Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
Mayjen TNI (Purn) Kivlan Zen mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi . Ia menggugat UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api.
ADVERTISEMENT
Dalam gugatannya, Kivlan Zen meminta MK menghapus Pasal 1 ayat (1) dalam UU Darurat.
"Menyatakan ayat 1 pasal 1 Undang-Undang Darurat Nomor 12 tahun 1951 tentang senjata api (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 1951) dimaksud tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," bunyi gugatan Kivlan dikutip dari situs MK, Selasa 5/5).
Pasal 1 ayat (1) itu berbunyi:
"Barang siapa, yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak, dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya dua puluh tahun"
ADVERTISEMENT
Kivlan Zen merupakan terdakwa kasus kepemilikan 4 senjata api dan 117 peluru. Saat ini, kasus Kivlan tengah disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dalam argumennya, Kivlan mengaku hak konstitusionalnya dirugikan dengan pasal tersebut. Sebab ia didakwa dengan pasal tersebut.
Menurut Kivlan, penyidik dan penuntut umum memotong kalimat dalam pasal tersebut untuk menjeratnya.
Dakwaan Kesatu
Sebagai orang yang melakukan atau turut melakukan perbuatan tindak pidana yaitu tanpa hak, menerima, menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan sesuatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak, yakni berupa 4 (empat) Pucuk Senjata Api dan 117 (seratus tujuh belas peluru tajam)
Dakwaan Kedua
membantu melakukan tindak pidana yaitu tanpa hak, menerima, menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan sesuatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak, berupa 4 (empat) Pucuk Senjata Api dan 117 ( seratus tujuh belas) peluru
ADVERTISEMENT
Menurut Kivlan, tidak ada penjelasan atau yurisprudensi mengenai kewenangan penyidik dan penuntut umum untuk memotong frasa itu.
"Berakibat tidak ada kepastian hukum yang memberikan perlindungan konstitusi terhadap pemohon," ujar Kivlan.
"Penjelasan frasa dan pasal 1 ayat 1 UU Darurat nomor 12 tahun 1951 tidak pernah ditemukan sebagai penjelasan, yurisprudensi atau turunannya, dengan demikian berdasarkan kewenangan yang ada pada penyidik dan penuntut umum maka dapat mengambil potongan-potongan frasa sepanjang senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak dapat dikaitkan dengan Tersangka/Terdakwa," papar Kivlan.
Menurut Kivlan, Pasal itu bertentangan dengan Pasal 1 ayat 3, Pasal 28 D, Pasal 27 ayat 1, dan Pasal 28I ayat 2 UUD 1945.
Kivlan masih menjalani sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pada 19 Februari 2020 lalu, ia diagendakan menjalani putusan sela. Namun karena ia sakit, sidang ditunda.
ADVERTISEMENT
Gugatannya ke MK diwakili oleh kuasa hukumnya, Tonin Tachta Singarimbun. Perkaranya sudah didaftarkan pada 4 Mei 2020 dengan nomor 27/PUU-XVIII/2020. Sidang perdana dengan agenda pemeriksaan pendahuluan akan digelar pada 13 Mei 2020 pukul 13.00 WIB.
***
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona )
***
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona