Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Sartono memandang komputer di hadapannya dengan tegang. Mahasiswa itu duduk di sebuah warung internet di Klaten, Jawa Tengah. Sudah semalaman ia di situ, hampir 10 jam, sejak bakda isya hingga jelang subuh. Ia tak menggubris nasihat kawan-kawannya agar segera pulang. Sartono belum puas berjudi online . Baginya, pulang bisa nanti-nanti.
Ya, Sartono seorang pejudi . Meski sudah kehilangan Rp 8 juta malam itu, ia belum kapok. Ia masih penasaran main. Pikirnya, toh ia masih punya sisa duit Rp 2 juta di rekening. Selama duit belum habis, ia masih bisa bertaruh. Sampai rekeningnya kosong.
Namun, teman-teman Sartono tak diam saja melihatnya kerasukan judi subuh itu. Mereka mengambil dompet Sartono—yang berisi kartu debitnya—agar ia berhenti bermain. Sartono jadi tak bisa memasukkan nomor kartunya ke meja judi virtual untuk bertaruh. Ketika itu, tahun 2014, Sartono belum memakai metode deposit dana judi via m-banking atau transfer e-money.
Sartono pun menghela napas dan untuk sementara mengalah. Ia pulang bersama kawan-kawannya. Tapi sesampainya di rumah, Sartono membuka laptop dan lanjut berjudi. Kalau punya uang tak terbatas, bisa jadi ia akan berjudi sampai mati.
“Aku merasa bahagia saat berjudi,” kata Sartono kepada kumparan, Jumat (25/8).
Kebahagiaan itu membuncah karena ia akhirnya menang di meja judi online. Uang Rp 2 jutanya yang terakhir mengembang jadi Rp 35 juta. Sayangnya, duit Rp 35 juta itu habis hanya dalam dua hari. Seluruhnya hilang—lagi-lagi—di meja judi.
“Dari Rp 2 juta jadi Rp 35 juta, aku pakai main judi bola. Akhirnya habis semua dalam dua hari,” ujar Sartono, enteng.
Tahun 2012 adalah awal mula Sartono kecanduan judi. Gara-garanya, ia absen kuliah selama setengah semester untuk memulihkan diri dari cedera lutut. Celakanya, sehari-hari menganggur tanpa kegiatan kampus membuat setan judi mendatanginya. Tak butuh waktu lama bagi Sartono untuk keranjingan berjudi.
Sartono sebetulnya sudah mengenal judi online sejak SMA. Kala itu, ia mencoba bermain poker online di Facebook. Namanya Zynga Poker. Pada gim itu, pemain bisa mendapat chip seharga Rp 20 ribu yang nilainya Rp 1 miliar dalam permainan tersebut.
“Saya dulu pernah menang Rp 100 miliar. Jika diuangkan mencapai Rp 2 juta,” kata Sartono.
Namun, entah kenapa akunnya dibekukan dan dia tak bisa menarik duit kemenangannya. Bukannya jadi hilang kepercayaan terhadap perjudian, Sartono justru penasaran dengan ajakan temannya untuk mencoba permainan lain bernama Dewa Poker.
Namun, gim itu menggunakan deposit uang tunai. Meski Sartono sudah membuka rekening dan mendaftarkan rekeningnya itu untuk bermain Dewa Poker, ia akhirnya batal melakukan deposit.
“Enggak jadi, karena aku takut dana dari rekening itu tersedot,” ucapnya. Rupanya, ia relatif lebih waspada saat duduk di bangku SMA.
Kewaspadaan itu hilang saat Sartono dilanda bosan karena tidak bisa ke mana-mana pasca-operasi lutut. Ia kembali bermain poker, dan mencoba pula judi bola.
“Aku deposit Rp 100 ribu, lalu kalah, dan kalah lagi. Tapi karena teman-temanku juga main dan menang, aku masih penasaran. Aku tambah deposit jadi Rp 300 ribu, dan waktu itu dalam hati bilang: Kalau ini kalah, aku berhenti,” ucap Sartono.
Nyatanya ia menang kali itu. “Rp 300 ribu berubah jadi Rp 11 juta. Serius,” ujarnya, bungah.
Sartono begitu bahagia. Adrenalinnya membuncah. Ia bermain judi lagi dengan menambah deposit secara berkala—Rp 500 ribu hingga jutaan rupiah.
“Aku merasa, adrenalin inilah yang aku cari. [Hidup jadi] enggak hambar,” kata Sartono.
Kisah serupa datang dari Agung. Ia mengenal judi dari teman-temannya yang hobi menggandakan duit lewat judi. Selembar Rp 50 ribu menjadi Rp 200 ribu dalam waktu singkat. Agung pun tergoda.
“Aku akhirnya minta tutorial cara mainnya. Aku coba deposit Rp 50 ribu, dapat Rp 100–150 ribu. Rasanya senang banget. Aku tarik Rp 80 ribu dan main lagi,” tutur Agung.
Lambat laun, jumlah deposit dan frekuensinya bermain judi online meningkat, namun belum sampai mengganggu kehidupannya sehari-hari. Sampai akhirnya ia tamat kuliah dan pulang ke kampung halamannya di Purwokerto, Jawa Tengah.
Di kota kelahirannya, tak disangka ia makin lengket dengan judi online. Musababnya sama seperti saat kuliah: pengaruh kawan sepergaulan.
“Bermain sama temen itu ‘panas-panasan’. Maksudnya, ketika teman yang satu menang tapi yang lain kalah, itu yang enggak menang jadi panas, jealous. Nggak mau kalah kan sama teman karena mainnya bareng,” kata Agung.
Meski demikian, Agung menyebut kegemarannya berjudi kala itu masih terkontrol. Sayangnya, sejak awal 2023 saat ia mulai buka usaha dan punya duit sendiri, situasi jadi tak terkendali. Lagi-lagi karena ajakan sesat konco untuk bertaruh.
“Aku deposit Rp 150 ribu, menang Rp 3 juta. Aku merasa minus ketutup dan niat berhenti. Tapi karena teman pada main, aku ikut main lagi,” ucap Agung yang tak kuasa menolak godaan judi.
Ia merasa kehidupannya makin kacau saat pekerjaannya waktu itu, berjualan ponsel, sepi pelanggan. Apalagi pemodal usahanya berkata hendak berhenti berbisnis dengannya.
Menghadapi situasi tak menguntungkan ini, Agung bukannya menghemat pengeluaran, malah berpikiran untuk meraup untung dari berjudi guna menambah modal bisnisnya yang terancam.
“Pikirku, karena pernah menang Rp 3 juta, bisalah cari tambah-tambah duit [dari menang judi] buat nerusin jualan handphone atau modal usaha lainnya. Jadi aku main, deposit Rp 100–200 ribu, tapi keterusan dan rugi, sampai aku ambil pinjaman online (pinjol) Rp 6 juta,” beber Agung.
Sialnya, duit pinjol itu bahkan tak bersisa di mesin judi online. Sudah begini pun, Agung tak berniat berhenti berjudi. Hatinya malah makin panas karena tak menang-menang. Ia mengambil pinjaman online lagi Rp 6 juta, dan akhirnya menang—tapi hanya Rp 6 juta. Padahal pinjamannya sudah Rp 12 juta, dan itu pun masih ia tambah lagi.
“Menang Rp 6 juta buat mulangin utang [pinjol] Rp 6 juta. Tapi kan ada pinjaman berikutnya Rp 6 juta juga, dan aku pinjam lagi—juga Rp 6 juta. Jadi Rp 12 juta aku pasang semua buat berjudi. Hilang semua. Kalah sampai Rp 14 juta,” kata Agung.
