta seluruh amir wilayah JAD di Indonesia mulai aktif mendukung Daulah Islamiyah dengan mempersiapkan amaliah dan jihad untuk “memerangi kaum kafir yang tidak tunduk pada hukum Islam seperti di Indonesia.”
Terkait itu pula, Aman memanggil Abu Gar. Ia hendak menyampaikan perintah penting.
Di Lapas Kembangkuning itu, Aman melemparkan isyarat tangan kepada Abu Gar agar mendekat. Dengan berbisik, Aman lalu mengatakan, “Ada perintah dari umaroh (pimpinan khilafah) di Suriah untuk melaksanakan amaliah jihad seperti yang terjadi di Paris. Teknis pelaksanaan nanti akan disampaikan Rois.”
Rois yang dimaksud Aman ialah Iwan Darmawan Muntho, Ketua Negara Islam Indonesia (NII) Banten yang juga terpidana mati kasus Bom Kedubes Australia 2004.
ADVERTISEMENT
Seperti Aman, Rois mendekam di Nusakambangan. Ia punya rekam jejak panjang di dunia ekstremis, berjejaring kuat dengan militan Filipina Selatan, dan dekat dengan mendiang duo teroris Dr. Azahari dan Noordin M Top.
Tak diragukan lagi, Rois adalah perencana teknis yang efektif. Rois selanjutnya menyiapkan dana Rp 200 juta, sedangkan Abu Gar mengatur operasi dan merekrut pelaksana lapangan. Gayung bersambut, Muhammad Ali alias Rizal yang ikut dauroh JAD di Malang, menawarkan diri menjadi pelaksana amaliah.
Rizal kemudian menerima dua pistol dari kelompok Banten. Saat Rizal menyatakan kesiapannya, Rois menyahut, “Ya sudah, bismillah saja.”
Rencana rinci pun disusun. Empat orang telah siap menjadi pelaksana. Selain Rizal, bergabung pula Dian Juni Kurniadi (mantan mekanik di Sampit), Azzam alias Ahmad Muhazin (pegawai perusahaan ban), dan Sunakim alias Afif (residivis yang terlibat pelatihan perang dan kepemilikan senjata di Aceh pada 2007).
ADVERTISEMENT
Rizal dan Afif sama-sama perampok Bank CIMB Niaga Medan tahun 2010. Kala itu, belasan orang yang mengendarai motor menyerbu masuk ke bank dengan menodongkan pistol dan menenteng senjata laras panjang. Mereka menembak polisi dan satpam, lalu menggasak uang Rp 400 juta yang kemudian digunakan untuk mendanai aksi terorisme .
Lima tahun setelahnya, November 2015, Rizal yang punya misi baru dari Aman dan Rois, melaporkan aksi amaliah telah siap. Empat eksekutor akan menggunakan senjata api dan bom. Mereka menarget Jalan Sabang di Jakarta Pusat karena banyak orang asing melintas di sana.
Setelah meminta doa dari Aman dan Rois lewat Abu Gar, Rizal beraksi bersama tiga orang rekannya pada 14 Januari 2016. Sekitar pukul 10.20 WIB, bom-bom mulai meledak di Thamrin, tak jauh dari Jalan Sabang. Jakarta gempar. Korban berjatuhan.
Semua bencana di pusat Jakarta itu berawal dari bisikan Aman Abdurrahman dua bulan sebelumnya, “Ada perintah dari umaroh di Suriah...”
ADVERTISEMENT
Dan bisikan itu ia ucapkan di lapas tempatnya ditahan--yang mestinya dijaga ketat dengan pengamanan tingkat tinggi.
Pasca-Bom Thamrin , bom-bom lain meledak sporadis. Pada 13 November 2016 di Gereja HKBP Oikumene Samarinda , tanggal 24 Mei 2017 di Kampung Melayu Jakarta Timur, dan serangan di Markas Polda Sumatera Utara pada 25 Juni 2017. Semua teror itu, menurut polisi, bikinan JAD pimpinan Aman.
Oktober 2014, mundur setahun dari ledakan Bom Thamrin, dari lapas pula Aman meminta pendukungnya membentuk wadah baru bagi pendukung ISIS di Indonesia, seiring deklarasi kekhilafahan Islam oleh ISIS di Suriah empat bulan sebelumnya, akhir Juni 2014.
ADVERTISEMENT
Sesuai arahan Aman, sebulan kemudian, Jamaah Ansharut Daulah terbentuk di Malang, Jawa Timur, lengkap dengan struktur organisasi dari pusat ke wilayah.
Jeruji besi jelas tak jadi penghalang bagi Aman Abdurrahman.
Semua sepak terjang Aman dari balik selnya itu dibeberkan dalam berkas tuntutan terhadapnya--yang berujung pada tuntutan hukuman mati dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (18/5).
“Adalah fakta bahwa sekitar bulan Oktober 2014, Aman Abdurrahman memanggil Marwan alias Abu Musa, Zainal Anshori, dan Abu Khatim untuk datang menjenguknya di LP Kembangkuning Nusakambangan, dan saat itu terdakwa menyampaikan tentang Daulah Islamiyah/ISIS pimpinan Abu Bakar Al Baghdadi, dan umat Islam wajib mendukungnya,” demikian petikan analisis fakta dalam berkas tuntutan terhadap Aman.
