Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
KPU Soroti Fenomena Peserta Pemilu Saling Lapor Demi Elektabilitas
18 Mei 2022 18:56 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Ketua KPU RI Hasyim Asyari menyoroti fenomena saling lapor antar-peserta pemilu. Menurutnya, ada fenomena para calon akan sering melapor ke KPK atau penegak hukum jelang Pemilu.
ADVERTISEMENT
Hasyim menyebut, tindakan saling lapor ini kerap digunakan untuk menjatuhkan elektabilitas sesama pesaing.
Ia tidak menyebut rinci apakah yang dimaksud tersebut ialah calon anggota legislatif atau calon kepala daerah. Untuk tahun 2024, akan digelar pilkada, pileg, hingga pilpres.
“Seringkali soal lapor-melaporkan ini antar calon, antar pesaing gitu, ya, kita-kita pasti punya aib, lah. Pasti punya kelemahan, tapi titik-titik kelemahan itu digunakan pada kontestasi,” kata Hasyim dalam konferensi pers saat menghadiri agenda pengarahan Program Politik Cerdas dan Berintegritas di Gedung Merah Putih KPK, Rabu (18/5).
Hasyim mengungkapkan, fenomena saling lapor ini biasanya digunakan agar elektabilitas lawan politik mereka turun karena tersandung masalah hukum.
“Sering kali ada calon, ada pemilu yang melaporkan calon lawan ke KPK, kepada penegak hukum, supaya kemudian mendapat elektabilitas, supaya yang bersangkutan dikesankan, dicitrakan seolah-oleh yang bersangkutan kena masalah hukum,” ungkap Hasyim.
Hasyim menuturkan, sebenarnya tidak mempermasalahkan hal ini selama berasaskan hukum. Selain itu, selagi belum ada ketetapan hukum tetap, maka para calon yang dilaporkan masih memenuhi syarat menjadi peserta pemilu.
ADVERTISEMENT
“Padahal kita ini, termasuk KPU bekerja berdasarkan asas hukum. Jadi kalau orang belum ada putusan kalau orang itu bersalah karena tindak pidana korupsi, maka kami beranggapan atau husnudzon atau berprasangka baik bahwa orang ini, orang baik-baik saja,” kata Hasyim.
“Sepanjang belum ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,” tambah dia.
Hasyim kemudian menyinggung soal mantan terpidana yang masih bisa menjadi peserta pemilu.
Hasyim menyebut, bahwa meski ada perbedaan antara UU Pilkada dan UU Pemilu, inti dari UU itu sama yakni tidak pernah dipidana berdasarkan putusan pengadilan tetap atau inkrah.
“Masih berkaitan dengan syarat calon, di UU Pemilu maupun UU Pilkada, walaupun beda tapi intinya soal mantan terpidana itu. Jadi kalau di UU Pemilu, ditentukan calon itu salah satu syaratnya, ya, tidak pernah dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, yang ancamannya 5 tahun atau lebih,” jelas Hasyim.
Namun dalam UU Pilkada tidak ada ketentuan maksimal 5 tahun ancaman. Artinya, ancaman pidana di bawah 5 tahun sebenarnya sudah tidak memenuhi syarat pencalonan kepala daerah.
ADVERTISEMENT
“Tetapi kalau dalam UU Pilkada, itu tidak pernah dipidana berdasarkan keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, itu saja. Tidak ada ancamannya 5 tahun,” kata Hasyim.
“Artinya, syarat menjadi kepala daerah itu lebih berat daripada calon Presiden, dari pada calon Anggota DPR, yang ancamannya itu di kategorisasikan 5 tahun atau lebih,” tutup dia.