Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Koalisi Masyarakat Sipil Desak Jokowi Setop Susun Perpres Alpalhankam Rp 1.769 T
4 Juni 2021 12:09 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Koalisi Masyarakat Sipil mendesak Presiden Jokowi untuk membatalkan pembahasan serta penyusunan Perpres Alpalhankam (Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan).
ADVERTISEMENT
Tak hanya rawan memunculkan permasalahan baru, Koalisi Masyarakat Sipil juga menyatakan jumlah pendanaan peremajaan Alpalhankam yang bersumber dari utang luar negeri jelas akan menambah panjang daftar utang luar negeri yang dimiliki Indonesia.
Dalam dokumen Perpres Alpalhankam Kemhan dan TNI tahun 2020-2024 tersebut, diketahui Alpalhankam akan dibiayai melalui pengajuan pendanaan utang luar negeri senilai Rp 1.769 triliun.
"Mendesak Presiden untuk memerintahkan Menteri Pertahanan agar tidak melanjutkan agenda penganggaran sebesar Rp 1.700 triliun untuk sektor pertahanan yang dirancang oleh Kementerian Pertahanan yang berasal dari utang luar negeri," ujar Koalisi Masyarakat Sipil dalam keterangan tertulisnya, Jumat (4/6).
"Karena akan membebani dan mencederai hati masyarakat yang sedang mengalami kesulitan dan krisis ekonomi akibat pandemi," sambungnya.
ADVERTISEMENT
Pinjaman tersebut nantinya akan dimanfaatkan terkait proses akuisisi Alpalhankam, biaya pemeliharaan dan perawatan, serta biaya bunga selama lima periode renstra dan dana kontingensi. Anggaran tersebut juga direncanakan akan dialokasikan pada renstra 2020- 2024.
Meski sistem pertahanan besar peranannya dalam suatu negara, Koalisi Masyarakat Sipil menilai pengajuan utang dengan nilai sebesar itu jelas tidak tepat dilakukan saat ini. Terlebih Indonesia kini tengah menghadapi permasalahan pandemi COVID-19 yang belum juga melandai.
"Di tengah kondisi pandemi akibat penyebaran virus COVID-19 yang telah mengakibatkan kesulitan ekonomi di banyak negara, termasuk di Indonesia, anggaran sebesar Rp 1.700 triliun untuk sektor pertahanan tersebut tentu akan semakin membebani masyarakat," tuturnya.
"Penganggaran sebesar itu untuk sektor pertahanan pada saat ini merupakan bentuk nyata dari ketidakpedulian pemerintah atas nasib masyarakat yang sedang mengalami dampak serius akibat situasi pandemi, seperti dampak kesehatan, dampak ekonomi semisal masalah pengangguran, dampak politik, dampak HAM, dan hal lainnya," lanjut dia.
ADVERTISEMENT
Mereka menilai pendanaan yang berasal dari utang luar negeri juga akan berdampak pada membengkaknya utang Indonesia. Padahal, kondisi hutang luar negeri Indonesia saat ini sudah tergolong memprihatinkan. Per Maret 2021 saja, Indonesia memiliki utang luar negeri sebesar Rp 6.445,07 trilliun.
Sehingga salah jika utang Alpalhankam ini tak berdampak pada APBN.
"Jika ditambah dengan hutang baru sebesar Rp 1.700 triliun untuk sektor pertahanan, maka hal ini akan semakin membebani masyarakat. Lebih dari itu, sikap Kementerian Pertahanan yang menyatakan bahwa pembelanjaan alutsista melalui skema utang tersebut tidak akan membebani pemerintah (APBN) merupakan sikap yang sesat pikir, berpotensi menimbulkan masalah, serta tidak jelas," jelasnya.
Sebenarnya pemerintah sejak tahun 2009 telah merancang program bertahap yakni MEF (Minimum Essential Force). Dalam tiap tahapan MEF, pemerintah menganggarkan kurang lebih Rp 150 triliun setiap lima tahun untuk belanja alutsista yang akan berakhir di 2024.
Dalam skema MEF untuk periode 2009-2014, pemerintah telah merancang Rp 150 triliun untuk pembelanjaan alutsista. Pada periode 2014-2019, pemerintah juga kembali menganggarkan Rp 150 triliun untuk program MEF itu. Alih-alih membuat program baru, Koalisi Masyarakat Sipil mendorong Kemhan memanfaatkan program MEF yang ada.
ADVERTISEMENT
"Seharusnya untuk periode 2019-2024, pemerintah juga menganggarkan Rp150 triliun untuk melanjutkan program MEF tersebut. Kementerian Pertahanan tidak perlu membuat jalan baru melalui peningkatan anggaran pertahanan sebesar Rp 1.700 triliun hingga tahun 2024 dan semestinya tetap menggunakan skema MEF hingga tahun 2024 sebesar Rp150 triliun," ujarnya.
Lebih lanjut, mereka menilai pengadaan tak dilakukan secara transparan oleh Kemhan. Selain ada kesan menutup-nutupi jumlah pinjaman, Koalisi Masyarakat Sipil mencurigai program ini erat kaitannya dengan kontestasi politik tahun 2024 mendatang.
"Koalisi menilai, peningkatan anggaran alutsista yang berlebihan serta keluar dari skema MEF ini adalah berlebihan, tidak beralasan, dan sangat kental dimensi politisnya. Patut dicurigai bahwa peningkatan anggaran sektor pertahanan ini tidak terlepas dari kepentingan politik kontestasi pemenangan Pemilu 2024 yang membutuhkan biaya politik," ucapnya.
ADVERTISEMENT
"Meningkatkan anggaran sektor pertahanan tanpa adanya transparansi dan akuntabilitas sama saja dengan memberikan cek kosong pada elit politik untuk menggunakan anggaran tersebut demi tujuan-tujuan politik maupun kepentingan pribadi yang berujung pada terjadinya korupsi," tutupnya.
Berikut 4 tuntutan besar koalisi masyarakat terkait Perpres Alpalhankam Kemhan
1. Mendesak Presiden untuk memerintahkan Menteri Pertahanan agar tidak melanjutkan agenda penganggaran sebesar Rp1.700 triliun untuk sektor pertahanan yang dirancang oleh Kementerian Pertahanan yang berasal dari hutang luar negeri, karena akan membebani dan mencederai hati masyarakat yang sedang mengalami kesulitan dan krisis ekonomi akibat pandemi;
2. Mendesak pemerintah untuk melanjutkan program modernisasi alutsista melalui skema Minimum Essential Force (MEF) yang sudah dirancang sejak 2009 dan akan berakhir pada tahun 2024;
ADVERTISEMENT
3. Mendesak pemerintah untuk mengevaluasi dan mengaudit secara khusus seluruh pengadaan alutsista yang dilakukan melalui skema MEF selama ini, baik yang terjadi pada masa periode pemerintahan sekarang maupun periode pemerintahan-pemerintahan sebelumnya;
4. Mendesak pemerintah untuk menetapkan kebijakan Government to Government (G to G) sebagi metode permanen dalam proses akuisisi alat utama sistem pertahanan (alutsista) Indonesia di masa depan dan menghapus sama sekali peran pihak ketiga (broker), karena memiliki risiko masalah yang tinggi terhadap kesiapan (readiness) alutsista serta berpotensi tinggi terjadi praktik korupsi.
Live Update