Sejak kekalahan Rp 14 juta itu, Agung sempat berhenti berjudi selama setahun. Pada masa “bersih” itu, ia memulai kehidupan baru. Ia mendapat pekerjaan di Jakarta dan memperoleh gaji yang layak. Agung pun bisa mencicil tagihan pinjolnya yang dulu ludes di layar judi.
Tapi, lagi-lagi, godaan menghampiri. Ia goyah dan membatalkan pantangannya berjudi. Terjerat rasa penasaran, Agung mulai bermain judi slot .
“Dalam slot, ada Maxwin (menang maksimum) dengan kelipatan 5.000. Jadi duit kecil bisa menang sampai Rp 5 juta. Aku termotivasi, penasaran, karena ada praktik yang bikin aku percaya,” ucap Agung.
Sayangnya, harapan sekadar khayalan yang tak mewujud kenyataan. Tak sekali pun Agung menang besar seperti yang ia bayangkan. Pada titik ini, Agung bertobat. Ia akhirnya berhenti berjudi sama sekali.
Kini, Agung hidup sewajarnya dengan gaji yang ia dapat, dan mampu membayar angsuran pinjolnya secara teratur. Ia sudah sepenuhnya sadar, bahwa berjudi tidak melipatgandakan uangnya, hanya memutar-mutar uangnya, bahkan malah mengeruk dompetnya
“Intinya, kalau dikalkulasi total, ya hasilnya rugi. Kalau pernah menang, itu hanya kemenangan sementara. Hiburan semu,” tandas Agung.
Kawan Bergaul Pengaruhi Hobi Berjudi
Yahya Ghozy Baiza dan Endang Sri Indrawati dari Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro dalam penelitian berjudul “Hubungan antara Konformitas Teman Sebaya dengan Intensi Judi pada Komunikas Fans Club X Indonesia Regional Semarang” yang dipublikasikan April 2016 di Jurnal Empati terbitan kampusnya, menyebutkan bahwa terdapat korelasi positif antara konformitas/kecocokan teman sebaya dengan keinginan berjudi.
Pada riset tersebut, terlihat bahwa 30,4% niat berjudi datang dari lingkup pergaulan antarkawan, sedangkan sisanya (69,6%) berasal dari ragam faktor lain.
Penelitian sejenis baru-baru ini dipublikasikan oleh Fathia Kamila Agrippina dan Eni Nuraeni Nugrahawati dari Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung. Pada riset berjudul “Pengaruh Teman Sebaya terhadap Gambling Intention pada Mahasiswa Pemain Judi Slot Online di Kota Bandung ” yang dimuat dalam Bandung Conference Series: Psychology Science pada Januari 2023, terlihat bahwa terdapat pengaruh kuat teman sebaya (52,6%) terhadap niat berjudi dari para mahasiswa pemain judi slot online.
Riset tersebut melibatkan 160 mahasiswa yang bermain judi slot online. Dari 160 responden itu, 123 di antaranya menyebut bahwa perilaku kawan sebaya mempengaruhi mereka dalam bermain judi online. Maka, serupa dengan penelitian sebelumnya, tampak jelas bahwa lingkungan pergaulan berpengaruh terhadap para pejudi.
Kesimpulan dua riset tersebut dikonfirmasi Suharyono, Kepala Panti Jamrud Biru di Bekasi. Panti yang ia kelola cukup banyak menerima pasien yang mengalami gangguan jiwa akibat judi.
“Faktor utama berjudi datang dari pergaulan sesama teman. Karena dia melihat temannya terus main, lalu tanya ‘Gimana sih caranya?’ Sebagian juga karena ingin gampang dapat duit, akhirnya jadi lupa diri dan kecanduan akut, bahkan sampai 24 jam berjudi,” cerita Suharyono.
Psikolog Muhammad Iqbal dari Rumah Konseling menilai, judi online bikin banyak orang mencandu karena penyebaran masifnya di media sosial yang tak bisa dihindari di masa teknologi canggih ini.
