Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Krisis Venezuela: yang Tak Diwarisi Maduro dari Chávez
6 Agustus 2017 14:22 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
ADVERTISEMENT
Venezuela. Negeri di ujung utara Amerika Selatan itu merupakan salah satu yang dipandang berhasil menerapkan sistem sosialisme dalam praktik politik maupun ekonomi di bawah kepemimpinan Hugo Chávez pada tahun 1999 sampai 2013.
ADVERTISEMENT
Saat itu, negara adidaya Paman Sam pun dibuat Chávez gigit jari lantaran tidak bisa mengintervensi urusan dalam negeri Venezuela dengan agenda-agenda yang menurut Chávez sarat muatan imperialisme dan kapitalisme.
Tapi itu dulu--masa lalu yang belum lama lewat.
Kini, era keemasan Venezuela memudar. Sejak mangkatnya Chávez pada 5 Maret 2013 dan naiknya sang suksesor, Wakil Presiden Nicolas Maduro, ke tampuk kekuasaan, hampir dapat dikatakan semua kewibawaan Venezuela luntur dengan cepat.
Krisis berkepanjangan yang tengah mengguncang Venezuela, membuat Maduro mesti kerja keras dan cerdas untuk menyelesaikannya. Sebab, bisa jadi krisis tersebut menampakkan kontras nasib Venezuela di bawah dua pemimpin tersebut.
Cesar Romero, seorang tokoh pemuda dari gerakan politik sosialis ‘Marea Sosialista’, dalam sebuah wawancara dengan Jacobin mengemukakan penilaiannya antara Maduro dan Chávez.
ADVERTISEMENT
“Penilaian 15 tahun di bawah kepemimpinan Chávez berbeda dengan 3 tahun terakhir sejak Maduro mengambil alih kekuasaan. Kematian almarhum presiden menandai dimulainya sebuah fase baru. Tapi, selama bertahun-tahun Chávez berkuasa, saya akan meringkasnya sebagai berikut: periode yang progresif dan sangat kontradiktif,” ujar Romero.
Ada dua alasan mendasar Romero menyebut fase Chávez sebagai progresif. Pertama, Chávez menciptakan dinamika sosial dan politik di Venezuela berdasarkan mobilisasi dan promosi partisipasi demokratis yang populer di seantero negara.
Kedua, adanya perubahan pola akumulasi modal di industri minyak yang merupakan sumber utama kekayaan Venezuela.
“Chávez--setelah meraih kemenangan politik penting seperti The Enabling Law, kegagalan kudeta 2002 terhadapnya berkat perlawanan rakyat, kekalahan pemogokan minyak bos, dan kekalahan dari referendum penarikan kembali--muncul sebagai satu-satunya entitas politik yang mendefinisikan bagaimana pendapatan minyak negara didistribusikan,” kata Romero.
ADVERTISEMENT
“Dan tidak ada yang bisa menantang keputusan karena kemenangan tersebut dimenangkan bersama jutaan orang di jalanan,” imbuhnya.
Kedua faktor itu disebut Romero membuat rezim Chávez mampu mengonsolidasikan kekuasaan sehingga sosoknya menjadi pemimpin yang tak terbantahkan. Bersamaan dengan itu, dinamika sosial berlangsung produktif dengan komunikasi antara sipil dan pemerintah.
“Saya mencirikan periode ini sebagai sesuatu yang positif karena ada banyak investasi dan peningkatan kualitas hidup yang substansial bagi kebanyakan orang Venezuela. Contoh konkret ini adalah pengurangan drastis dari kemiskinan ekstrem, dan fakta bahwa 98 persen populasi Venezuela bisa makan tiga kali sehari dan memiliki diet seimbang,” kata dia.
Selain sederet keunggulan Chávez, kritik juga dilontarkan Romero terhadapnya. Ia bahkan menyebut Chávez telah melakukan beberapa kesalahan penting. Di antaranya ialah peran hiper-leadership. Hal itu mengakibatkan kurang terbangunnya proses kepemimpinan kolektif dan terjadi birokratisasi politik.
ADVERTISEMENT
Birokratisasi politik itu, kata Romero, mengonsolidasikan kekuasaan negara dan mengumpulkan modal dengan cepat melalui kontrak pemerintah dalam berurusan dengan perusahaan swasta dan transnasional.
