KPK Jerat 5 Tersangka Korupsi Pengadaan Lahan di Rorotan, Negara Rugi Rp 223 M

18 September 2024 21:12 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
KPK tahan 4 orang tersangka terkait kasus korupsi pengadaan lahan di Rorotan, Jakarta Utara, Rabu (18/9/2024). Foto: Fadhil Pramudya/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
KPK tahan 4 orang tersangka terkait kasus korupsi pengadaan lahan di Rorotan, Jakarta Utara, Rabu (18/9/2024). Foto: Fadhil Pramudya/kumparan
ADVERTISEMENT
KPK menjerat lima tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan lahan di Rorotan, Jakarta Utara. KPK langsung menahan empat tersangka di antaranya, Rabu (18/9).
ADVERTISEMENT
Kelima tersangka tersebut yakni:
Khusus Yorry, dia sudah ditahan terlebih dahulu terkait kasus pengadaan lahan lain oleh Sarana Jaya di Jakarta.
Terkait kasus di Rorotan ini, Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, penahanan terhadap empat tersangka dilakukan untuk 20 hari pertama terhitung sejak 18 September 2024 sampai dengan 7 Oktober 2024.
"Penahanan dilakukan di Rutan Cabang Gedung KPK Merah Putih," kata Asep di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (18/9).
ADVERTISEMENT
Asep menyebut perbuatan para tersangka mengakibatkan kerugian negara setidaknya sebesar Rp 223 miliar karena adanya penyimpangan dalam proses investasi dan pengadaan tanah oleh Perumda Pembangunan Sarana Jaya pada tahun 2019-2021.
Plt Deputi Penindakan KPK Asep Guntur (kiri). Foto: Asprilla Dwi Adha/ANTARA FOTO
Seperti apa kasusnya?
Kasus ini bermula pada Februari 2019 saat PT TEP berencana membeli enam bidang tanah milik PT Nusa Kirana Real Estate (PT NKRE). Tanah tersebut seluas 11,72 hektare dengan harga Rp 950 ribu per meter persegi yang akan diperhitungkan sebagai pembayaran utang PT NKRE ke PT TEP dengan nilai transaksi total Rp 117 miliar.
PT TEP pun mengirimkan surat kerja sama pengelolaan lahan ini dengan harga penawaran Rp 3,2 juta per meter persegi menggunakan skema kerja sama operasional (KSO) pengelolaan tanah bersama PT TEP dan Perumda Pembangunan Sarana Jaya.
ADVERTISEMENT
Tawaran itu kemudian direspons oleh Yoory, dengan mengirimkan Surat Kepeminatan atas penawaran tanah tersebut.
Pada awal Maret 2019, rapat negosiasi harga pun dilakukan antara PT TEP dengan Perumda Pembangunan Sarana Jaya. Saat itu, rapat dihadiri oleh Yoory dan Donald Sihombing.
Keduanya lalu bersepakat menentukan besaran harga tanah yang dilakukan KSO yakni sebesar Rp 3 juta per meter persegi. Padahal, lanjut Asep, saat itu Perumda Pembangunan Sarana Jaya belum menunjuk Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) untuk menilai harga tanah.
Yoory bahkan mengarahkan agar tidak perlu menunjuk KJPP independen untuk melakukan penilaian harga wajar tanah, namun cukup menggunakan laporan penilaian KJPP yang ditunjuk atau ditugaskan oleh penjual.
Beberapa hari setelahnya, Yoory dan Donald Sihombing melakukan penandatanganan Perjanjian Pendahuluan tentang Perjanjian KSO Proyek Tanah Rorotan antara PPSJ dengan PT TEP.
ADVERTISEMENT
Dalam surat perjanjian itu, PT TEP mengaku sebagai pemilik sah dan berhak sepenuhnya atas enam bidang tanah seluas 11,7 hektare. Padahal, pihak PT TEP mengetahui bahwa saat itu keenam SHGB tanah Rorotan masih atas nama PT NKRE dan belum ada peralihan hak kepemilikan atas tanah dari PT NKRE ke PT TEP.
Kemudian, Perumda Pembangunan Sarana Jaya membayar uang muka kepada PT TEP dengan nilai total sebesar Rp 30 miliar atas Perjanjian KSO ini.
Namun, karena tidak mendapat persetujuan Dewas Perumda Pembangunan Sarana Jaya, perjanjian KSO ini kemudian dibatalkan dan uang muka dikembalikan oleh PT TEP.
Kondisi itu membuat Yoory kemudian memerintahkan agar transaksi diubah dari skema KSO menjadi skema beli putus tanah tanpa melakukan proses beli putus tanah dari awal sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Perumda Pembangunan Sarana Jaya.