Makin Dekat dengan Judi di Masa Kini
Bila dahulu judi hanya ada di lokasi-lokasi tertentu seperti di kasino atau meja-meja kecil pasar rakyat, kini judi ada di mana-mana. Tak harus datang ke tempat judi dan cukup umur untuk memasang taruhan, sebab siapa pun bisa ikut berjudi hanya dengan memegang ponsel.
Sartono merasakan, judi slot jadi jauh lebih mudah diakses sejak 2019. Sebelumnya, ia hanya bisa mengakses gim judi lewat Facebook atau situs resminya. Tapi kini, berkat kemajuan teknologi—yang tentu punya sisi kelam, meja judi virtual bisa digelar di kamar sendiri, tak perlu repot cari tempat judi atau komputer di warnet.
Cara berjudi pun lebih mudah. “Judi slot sekarang sudah terintegrasi [dengan berbagai sistem pembayaran digital]. Kita bisa deposit langsung, cepat,” kata Sartono.
Kemudahan akses berjudi ini tak pelak membuat ragam gim judi kian tersebar luas di tengah masyarakat. Meski pemerintah memblokir ratusan ribu judi online, situs-situs judi—yang banyak menyusup ke laman web pemerintah—nyatanya sulit diberantas. Blokir satu, muncul seribu.
Belum lagi gencarnya promosi judi yang menyasar nomor-nomor ponsel masyarakat, baik via SMS maupun WhatsApp. Bagi orang-orang yang mudah tergiur keuntungan instan, bukan tak mungkin mereka bakal terjerat.
Gejala Kecanduan Judi
Para pejudi kerap cemas bila tak berjudi. Sartono, misalnya, merasa panas dingin saat melihat dua pesepak bola dunia, Neymar dan Ronaldo Nazario, muncul dalam sebuah iklan judi.
“Dalam tayangan iklan, mereka deposit uang, lalu menang,” kata Sartono. Ia pun tergoda dalam sekejap. Apalagi kalau kawan-kawannya membicarakan judi slot. Ia jadi makin tak kuat iman.
“Awalnya aku menghindar saat mereka membicarakan slot. Tapi lalu aku menyendiri, dan aku deposit, main judi lagi,” ujarnya.
Menurut Iqbal, mencandu membuat seseorang tak bisa lepas dari hal yang ia candui meski tahu hal itu salah. Dengan kata lain: terobsesi.
“Ada obsesi yang besar terhadap judi. Ada juga judi yang berawal dari game, kemudian pemainnya kehilangan kontrol dan jadi lupa waktu,” kata Iqbal.
Para pecandu juga kehilangan nalar dalam kehidupan sosial. Seperti Sartono yang menolak ajakan kawannya untuk pulang meski sudah menghabiskan 10 jam berjudi di warnet, atau Agung yang bisa-bisanya menggunakan modal usahanya untuk berjudi.
“Pokoknya mereka fokus ke judi saja, enggak suka aktivitas lain, dan akhirnya berdampak ke kehidupan pribadi,” terang Iqbal.
Parahnya, para pejudi sulit berhenti karena kerap tergoda meski telah sepenuhnya paham tentang kerugian berjudi. Ini, salah satunya, karena “keseruan” berjudi. Bagi mereka, berjudi memompa adrenalin dalam tubuh.
Adrenalin adalah hormon yang dilepaskan tubuh saat seseorang berada dalam situasi menantang. Hormon ini membuat tubuh dalam kondisi fight or flight. Pada titik ini, tubuh bisa lebih lama menoleransi rasa sakit atau mempersiapkan diri untuk bertahan/berjuang lebih lama.
Pada kondisi ini, tubuh biasanya akan berkeringat, jantung berpacu lebih cepat, tekanan darah meningkat, dan pupil mata membesar. Efek yang ditimbulkan mirip dengan pola dopamin—senyawa kimia dalam otak yang kadarnya bisa meningkat saat seseorang mengalami sensasi menyenangkan.
“Sama seperti orang kecanduan narkoba. Kalau dopamin sudah memenuhi otak, jadi susah ngapa-ngapain,” kata Iqbal.
