Ilustrasi Meja Hakim

Kisah Para Hakim yang Tolak Suap: Ditawari Rp 7 Miliar sampai Lahan Sawit 1,5 Ha

4 November 2024 18:01 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang hakim di satu kabupaten di Sumatera Utara, Imam (nama samaran), tak berpikir macam-macam kala kawan lamanya yang seorang akademisi tiba-tiba menghubunginya dan mengatakan hendak bertamu. Sang kawan berkata ingin bersilaturahmi. Imam mempersilakan.
Pada hari yang disepakati, sang kawan, sebut saja Mikel, datang ke rumah Imam. Ia ternyata tak sendiri. Mikel membawa orang yang ia sebut temannya—yang ndilalah adalah pihak berperkara dalam kasus sengketa warisan yang tengah ditangani Imam.
Kasus itu memang punya nilai objek cukup besar, yakni Rp 7 miliar. Menurut Imam, kasus tersebut cukup rumit dan menarik perhatian banyak pihak di daerahnya. Tak heran bila ada pihak berperkara yang berusaha bertemu Imam untuk memengaruhi keputusannya. Namun, Imam tak menyangka teman lamanya, Mikel, berperan sebagai penghubung.
Ilustrasi: CrizzyStudio/Shutterstock
Setelah berbincang sejenak di ruang tamu rumah Imam, si pihak berperkara tanpa basa-basi menyodorkan kantong plastik berisi uang Rp 500 juta. Dengan wajah penuh harap, orang itu mengatakan bahwa uang tersebut adalah tanda “terima kasih” agar hakim berpihak kepadanya.
Imam yang disodori segepok duit tak ayal makin terkejut. Ia tak mengira momen silaturahmi hanya kedok untuk ajang penyuapan. Imam kemudian memanggil istrinya ke ruang tamu. Sang istri yang melihat kantong plastik berisi uang di meja, bertanya tenang, “Ini uang apa, Pak?”
Imam menjelaskan secara singkat apa yang terjadi. Istrinya mengangguk, dan berkata sopan namun tegas kepada tamu-tamu Imam bahwa suaminya tidak pernah dan tidak akan menerima uang untuk memenangkan suatu perkara.
Mendengar penjelasan istri Imam, Mikel dan rekannya, si pihak berperkara, jadi paham prinsip dan komitmen yang dipegang teguh Imam sebagai hakim. Mereka pun pamit pulang dan tak lagi mengganggu Imam. Sementara Imam bersyukur karena istrinya selalu membantunya menolak suap dengan cara bijak.
Ilustrasi suap. Foto: Motortion Films/Shutterstock
Upaya suap terhadap hakim terjadi di mana-mana. Ani, seorang hakim di Sulawesi Selatan, juga punya cerita sendiri. Akhir 2022, Ani menjadi salah satu anggota majelis dalam perkara penetapan ahli waris. Perkara bernilai fantastis ini diajukan untuk keperluan balik nama aset milik pewaris.
Di tengah berjalannya perkara, ketua majelis hakim kasus itu, Rahman, memberi tahu Ani bahwa ada seorang pejabat datang ke ruangan ketua. Awalnya, Rahman berpikir pejabat itu hendak menyampaikan urusan kerja sama antarinstansi, sebab biasanya orang itu terlihat bila ada undangan dari pimpinan daerah untuk lembaganya.
Namun, kali itu rupanya berbeda. Pejabat tersebut bukan datang untuk urusan undangan instansi, melainkan untuk menawari uang Rp 7 miliar terkait perkara penetapan ahli waris yang ditangani Rahman dan Ani.
Mendengar cerita Rahman, Ani sontak kaget. Maklum, ia tergolong hakim baru di satuan kerja Rahman. Kasus-kasus di satker Ani yang sebelumnya tidak seramai dan seintens yang sekarang. Kepada Rahman, Ani langsung mengutarakan pendapatnya: tolak uang sogokan Rp 7 miliar itu.
Nyatanya Rahman memang telah menolak sogokan besar tersebut. Ia sependapat dengan Ani untuk bersetia kepada integritas hakim. Kepada pihak yang mencoba menyogok, Rahman berupaya memberikan pengertian untuk menempuh jalan sesuai prosedur.
Ilustrasi: Shutterstock
Jika bukan karena hati nurani yang menjunjung kejujuran, Ani tentu sudah terjerumus layaknya hakim di Pengadilan Negeri Surabaya yang disuap dalam perkara Ronald Tannur, anak mantan anggota DPR yang didakwa membunuh kekasihnya, Dini Sera Afrianti.
“Jika menjalani profesi hakim dengan lurus, bersih, tidak mungkin mendapat uang miliaran meski menabung berpuluh-puluh tahun,” kata Ani, Minggu (3/11). Ia tak menyesal bersama pimpinannya menolak duit Rp 7 miliar yang sebetulnya bisa saja mereka kantongi saat itu.
Ani menjelaskan, dia menolak duit suap bukan karena tak butuh duit. Sebaliknya, Ani hidup pas-pasan. Ia sering tak punya uang untuk pulang kampung ke Kalimantan, sebab gaji bulanan yang ia terima dipotong kredit bank untuk beberapa kebutuhannya.
Namun, kesulitan hidup tak membutakan hati Ani. Menurutnya, keadilan tidak untuk dibeli. Ia menyebut “pertolongan Tuhan” membuatnya bertahan selama ini.
Ilustrasi palu sidang diketuk tanda putusan hakim dijatuhkan. Foto: Shutterstock
Pada tahun yang sama, 2022, Hakim Amin (samaran) di Riau menghadapi upaya gratifikasi. Ketika itu, Amin dan rekan-rekannya juga menangani perkara penetapan ahli waris. Perkara ini hanya melibatkan satu pihak, yakni pemohon yang merupakan ahli waris. Tak ada pihak lawan sehingga pemeriksaan berjalan lebih singkat.
Permohonan penetapan ahli waris tersebut dikabulkan oleh Amin dan rekan-rekannya di majelis hakim karena sudah sesuai dengan bukti-bukti yang diajukan. Namun, saat perkara rampung dan pengurusan harta warisan selesai, seseorang dari tim pemohon mendatangi Amin ke rumah kontrakannya.
Ia datang sendirian dan berkata ingin berterima kasih atas bantuan Majelis Hakim. Sebagai wujud rasa terima kasih dan sukacitanya, ia hendak memberikan lahan sawit seluas 1,5 hektare. Amin terkejut dan menolak pemberian itu dengan halus.
Seperti Ani, Amin menolak gratifikasi bukan karena kebanyakan duit. Ketika itu ia justru berada dalam impitan ekonomi, sebab penghasilannya terkuras untuk biaya pengobatan anaknya yang berkebutuhan khusus. Namun, pahitnya hidup tak membuatnya mencederai sumpah jabatan. Amin memilih memegang teguh prinsip dan nilai moralnya sebagai hakim.
“Selama orang baik bersatu, harapan itu masih ada. Bersama-sama kita bisa membersihkan masalah [di lembaga peradilan] ini,” tutup Amin.
Ilustrasi: ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten