Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Kisah Para Penerima Beasiswa LPDP: antara Pengabdian dan Kesempatan (2)
20 Februari 2023 13:57 WIB
·
waktu baca 10 menitSejak 2010, Angela Arkhandi memupuk mimpi melanjutkan studi di luar negeri. Ia terinspirasi sang ayah yang berhasil merampungkan studi S-2 dengan beasiswa di Australia pada tahun itu.
Sepuluh tahun berlalu, mimpi Angela tak sirna. Usai menamatkan studi S-1 di Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada pada 2021, sambil lanjut menempuh Program Pendidikan Profesi Apoteker di kampus yang sama, ia mencoba mendaftar ke sejumlah program beasiswa.
Salah satu yang Angela incar ialah beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan dari pemerintah RI. Tahun 2022, LPDP membuka pendaftaran beasiswa pada 25 Februari–27 Maret. Tanpa ragu, Angela mendaftarkan diri.
Ia diminta membuat esai berisi rencana kontribusi bila berhasil meraih beasiswa, menyerahkan surat rekomendasi, dan menyertakan data diri termasuk riwayat organisasi, transkrip nilai kuliah, hingga prestasi publikasi ilmiah.
Dalam esainya untuk LPDP, Angela mengemukakan keinginannya untuk bekerja di Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Indonesia selepas lulus S-2. Angela ingin membenahi manajemen limbah medis di Indonesia.
Esai tersebut dilirik LPDP dan Angela lolos seleksi. Ia pun berangkat ke Inggris pada September 2022, melanjutkan sekolahnya di International Health Management, Imperial College Business School, London.
Tentu bukan hanya Angela yang bercita-cita sekolah di luar negeri. Ada banyak anak-anak muda Indonesia yang punya harapan serupa, termasuk Farhan Azis. Menurut Farhan, kualitas kampus-kampus di negara-negara maju memang top. Itu sebabnya ia juga mengincar beasiswa LPDP.
“Kan enggak semua orang bisa kuliah di luar negeri dengan biaya sendiri. Nah, akhirnya kami mencari beasiswa. Menurut saya, [mendapat beasiswa] LPDP ini hak seluruh masyarakat,” ujar Farhan yang kini telah kembali ke Indonesia selulusnya dari studi pascasarjana Public Policy di The University of Edinburgh, Skotlandia.
Ada pula cerita dari Leonardo Gavaza, awardee yang mendapat kesempatan kuliah melalui jalur LPDP di New York University, pada tahun 2016. Sebelum berangkat, Leonardo mengajukan suatu esai, sebagai persyaratan LPDP, bahwa tujuannya berangkat ke luar negeri adalah untuk Indonesia.
“Saya bilang saya pengen benerin performa dari perusahaan BUMN gitu,” ucap Leonardo.
LPDP memang mewajibkan mereka menulis rencana kontribusi mereka usai selesai studi di luar negeri. Mereka diikat dengan aturan 2N+1, artinya bekerja berturut-turut di Indonesia selama 2 kali masa studi ditambah 1 tahun.
Surat meterai juga telah mereka tandatangani. Dengan mimpi besar, mereka masing-masing berangkat ke negara tujuan.
Mimpi Mengabdi bagi Negeri
Angela, Farhan, dan Leonardo telah membubuhkan tulisan mereka terkait rencana kontribusi. Angela, misalnya, berkaca dari pengalamannya semasa kuliah di UGM, ia melihat Indonesia belum punya kapabilitas yang memadai dalam pengolahan limbah medis.
Maka Angela pun berniat terjun ke dunia itu, sesuai dengan kapabilitasnya.
“Masalah pengolahan limbah itu, ke depannya juga akan berkembang, dan saya juga belajar banyak tentang bagaimana mereka mengurus hal itu di sini. Jadi setelah saya pulang, harapannya bisa punya peran yang lebih baik untuk implementasi,” ucap Angela.
Persoalan limbah medis di Indonesia memang sempat mencuat pada puncak pandemi sekitar bulan Agustus 2021.
Farhan menyoroti persoalan ekonomi. Esainya menulis tentang rencana kontribusinya mengurangi angka pengangguran di Banten.
“Jadi, dengan cara bisnis development service. Jadi ibarat platform untuk kolaborasi para petani anak muda,” ucap Farhan.
Soal pengangguran, Farhan berupaya memecahkan masalahnya dengan meminjam paradigma pemerintah tentang pemerataan kesehatan.
“Kalau di kesehatan, target pemerintah mendekatkan layanan kesehatan ke masyarakat. Nah, itu juga bisa dipakai di pengangguran, mendekatkan sentra pelatihan ke pemudanya. Jadi fisik, bukan online,” kata Farhan.
Farhan menganggap pelatihan online pada kebijakan Kartu Prakerja untuk mengentaskan pengangguran saat ini bersifat umum. Bahkan, konten serupa bisa didapatkan masyarakat secara gratis di Youtube.
“Jadi sebenarnya gak perlu juga menghabiskan triliunan rupiah,” katanya.
Solusi Farhan, pemerintah perlu mendekatkan sentra pelatihan kerja, yang berbasis dengan keterampilan. Jadi, para pemuda ini bisa mendapatkan keterampilan tertentu terstandar sertifikasinya.
“Ini yang lebih ke sertifikasi, jadi ada lembaga sertifikasinya. dia bisa dapat kompetensinya. kalau di bangunan ada SKK, surat keterampilan kerja,” ucapnya.
Soal petani, ia menyoroti bagaimana pengelolaan bisnis dari hulu oleh para petani. Tujuannya, agar petani dan peternak bisa mengontrol harga mereka sehingga tidak begitu jatuh saat masuk pasar.
“Peternak petani segala macam untuk mengontrol harga pasar di daerah Banten. Agar mengontrol inflasi gitu, sehingga intinya inovasi daerah yang berisi inovasi lokal, itu pada intinya,” ucap Farhan.
Ini semua berangkat dari cita-cita Farhan yang fokus pada kebijakan publik.
“Kalau saya memang politik dan kebijakan publik. Saya memang bilangnya mau menjadi politisi, gabung ke partai, terus nyalon mungkin suatu saat bisa di kepala daerah atau berbagai macam. Di situ emang orientasinya kalau saya memang dari awal balik Indonesia dalam negeri ya. Karier dalam negeri,” kata Farhan.
Tawaran Gaji Fantastis
Cita-cita para awardee ini justru mendapat tantangan berat saat mereka melaksanakan studi. Tujuan mulia mereka, bersinggungan dengan godaan gaji di negara tempat mereka studi. Tak tanggung-tanggung. Farhan pernah mendapat tawaran gaji sekitar Rp 60 juta, saat ia studi di Edinburgh.
“Di Inggris itu, gaji pokoknya kurang lebih yang dasar entry level Rp 60 jutaan itu perbulan kalau secara rasional. Sepertinya menurut saya, orang-orang pada tertarik sih,” tutur Farhan.
Realita menghantam Farhan. Ia berpikir, jika pergi ke Jakarta usai studi, ia akan bersaing dengan awardee LPDP lainnya. Sementara jika kembali ke kampung halamannya di Pandeglang, gaji terlalu sedikit dibanding dengan ilmu yang telah ia dapat di Edinburgh.
“Kalau misal ke Serang, [saya] enggak mau jadi dosen di Serang. Gajinya, ya Allah. Ya saya juga mau cari. Sayang aja gitu sudah dapat privilege,” ungkap Farhan.
Godaan gaji tinggi di luar negeri hingga risiko sulit dapat kerja saat balik Indonesia itulah yang membuat sebagian awardee memilih mengulur-ulur waktu kepulangan usai lulus studi. Farhan mendengar sejumlah cerita awardee tak segera pulang usai lulus berdalih sedang mempersiapkan kepulangan. Padahal mereka justru tengah bersiap magang kerja.
Godaan lain, awardee LPDP di Eropa bakal mengantongi visa graduate setelah lulus S2/S3. Dengan hitungan gaji per bulan yang mencapai Rp 60 juta rupiah, mereka dengan mudah menebus visa kerja.
“Saat ini itu dengan mudah mendapatkan visa kerja hanya dengan membayar berapa ribu pounds itu kayak cuma Rp 20 sampai 40 juta… itu murah jatuhnya,” kata Farhan.
Farhan sendiri memutuskan untuk tetap pulang ke Indonesia. Meskipun, semua program dan esainya tak lagi ditanyakan oleh LPDP. Padahal, sebelum berangkat ke luar negeri, para awardee terus menerus mendapat pesan yang berulang-ulang dari pemerintah terkait kontribusi.
“Setiap sesi itu pasti ujung-ujungnya kalau sudah selesai, jangan lupa pulang kita nantikan kontribusi di Indonesia, secara halus memang cuman kan terngiang-ngiang aja sih,” katanya.
Sementara Angela yang masih merampungkan studinya, juga membeberkan bahwa LPDP sebetulnya melarang awardee untuk mengambil kerja sampingan saat bersekolah. Para awardee harus fokus pada studinya.
“Emang dari LPDP itu kita tidak diperbolehkan untuk bekerja jadi emang aku sekarang full gitu sih,” kata Angela.
Angela yang baru studi beberapa bulan di London ini juga merasakan kekhawatiran yang sama. Godaan untuk bekerja di luar negeri bisa menggoyahkan niat para awardee. Terlebih, dengan belum pastinya mereka mendapat kerja di Indonesia.
“Dan untuk prospek kedepannya itu mungkin juga mereka itu lebih baik gitu, mungkin keadaan lain adalah, mungkin misalnya mereka di sini sudah dapat kerjaan, tapi mereka juga mencari pekerjaan di Indonesia tapi ternyata belum dapat gitu. Jadi mungkin mereka memilih untuk, ya sudah gitu mengambil kerja yang sudah ada dulu,” kata Angela.
Meski begitu, Angela masih tetap ingin pulang. Karena ia ingin mewujudkan mimpi pengelolaan limbah medis dari Indonesia.
“Karena memang saya dari awal juga udah tahu ya, maksudnya dengan sadar, bahwa pada dasarnya dari saya juga pengin mulainya dari Indonesia dulu,” ucapnya.
Leonard juga menyampaikan hal yang serupa. Godaan menjadi ganjalan berat bagi para awardee. Hanya komitmen lah yang bisa memulangkan mereka dari goda pundi-pundi di negara rantau.
“Memang yang saya tulis, itu adalah salah satu komitmen dan janji ke LPDP,” ucap Leo.
Ke Mana Awardee Akan Berkiprah?
Direktur Beasiswa LPDP, Dwi Larso menuturkan, sampai hari ini sudah ada 35 ribu awardee LPDP. Di antara itu, 18 ribu sudah menjadi alumni. Ia merinci lagi, 40 persen penerimanya bergerak di bidang akademis, jadi dosen dan peneliti. Sebanyak 30 persen adalah PNS-TNI-Polri. Sisanya, 20 persen bekerja di bidang BUMN.riil.
“Yang sepertiga sisanya adalah pekerja di sektor riil swasta ini baik sebagai entrepreneur. Angka saya kalau kita melakukan survei itu berkisar antara 3 sampai 8% dari alumni LPDP yang bergerak di bidang entrepreneur atau buka start-up bisnis baru,” ucap Dwi Larso.
Jika dilihat, LPDP belum punya peta jalan agar lulusan mereka terkonsentrasi pada bidang-bidang tertentu. Dwi Larso pun mengakui hal itu. Tapi, mereka tengah berjalan ke arah tersebut.
“Nah LPDP sendiri ini sedang menyusun lebih terstruktur lebih bagus daripada sebelumnya adalah roadmap ya peta Jalan untuk LPDP Bagaimana bisa mendukung Indonesia katakanlah 2045 mengikuti dinamika dari apa Kementerian yang ada juga dan kita mendapatkan masukan dari berbagai kementerian dan juga masyarakat,” kata Dwi.
Ini juga yang dialami oleh Angela. Ia tak dapat permintaan apa pun dari LPDP, terkait jurusan yang harus ia ambil.
“Setahu saya memang lebih dibebaskan sih mau berkontribusi dalam bentuk apa kayak gitu karena memang kan LPDP kan macam-macam background-nya awalnya juga beda-beda terus kayak negaranya juga sangat bebas Universitas juga sangat beragam,” kata Angela.
Dampaknya, beberapa awardee yang baru saja pulang dari luar negeri bisa saja tak terserap. Dampak lainnya adalah kurangnya kontribusi bagi potensi yang ada di Indonesia. Pengamat pendidikan, Indra Charismiadji mencontohkan betapa besar potensi geothermal yang dipunya Indonesia. Namun, mereka belum punya pakar di bidang itu.
“Misalnya kita punya geothermal kita nggak punya satu pun ahlinya. Bahkan orangnya tuh nggak ada. kita negara maritim tapi ahli biologi maritim itu enggak ada,” ucap Indra.
Hal ini juga menyambung dengan yang dikeluhkan Farhan, bagaimana ia enggan menjadi dosen di Serang yang gajinya kurang memuaskan. Begitu pun nantinya dengan ahli Geothermal atau ahli Bio Maritim. Mereka tidak mungkin ditempatkan di kota-kota besar.
Contohnya, Indonesia yang tengah mengoptimalkan ketersediaan nikel pasti butuh expertise di bidang tersebut. Nantinya, mereka juga tak bisa hanya tinggal di kota besar.
“Jadi misalnya, kita punya orang-orang yang memang kita sekolah kan untuk membangun bidang nikel nggak mungkin soalnya tinggal di Jakarta. Jadi kita dalam menyeleksi itu juga sudah sudah ya mereka akan tahu nanti akan ditempatkan di Morowali,” kata Indra.
Maka peta jalan adalah hal mutlak bagi Indra agar program beasiswa semacam LPDP bisa optimal diserap.
Ketua Mata Garuda–organisasi ikatan penerima beasiswa LPDP–Leonardo Gavaza juga sepakat bahwa peta jalan perencanaan sumber daya manusia Indonesia dibutuhkan bagi para lulusan LPDP.
“Menurut saya pribadi bagus itu,” kata Leonardo yang kini bekerja di Indonesian Financial Group. IFG adalah holding company yang menggarap perusahaan asuransi, penjaminan, dan investasi BUMN. Ia menjabat sebagai kepala divisi bagian keuangan.
Selama ini, Mata Garuda membantu mengarahkan lulusan LPDP sesuai dengan peminatannya. Mulai dari bantuan mentorship bagi mereka yang ingin bekerja hingga dukungan jaringan dan inkubator bisnis bagi yang hendak merintis usaha.
“Lewat Mata Garuda kami berusaha untuk membuat program-program yang dapat membantu awardee LPDP,” kata Leonardo.
Salah satu program untuk menyalurkan lulusan LPDP yang dibesut Mata Garuda adalah Magnet. Ini adalah program untuk mempertemukan alumni LPDP dengan kementerian terkait yang membutuhkan lulusan luar negeri.
“Kita datangi kementerian-kementerian gitu, untuk kerja sama melalui program Magnet yang menghubungkan orang-orang dengan potensi dan mempertemukan kebutuhan tenaga profesional,” tutup Leonardo.