Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Indonesia berkukuh hendak mengamankan orbit 123 tersebut demi kepentingan nasional. Maka, ketika slot orbit itu ditinggalkan satelit Garuda-1 dan terancam berpindah ke tangan negara lain jika tak diisi dalam tiga tahun, pemerintah RI buru-buru bertindak.
Proyek pengadaan satelit komunikasi pertahanan (Satkomhan ) pun diusulkan meski belum ada di pos anggaran Kementerian Pertahanan. Pemikiran yang ketika itu berkembang: jangan sampai gara-gara masalah teknis, Indonesia merugi.
Apalagi, gagasan mengenai satelit khusus untuk pertahanan negara sudah muncul sejak era SBY, ketika terungkap penyadapan Australia terhadap sejumlah pejabat tinggi Indonesia, termasuk sang presiden sendiri—Susilo Bambang Yudhoyono.
Indonesia jelas butuh satelit komunikasi pertahanan untuk menjamin kerahasiaan negara. Dan orbit 123 adalah lokasi yang pas untuk mengoperasikan satelit yang bakal digunakan oleh TNI, Polri, dan Badan Intelijen Negara itu.
Namun, alih-alih terealisasi, rencana mengamankan orbit 123 BT untuk pertahanan RI berakhir berantakan. Proyek Satkomhan berujung gugatan arbitrase, dan Indonesia harus membayar denda hingga Rp 800 miliar.
Belum selesai urusan soal arbitrase dan denda, Kejaksaan Agung menemukan indikasi korupsi pada proyek Satkomhan dan menggeledah beberapa lokasi.
Apa sesungguhnya yang terjadi? Simak video berikut.
Penyelidikan dugaan korupsi pada proyek Satkomhan disebut-sebut bagian dari siasat Indonesia untuk menghindari kewajiban membayar gugatan arbitrase. Apakah ini benar?