Kisah Kelompok Disabilitas di NTT yang Aktif Berjuang Melawan Keterbatasan

1 Juli 2024 15:26 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pertemuan rutin warga Desa Oben sekaligus menerima kunjungan pemerintah Australia. Foto: Priscilla Brenda/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Pertemuan rutin warga Desa Oben sekaligus menerima kunjungan pemerintah Australia. Foto: Priscilla Brenda/kumparan
ADVERTISEMENT
Kenaz Taebonat datang dengan penuh senyum merekah ke pertemuan rutin Desa Oben, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Dengan bantuan kursi roda Ia datang ke balai desa menggunakan kemeja bermotif songket.
ADVERTISEMENT
Gapura putih bertulis “Optimis, Bersih, Nyaman, dan Elok” menyambutnya setelah perjalanan 10 menit dari rumah. Lebih dari 50 warga telah berkumpul di balai desa. Sama dengan Kenaz, para warga desa lainnya turut mengenakan pakaian adat khas NTT.
Sore di Kamis (27/06), Desa Oben sedang mengadakan pertemuan rutin sekaligus menerima kunjungan media dalam acara yang diadakan oleh INKLUSI dan pemerintah Australia. Pertemuan ini memiliki beberapa rangkaian kegiatan, mulai dari acara pendataan, memasak bersama, hingga perayaan ulang tahun.
Kenaz atau biasa disapa Kak Kenaz membuka salah satu rangkaian acara yaitu pendataan rutin Desa Oben. Dengan lantang Ia membacakan data terbaru mengenai jumlah warga yang termasuk dalam kelompok disabilitas.
Pertemuan rutin warga Desa Oben dalam rangka pemaparan data administrasi terbaru warga. Foto: Priscilla Brenda/kumparan
Walaupun memiliki disabilitas ganda, Kenaz tak berhenti untuk aktif mengembangkan diri. Kak Kenaz menjadi salah satu warga yang giat menggaungkan hak-hak kelompok disabilitas. Ia sekaligus ditunjuk menjadi salah satu fasilitator Kelompok Disabilitas Desa (KDD).
ADVERTISEMENT
Dalam acara tersebut Ia turut menyampaikan harapannya supaya kelompok disabilitas selalu memiliki pendampingan. Sesederhana selalu masuk dalam pendataan administrasi pemerintah. Oleh karena itu, Kenaz sangat giat dalam proses pendataan warga desa.
“Bagi saya kelompok disabilitas perlu untuk didata. Karena terkadang disabilitas itu banyak sekali yang tidak didata. Sehingga data-data seperti KTP, kartu keluarga, mereka tidak punya. Sehingga ketika mereka mau mendapatkan bantuan atau mau mendapatkan pemberdayaan dari pemerintah itu sangat-sangat sulit,” jelas Kenaz.
Kenaz turut menjelaskan bahwa pendataan mampu memetakan keadaan dan kebutuhan yang diperlukan kelompok disabilitas. Sehingga dalam setiap pertemuan rutin Kenaz turut menanyakan hal yang dibutuhkan dan mengkoordinasikan kepada pemerintah desa untuk memberikan songkongan.
Kenaz Taebonat, salah satu fasilitator Kelompok Disabilitas Desa sedang berbincang dengan warga lainnya. Foto: Priscilla Brenda/kumparan
“Saya ingin memberi motivasi buat teman-teman saya tidak boleh untuk mereka menyerah dengan keadaan mereka sendiri,” tambah Kenaz.
ADVERTISEMENT

Cerita Yunias dan Mama Ovince Nomseo

Yunias Adonis, salah satu anggota kelompok disabilitas desa yang aktif mengembangkan diri dengan membuka tempat potong rambut. Foto: Priscilla Brenda/kumparan
Tak hanya Kenaz, anggota kelompok disabilitas Desa Oben juga turut aktif mengembangkan diri. Di antaranya adalah Yunias Adonis dan Ovince Nomseo.
Yunias Adonis adalah tukang pangkas rambut di Desa Oben. Dengan modal awal Rp 3 juta, ia berhasil mendirikan tempat pangkas rambut yang tiap harinya bisa melayani belasan kepala.
Yunias sendiri memang mengalami disabilitas fisik pada kakinya, tetapi hal itu tidak menghalanginya untuk berkarya. Penikmat jasanya juga terbilang tinggi. Sampai-sampai Ia harus membuka tempat pangkas rambutnya mulai dari jam 6 pagi hingga 11 malam.
"Saya buka tergantung orang yang datang, bisa sampai jam 11 malam. Paling ramai itu di Jumat, Sabtu, Minggu," jelas satu-satunya tukang pangkas rambut di Desa Oben.
Mama Ovance dan mama-mama lainya dari Desa Oben sedang memproduksi serundeng tongkol dalam pertemua rutin desa. Foto: Priscilla Brenda/kumparan
Selain Yunias, ada Mama Ovince yang aktif mengembangkan diri dengan memasak. Mama adalah sebutan lazim di NTT bagi perempuan senior.
ADVERTISEMENT
Mama Ovince menjadi perwakilan kelompok disabilitas perempuan di desa Oben yang dikirim ke pemerintahan provinsi untuk menerima pelatihan memasak.
Setelah itu, Mama Ovince memimpin para ibu di desa Oben untuk memproduksi serundeng ikan tongkol. Hasilnya akan dipasarkan di kantor-kantor pemerintahan desa, kabupaten hingga provinsi.

Pentingnya Pendampingan Kelompok Disabilitas

Kunjungan pemerintah Australia ke Desa Oben, Kabupaten Kupang, NTT. Foto: Priscilla Brenda/kumparan
Desa Oben menjadi salah satu desa yang mendapat pendampingan dari Gerakan Advokasi Difabel Indonesia (SIGAB Indonesia), dan Gerakan Advokasi Transformasi Disabilitas untuk INKLUSI (Garamin) untuk pemberdayaan kelompok disabilitas.
Upaya pendampingan kelompok disabilitas di desa Oben awalnya memang tidak mudah. LSM Garamin harus melakukan pendekatan berkali-kali, hingga akhirnya diterima oleh warga desa.
"Kita menghubungi tidak ada respons sama sekali, dan waktu itu hampir menyerah karena tidak ada respons. Akhirnya kami, saya bersama tim kita datang ke desa untuk melakukan pendekatan kita," jelas Elmi Sumarni Ismau selaku project officer Garamin.
ADVERTISEMENT
Setelah dilakukan pendampingan sejak 2022, desa Oben telah memiliki Kelompok Disabilitas Desa (KDD) yang mandiri. Pemerintah desa juga berupaya melibatakan kelompok disabilitas dalam berbagai acara kepetingan negara, mulai dari upacara hingga panitia pemilu.
Berti Malingara selaku wakil direktur Garamin, kelompok disabilitas di kabupaten Kupang turut ambil adil pada Pemilu 2024.
"Kami difasilitasi oleh SIGAP Indonesia, bekerja sama dengan Bawaslu RI. Teman-teman difabel yang kuat, yang cukup kuat bergerak, itu diajak untuk menjadi pemandu," tutur Berti.
SIGAP adalah salah satu LSM yang menjalin kemitraan dengan pemerintah Australia melalui INKLUSI. INKLUSI merupakan program Pemerintah Australia yang berdurasi 8 tahun (2021-2029) yang didanai AUD 120 juta oleh Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT)
ADVERTISEMENT
.