Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
KPK menilai putusan sela Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang membebaskan Hakim Agung Gazalba Saleh membuat kacau sistem peradilan. Majelis Hakim yang dipimpin Fahzal Hendri itu membatalkan dakwaan KPK karena menilai JPU KPK tidak mendapatkan delegasi untuk menuntut Gazalba Saleh dari Jaksa Agung RI.
ADVERTISEMENT
Putusan ini kemudian dibatalkan Pengadilan Tinggi Jakarta. Hakim Tinggi memutuskan bahwa perkara Gazalba Saleh untuk dilanjutkan.
KPK mengapresiasi putusan tersebut. Ketua KPK Nawawi Pomolango pun sependapat dengan pertimbangan Pengadilan Tinggi Jakarta.
"Ada pertimbangan yang menyebutkan bahwa majelis ini mengkhawatirkan bahwa produk putusan sela kemarin itu dapat mengakibatkan kekacauan dalam praktik sistem peradilan pidana khususnya dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi," kata Nawawi kepada wartawan, Selasa (25/6).
"Kami sepakat dengan pertimbangan dimaksud," imbuh Nawawi.
Menurut Nawawi, KPK sedang menyidangkan banyak perkara di sejumlah Pengadilan Tipikor di daerah. Putusan sela Gazalba Saleh dinilai bisa jadi preseden buruk untuk perkara-perkara lain yang sedang disidangkan KPK.
"Dalam sebuah duplik atau materi pledoi dari seorang terdakwa pada beberapa waktu kemarin sampai menyetir produk putusan sela ini di dalam duplik atau pledoinya. Ini yang kami katakan, ini akan sangat memicu terganggunya sistem praktik peradilan," kata Nawawi.
ADVERTISEMENT
"Saya tidak menyatakan diri, saya kurang lebih 32 tahun juga jadi hakim, Pak. Dan kebetulan selama kurang lebih 10 tahun saya berkiprah juga sebagai Hakim Pengadilan Tindak pidana Korupsi," imbuhnya.
Dalam kasusnya, Hakim Agung Gazalba Saleh didakwa dengan dua dakwaan berlapis. Pertama, menerima gratifikasi terkait pengaturan vonis kasasi. Nilainya hingga Rp 650 juta.
Kedua, Hakim Agung Gazalba Saleh juga didakwa melakukan pencucian uang. Uang yang diduga dari hasil pidana diduga digunakan untuk sejumlah kepentingan pribadi.
Terkait pencucian uang itu, jaksa memaparkan bahwa Gazalba Saleh pernah menerima sejumlah gratifikasi. Nilai totalnya hingga Rp 46,4 miliar. Penerimaan uang itu kemudian menjadi pencucian uang.
Bentuk pencucian uang bermacam-macam. Mulai dari membeli mobil, tanah dan bangunan, hingga ‘ngebom’ KPR.
ADVERTISEMENT
Namun, Hakim PN Jakpus mengabulkan eksepsi Gazalba Saleh. Majelis Hakim itu diketuai oleh Fahzal Hendri sebagai Ketua Majelis. Anggotanya adalah Rianto Adam Pontoh dan Sukartono.
Mereka menerima eksepsi Gazalba Saleh dan membebaskan Hakim Agung itu lewat putusan sela. Fahzal dkk menilai dakwaan Jaksa KPK tidak sah karena tak memiliki rekomendasi dari Jaksa Agung.
Namun, PT DKI Jakarta menganulir putusan tersebut. PT Jakarta juga memerintahkan PN Jakpus melanjutkan penanganan perkara gratifikasi dan pencucian uang Gazalba Saleh.