ADVERTISEMENT
Pada akhir Maret 2019, Yoory dan Donald Sihombing melakukan penandatanganan enam Akta PPJB atas enam bidang tanah Rorotan antara Perumda Pembangunan Sarana Jaya dan PT TEP.
Perumda Pembangunan Sarana Jaya juga membayar uang muka pembelian tanah kepada PT TEP sebesar Rp 150 miliar. Padahal, saat itu PT TEP belum melunasi kewajiban pembayaran tanah kepada PT NKRE.
Lalu, sejak April hingga September 2019, Perumda Pembangunan Sarana Jaya telah melakukan beberapa kali pembayaran senilai Rp 201 miliar kepada PT TEP.
"Dengan demikian, total pembayaran untuk tanah seluas 11,7 hektare dari Perumda Pembangunan Sarana Jaya kepada PT TEP adalah Rp 351 miliar," terang Asep.
Pada 22 Februari 2021, Perumda Pembangunan Sarana Jaya kembali melakukan pelunasan atas penambahan luas tanah Rorotan dengan membayar Rp 14 miliar kepada PT TEP.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, total uang pembayaran yang telah dikeluarkan Perumda Pembangunan Sarana Jaya kepada PT TEP untuk pembelian tanah Rorotan seluas 12,3 hektare–11,7 hektare luas awal ditambah 0,6 hektare penambahan luas pasca pengukuran ulang–adalah Rp 370 miliar.
Asep menyebut, Yoory menentukan lokasi lahan Rorotan yang akan dibeli secara sepihak tanpa didahului kajian teknis yang komprehensif meskipun kondisi lahan berawa dan membutuhkan biaya pematangan lahan yang cukup besar.
Selain itu, kondisi lahan juga disebut tidak memenuhi kriteria teknis lahan Rumah Susun Sederhana (Rusuna) untuk program Perumda Pembangunan Sarana Jaya.
Kemudian, memo internal penyampaian laporan penilaian atas penawaran lokasi Jl. Rorotan-Marunda sebesar 11,7 hektare dibuat bertanggal mundur (backdate) oleh pegawai Perumda Pembangunan Sarana Jaya atas perintah Yoory.
ADVERTISEMENT
Memo bertanggal 21 Februari 2019 tersebut merupakan memo penyampaian laporan gabungan kajian evaluasi proposal penawaran dan hasil survei fisik, kajian analisa pasar pesaing, dan kajian analisa finansial/hitungan kelayakan, yang ternyata baru dibuat pada 27 Maret 2019 oleh Maulina Wulansari.
"Penanggalan mundur tersebut diduga untuk menjustifikasi atau mendukung keputusan sepihak dan subjektif Yoory dalam pembelian tanah dan mengesankan seolah-olah proses investasi atau pengadaan berjalan sesuai prosedur atau ketentuan yang berlaku," imbuh Asep.
Asep mengungkapkan bahwa penyimpangan dalam proses investasi dan pengadaan lahan Jl. Rorotan-Marunda 11,7 hektare yang dilakukan Yoory tersebut diduga dipengaruhi dan terkait adanya penerimaan fasilitas dari PT Totalindo Eka Persada.
Yoory diduga menerima valas dalam denominasi SGD sejumlah Rp 3 miliar dari PT Totalindo Eka Persada. Selain itu, ia juga diketahui mendapatkan fasilitas atau kemudahan dalam penjualan aset milik pribadi yang segera dibeli oleh pegawai PT Totalindo Eka Persada.
ADVERTISEMENT
Pembelian aset Yoory berupa satu rumah dan satu unit apartemen oleh pegawai PT TEP tersebut atas instruksi Eko Wardoyo dan sumber dananya berasal dari kas perusahaan dalam bentuk pinjaman lunak kepada pegawai yang membeli aset tersebut.
Akibat perbuatannya, terdapat kerugian negara sebesar Rp 223.852.761.192 yang diakibatkan penyimpangan dalam proses investasi dan pengadaan tanah oleh Perumda Pembangunan Sarana Jaya pada tahun 2019–2021.
Nilai kerugian tersebut berasal dari nilai pembayaran bersih yang diterima PT TEP dari Perumda Pembangunan Sarana Jaya sebesar Rp 371 miliar dan dikurangi harga transaksi riil PT TEP dengan pemilik tanah awal PT NKREZ.
Hal itu setelah memperhitungkan biaya terkait lainnya seperti pajak, BPHTB, dan biaya notaris sebesar total kurang lebih Rp 147 miliar.
ADVERTISEMENT
Para tersangka pun disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.