“Hanya dalam beberapa tahun, sebuah kelas sosial baru pemilik bisnis terbentuk. Ini dikenal sebagai ‘Bolibourgeoisie’ (borjuasi Bolivarian),” kata Romero.
Kesalahan Chávez lainnya, karena ia mengajukan model ekonomi yang terdiri dari ekonomi campuran, tetapi yang di satu sisi bersekutu dengan kebutuhan kelas bisnis di Venezuela--sebuah kelas yang disebut Romero parasit karena mengandalkan pendapatan minyak.
“Logika penerapan model ini untuk Chávez adalah bahwa, menurutnya, ini akan mendorong kelas bisnis untuk berinvestasi lebih banyak dalam produksi internal. Tapi ini tidak pernah terjadi,” ujar Romero.
“Dengan demikian, kita sampai pada situasi yang mengkhawatirkan di mana 98 persen dari pendapatan ekspor Venezuela berasal dari ladang minyak, dengan 2 persen dari segala hal lainnya. Perbedaan ini tidak pernah begitu besar,” imbuhnya.
Kematian Chávez yang mengantarkan Maduro sebagai suksesor membawa perubahan-perubahan yang membuat warisan Chavez sulit dipertahankan. Pada 2014, Maduro menggelar semacam perundingan damai, yakni negosiasi antara pemerintah dengan pemimpin bisnis.
ADVERTISEMENT
Keputusan itu diambil Maduro untuk meredakan gelombang protes dan kekerasan yang dimobilisasi kelompok sosial kelas menengah dan atas. Mereka menuntut Maduro mengundurkan diri.
Pemerataan dari hasil perdagangan minyak pada masa Chávez juga mau tak mau perlu diubah. Pihak-pihak yang bermain dalam sektor tersebut menuntut memperoleh hasil lebih banyak. Mereka memojokkan Maduro--yang ingin mempertahankan kekuasaannya--untuk membuat kerjasama dengan sektor politik dan ekonomi yang dominan.
Akibatnya, program-program sosial yang dibangun pada masa Chávez harus dipangkas untuk memaksimalkan pendapatan itu.
Langkah-langkah anti-populer yang baru diterapkan: pemotongan pajak untuk bisnis terdepan, akses yang lebih mudah ke dolar, dan pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus baru di wilayah strategis di mana perusahaan tidak harus mematuhi undang-undang perburuhan atau membayar pajak apapun.
Turunnya harga minyak membuat pemerintah Venezuela mempercepat ekstraksi sumber daya alam lain, termasuk pertambangan yang secara serius melemahkan keanekaragaman hayati yang sangat besar. Akibaynya, distribusi pendapatan minyak kehilangan karakter ‘untuk rakyat’.
ADVERTISEMENT
Semua itu, menurut Romero, menyebabkan kemunduran popularitas Maduro. Ditambah lagi respons pemerintah yang disebutnya otoriter. Sebuah keputusan yang tidak pernah terjadi ketika Chávez memimpin.
“Krisis telah berlangsung bertahun-tahun, tapi keadaan sekarang lebih buruk dari sebelumnya. Perbedaan utama antara pemerintahan Chávez dan Maduro adalah bahwa dengan Chávez, ketika terjadi krisis, para pekerja tidak pernah membayar konsekuensinya. Dengan Maduro, selalu saja para pekerja yang paling menderita,” kata Romero.
“Inilah sebabnya saya memisahkan kedua penilaian tersebut. Sejauh ini, penilaian masa Maduro dalam pemerintahan adalah hal yang negatif,” sambungnya.
Tidak terwariskannya keberanian Chávez pada Maduro menurut Steve Ellner, seorang dosen sejarah ekonomi di Universidad de Oriente di Puerto La Cruz, Venezuela, dapat dilihat dengan gamblang oleh ‘para pendukung Chávez (Chavista). Sebagaimana diungkapkan Ellner di Venezuelanalysis.
ADVERTISEMENT
“Mereka (Chavista) mengkritik, misalnya, keputusan Maduro untuk mengganti slogan Chavista, dari ‘Chávez Lives, the Struggle Continues!’ dengan ‘Chávez Lives, the Homeland Continues!’ sebagai indikasi kemunduran politik dan berkurangnya semangat revolusioner pemimpin tersebut (Maduro),” ujar Ellner.
“Beberapa pendukung Chávez menyimpulkan, ‘Chávez menghadapi kematian kedua’ dengan modifikasi slogan retoris itu,” kata Ellner.