Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Kisah dan Rindu Jurnalis Pemenang Nobel Maria Ressa Atas Indonesia
14 Oktober 2021 13:46 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Ressa pernah bertugas di Jakarta pada 1990-an. Dirinya turut hadir menyaksikan gejolak di Indonesia, salah satunya ketika RI menghadapi krisis moneter pada 1997-1998.
“Saya tak akan pernah melupakan bagaimana Rupiah merosot dari sekitar 4 ribu ke 17 ribu terhadap Dola harga-harga makanan berubah drastis,” ungkap Ressa dalam diskusi IDN Media A Conversation with 2021 Nobel Peace Prize Laureate Maria Ressa, Founder and CEO Rappler, Kamis (14/10).
Ressa turut mengenang apa-apa saja yang dilakukannya di Indonesia. Saat itu, ia merupakan jurnalis CNN International. Jakarta, di era 1990-an, menjadi rumah Ressa selama satu dekade lamanya.
“Sebelumnya, saya ingat pernah membeli sebuah komputer dari daerah Glodok karena harganya sangat murah. Lalu saya juga ingat Blok M, saya sangat berterima kasih [kepada Indonesia], karena saya tidak akan bisa menjadi jurnalis seperti sekarang ini tanpanya,” lanjut Ressa dalam bahasa Inggris.
ADVERTISEMENT
Ressa mengungkapkan, dirinya belajar banyak sekali dari Indonesia. Baginya, mulai dari sifat-sifat, kebudayaan, hingga transisi demokrasi di RI. Ressa mengaku pengalaman kerja di Indonesia jadi sumber inspirasi sekaligus pelajaran yang berharga.
“Saya tumbuh besar sebagai seorang jurnalis, seorang wartawan, di Indonesia. Saya sangat mencintai Indonesia. Di sana saya belajar bagaimana menaklukkan diri sendiri, bagaimana memahami situasi yang orang lain rasakan, saya mempelajari berbagai konflik dengan cara yang belum pernah saya tangani sebelumnya,” papar dia.
“Saya mencintai bahasanya, saya menghargai pencampuran budaya yang ada di Indonesia,” sambung dia.
Sebagai seseorang yang menerima pendidikan di Amerika Serikat sejak usia 10 tahun, Ressa sudah terbiasa dengan bagaimana perilaku khas AS dalam menyampaikan opini.
ADVERTISEMENT
Ketika di Indonesia, Ressa harus berjibaku dengan satu sifat yang sering kali ia temukan dalam pribadi orang Indonesia.
“Yang membuat saya frustrasi, tetapi juga saya sadari adalah ‘kekuatan terbesar kita adalah kelemahan terbesar’. Dan salah satu hal yang sangat membuat saya frustrasi, terkadang, adalah tidak mengungkapkan opininya secara gamblang. Sedangkan orang Amerika sangatlah agresif [soal opini],” lanjutnya.
Meski begitu, Ressa mengaku hal tersebut justru membuatnya belajar banyak.
“Anda semua mengajari saya banyak hal. Saya tidak akan menjadi jurnalis seperti sekarang ini, jika bukan karena Indonesia. Banyak sekali jurnalis di Indonesia yang akan saya ajak berbincang dan saya bisa belajar banyak darinya,” ujar dia.
Ia pun turut menyinggung betapa besarnya perubahan yang dihadapi Indonesia setelah lengsernya pemerintahan Orde Baru Suharto pada 1998 silam. Dan transisi besar tersebut, baginya, adalah sesuatu yang inspiratif.
“Perubahan yang dialami Indonesia adalah pelajaran lainnya. Anda ingat, selama 32 tahun Anda dipimpin Suharto, dan setelahnya, Anda selalu punya presiden baru.
ADVERTISEMENT
“Dan dampak dari itu, perubahan sebesar itu, membuat saya memikirkan seberapa besar perubahan yang dapat diserap oleh rakyat dan institusi,” pungkasnya.
Maria Ressa merupakan pendiri dan CEO dari media kritis Filipina, Rappler. Media Rappler merupakan pengkritik rezim Presiden Rodrigo Duterte.
Ressa adalah salah satu dari dua jurnalis yang dianugerahkan Nobel Perdamaian 2021. Terpilihnya Ressa dan jurnalis Rusia, Dmitry Muratov, didasari oleh jasa mereka dalam menjaga kebebasan berpendapat di negara masing-masing.
Kemenangan Ressa dan Muratov ini menjadi kebanggaan bagi dunia jurnalistik. Sebab, keduanya merupakan jurnalis pertama yang memenangkan Nobel sejak 1935 lalu. Ketika itu Nobel diberikan pada Carl von Ossietzky dari Jerman.