ADVERTISEMENT
Tiga bulan sebelumnya, Juli 2014, pendiri Jemaah Islamiyah dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) Abu Bakar Ba’asyir juga menyatakan dukungannya kepada ISIS dari Nusakambangan, dan meminta para pengikutnya untuk juga menyokong ISIS.
Ali Fauzi, eks anggota Jemaah Islamiyah pimpinan Abu Bakar Ba’asyir sekaligus adik Amrozi teroris Bom Bali, mengatakan penjara kerap bukan hambatan bagi teroris.
“Bagi mereka, jeruji besi justru alat untuk meningkatkan prestasi dan kualitas, bagian dari ujian dan proses membesarkan jiwa. Sebab ini soal ideologi,” ujar Ali kepada kumparan.
Penjara memang membatasi ruang gerak para teroris, namun nyatanya tak memutus komunikasi mereka dengan anggota di lapangan yang bebas berkeliaran.
“Meski pemimpinnya ditangkap, jaringan second line masih aktif. Komunikasi dibangun dari membesuk mereka yang ada di dalam penjara,” kata Ali.
ADVERTISEMENT
Persis seperti itu pula kasus Aman. Plus, larangan ponsel beredar di dalam bui kerap dilanggar entah bagaimana caranya.
Sewaktu Rois dipenjara di Lapas Cipinang pada 2010, misal, polisi menemukan 8 telepon seluler sekaligus dalam bui.
Saat telah dipindah ke Nusakambangan pun, Rois bisa menghubungi orang di luar penjara via ponsel. Ia dan jaringan teroris Bom Thamrin berkomunikasi intens lewat aplikasi pesan instan Telegram.
Hal itu diceritakan adik Rois, Adi Jihadi, saat bersaksi untuk Aman Abdurrahman di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (13/3). Menurut Adi yang dipidana karena menyelundupkan senjata, Rois sering berkirim pesan padanya via Telegram pada 2015.
Telegram memang kerap jadi pilihan. Jaringan ISIS di Indonesia, menurut peneliti terorisme UI Solahudin, memiliki sedikitnya 60 saluran komunikasi dan 30 forum diskusi privat di Telegram sepanjang 2017. Pada masing-masing saluran itu setiap harinya, 80-150 pesan disebar.
Aman Abdurrahman dan banyak teroris lain nyatanya diam-diam mengubah penjara yang mengurung mereka menjadi ‘kantor’--tempat perintah dikeluarkan, rencana disusun, dan strategi dimatangkan.
ADVERTISEMENT
“Karena posisi Aman di dalam, ia tidak mungkin bergerak leluasa. Maka dia butuh tangan kanan yang bisa menggerakkan massa agar organisasi (JAD) ini bisa berjalan. Tangan kanan itu ya orang-orang yang ada dalam struktur jaringan. Mereka punya amir di setiap wilayah,” kata Kharis, eks ekstremis yang kini menjadi peneliti di Yayasan Prasasti Perdamaian bentukan pakar terorisme Noor Huda Ismail.
Dengan sistem semacam itu, ujar Kharis, jaringan akan tetap bertahan. “Beberapa orang tertangkap, tapi pasti ada amir alternatif.”
“Namanya juga jaringan. Ada kelompok kesatu, kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. Banyak, tersebar di mana-mana,” imbuh Ali. Ia kini membantu program deradikalisasi BNPT.
Bukan rahasia lagi, penjara justru sering menjadi sarang radikalisasi. Laporan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) Desember 2016, Indonesian Pro-ISIS Prisoners and Deradicalisation Efforts , menyebutkan pada periode 2010-2016, sedikitnya 18 mantan kriminalis terlibat dalam kasus terorisme di Indonesia, dan mayoritas di antaranya terpapar paham radikal selama berada di tahanan.
ADVERTISEMENT
Oleh sebab itu, menurut eks anggota Jemaah Islamiyah Sofyan Tsauri, narapidana teroris harus dipisah dengan narapidana lain. “Kalau tidak, tahanan pidana didoktrin radikal. Akhirnya yang tidak radikal jadi radikal, yang sudah ekstrem makin ekstrem.”
Selain itu, alat komunikasi harus ditiadakan. “Pada kasus Aman Abdurrahman, aksesnya terhadap telepon seluler diputus setelah polisi mengetahui keterlibatannya pada Bom Thamrin Januari 2016,” demikian kutipan laporan IPAC.
Pemimpin jaringan juga harus dipisahkan dari anak buahnya atau narapidana teroris lain selama ditahan. Itulah yang kemudian terjadi pada Aman Abdurrahman yang kini ditahan di Rutan Mako Brimob . Meski saat pecah kerusuhan 36 jam di rutan itu, Selasa (8/5), para narapidana teroris minta dipertemukan dengannya, dan polisi memutarkan rekaman suara Aman untuk mereka.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya di Lapas Kembangkuning Nusakambangan, Aman ditahan bersama para narapidana teroris lain, termasuk Rois yang pentolan kelompok Banten. Ini membuat kerja sama antarjaringan makin mudah. Keduanya terlibat Bom Thamrin.
Guna menangani para narapidana teroris, pemerintah saat ini berencana menambah lapas dengan tingkat pengamanan tinggi. Sebab tentu saja, satu lapas high risk untuk mereka di Nusakambangan tak bakal cukup.
Dan bila tak hati-hati, lapas bisa berubah fungsi jadi markas teroris.