Mungkinkah Bebas dari Candu Judi?
Mengobati para pecandu judi sesungguhnya mungkin dilakukan. Menurut Iqbal, pejudi bisa dibuat sadar dengan cognitive behaviour therapy (CBT). Mereka diajak menggunakan logika—mengidentifikasi kesalahan pola pikir untuk mencoba mengubahnya.
Pecandu diajak mengenali dorongan yang muncul dalam diri mereka, apakah dorongan itu logis atau tidak. Selain itu, bisa juga dengan melakukan terapi kelompok dan mengajak mereka menyusun pola hidup sehari-hari yang padat kegiatan positif.
Kegiatan positif sehari penuh amatlah penting untuk mengubah fokus otak dari ranah judi ke kehidupan nyata. Terlebih, pejudi seperti Sartono dan Agung mulai gandrung berjudi saat mereka tak punya banyak kegiatan.
“Bebaskan dari internet beberapa hari, diajak naik gunung, ke hutan, kamping, untuk menyegarkan pikiran,” kata Iqbal.
Cara membebaskan pecandu dari internet juga dilakukan Panti Jamrud Biru yang memisahkan para pecandu judi dan game dari ponsel mereka.
Faktor yang tak kalah penting adalah dukungan keluarga sebagai lingkungan terdekat para pejudi. Istri Sartono misalnya telah berkali-kali menyarankan suaminya untuk berkonsultasi dengan psikolog. Sejauh ini, Sartono belum mau karena merasa telah cukup punya kontrol diri.
Sebagai jalan tengah, Sartono pun memilih untuk selalu berlaku dan bicara jujur kepada istrinya bila keinginannya berjudi muncul.
“Aku transparan ke istri: pendapatanku sekian, aku ambil uang ‘lelaki’ aku untuk bersenang-senang [main judi] tidak lebih dari 5%. Istriku setuju karena sepertinya kalau sembuh total itu susah,” kata Sartono.
Maka, jalan kesembuhan yang ditempuh Sartono bukanlah bebas dari judi sepenuhnya, melainkan kemampuan untuk mengendalikan hasrat berjudi. Bila uang jatah judinya—yang 5% dari pendapatan—telah habis dipakai judi, maka ia tak akan lanjut berjudi. Ia akan menunggu bulan berikutnya, saat jatah selanjutnya turun.
Sartono termasuk beruntung karena meski pernah rugi besar karena judi, ia berhasil bangkit dan mengembangkan usahanya di sektor transportasi.
“Aku sekarang tidak cari uang. Aku [berjudi] karena senang dengan permainannya. Jadi uang yang kupertaruhkan enggak menganggu keuangan rumah tangga. Ini lebih seperti bermain di rental PS saat aku masih anak-anak,” ucap Sartono.
Agung juga demikian. Meski ia telah hidup “normal”, bukan berarti ia sama sekali tak berjudi lagi. Sesekali ia menyisihkan uang untuk bersenang-senang berjudi online. Baginya, uang itu seperti jatah hiburan atau liburan.
“Istilahnya uang dingin. Jadi, kalau aku kehilangan uang tersebut, aku ikhlas,” tutupnya.
Perjudian, termasuk judi online, hingga kini sesungguhnya tergolong aktivitas ilegal di Indonesia. Hal ini diatur dalam Pasal 303 KUHP yang mengancam pengelola permainan judi dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak Rp 25 juta. Pemain judi pun tak lepas dari ancaman hukum, yakni pidana penjara paling lama 4 tahun atau denda paling banyak Rp 10 juta.
Namun, ancaman itu sama sekali tak membuat situs-situs judi online surut. Menurut Dirjen Aplikasi Informatika Kominfo Samuel Abrijani, semua praktik judi online di Indonesia berasal dari luar negeri. Terkait hal ini, Menkominfo Budi Arie Setiadi pekan ini akan bertemu Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk membahas penanganan kasus judi online dan pinjol ilegal.