Kusut Kasus Kelompok Anarko

8 Juni 2020 11:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi kelompok Anarko. Foto: Reuters/Edgard Garrido
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kelompok Anarko. Foto: Reuters/Edgard Garrido

Proses hukum kelompok Anarko-Sindikalisme kusut. Mulai dari perebutan kuasa hukum hingga pokok perkara yang tak semestinya naik ke persidangan karena bukan delik formil.

Dua pekan mondar-mandir di Markas Polda Metro DKI Jakarta tak menjamin Shaleh Al Ghifari berhasil menemui para tersangka dugaan vandalisme di Tangerang. Polisi tak begitu saja mempertemukannya dengan lima tersangka yang sedang diperiksa.
Para tersangka itu adalah RH dan A yang masih belum menginjak usia dewasa, serta Rio, Risky dan Rizky. Kelimanya berada di tahanan karena terlibat aksi corat-coret berisi ajakan merusuh pada awal April lalu. RH, A, Rio, dan Risky ditangkap di Tangerang, sedangkan Rizky ditangkap di Bekasi Timur.
“Bukan hanya kami, tetapi keluarga tersangka juga tidak bisa menemui. Mereka bersama kami dari LBH Jakarta,” ucap Ghifar, Jumat (5/6).
Kehadiran Ghifar ke kantor polisi sebenarnya diminta oleh salah satu keluarga tersangka, Rio, untuk memberikan bantuan hukum. Tetapi alasan berbelit polisi menghalanginya mendapatkan tanda tangan surat kuasa dari tersangka. Dua tersangka di bawah usia, RH dan A, kemudian mendapatkan pendampingan hukum dari pengacara yang ditunjuk polisi.
Berbelitnya urusan pertemuan dengan tersangka ini merupakan sepenggal jalan berliku perjalanan perkara yang membelit empat remaja itu.
Kasus ini bermula dengan corat-coret di tembok saat pandemi corona. Keempatnya dituding menjadi biang tulisan provokasi di sebuah dinding kawasan Pasar Anyar, Kota Tangerang. Tulisan provokatif tersebut antara lain “Bunuh orang-orang kaya”, “Sudah krisis saatnya membakar”, dan “Mau mati konyol atau melawan”.
Kala itu Kapolda Metro Jaya Irjen Pol. Nana Sudjana menjelaskan, mereka merupakan pelaku yang mencoba menimbulkan kericuhan dan tergabung dalam kelompok Anarko-Sindikalisme.
“(Ada) di empat Tempat Kejadian Perkara. Selama ini kelompok Anarko cukup dikenal. Kelompok ini juga tersebar di Jakarta, Bandung,” ujar Nana lewat keterangan pers digitalnya, Sabtu (11/4).
Hasil pemeriksaan atas ponsel tersangka, menurut Nana, menunjukkan kelompok itu berencana membuat aksi vandalisme serentak di berbagai kota besar di Pulau Jawa. Lewat aksi itu, lanjut Nana, mereka berharap masyarakat terpancing kemarahan dan mau bergerak bersama mereka.
Puncak dari aksi vandalisme tersebut, kata Nana, kelompok Anarko ingin melakukan perusuhan dan penjarahan massal di sejumlah kota besar pada Sabtu (18/4). Akan tetapi hingga waktu tersebut, tidak ada kerusuhan maupun penjarahan.
Para pelaku lantas disangkakan Pasal 14 dan Pasal 15 UU No. 1 Tahun 1946 Informasi dan Transaksi Elektronik tentang Penyebaran Berita Bohong. Selain itu, mereka dikenakan Pasal 146 dan Pasal 160 KUHP dengan ancaman penjara di atas lima tahun.
Tersangka vandalisme ‘Sudah Krisis saatnya Membakar’ di Tangerang Kota. Foto: Dok. Polda Metro Jaya
Atas semua keterangan dan informasi polisi itu, Ghifar tak menelannya mentah-mentah. Menurut dia, proses hukum kasus vandalisme di tengah masa pandemi ini penuh kejanggalan. Hal itu ia alami sendiri ketika berusaha mendapatkan surat kuasa pemberian bantuan hukum.
Tante Rio, Andriance, mengatakan bahwa sejak awal penangkapan, kemenakannya itu telah mewanti-wanti keluarga untuk meminta LBH Jakarta menjadi pendamping hukum. Tetapi setelah pertemuan keluarga, LBH, dan tersangka sendiri proses alot masih harus berjalan.
Butuh waktu lebih dari delapan jam untuk mendapatkan tanda tangan Rio dan Risky terkait pemindahan kuasa hukum kepada LBH. Penyidik sempat berujar kepolisian telah menyediakan kuasa hukum bagi pelaku sehingga tidak perlu ada pengalihan kuasa ke LBH Jakarta. Mereka meminta keluarga untuk menghubungi Halim Darmawan, pengacara dari kepolisian.
Namun, Ance—sapaan Andriance, tante Rio—tidak tahu harus ke mana menghubungi Halim. Pasalnya sejak awal kasus, Halim tak pernah sama sekali menghubungi pihak keluarga.
“Kita pihak keluarga aja belum pernah dihubungi sama kuasa hukumnya untuk kasih tahu bahwa dia ini kuasa hukum Rio; nggak ada penjelasan sama sekali,” cerita Ance kepada kumparan, Kamis (4/6).
Saat pihak keluarga dan advokat LBH Jakarta menghubungi Halim, menurut Ance, penyidik memanggil Rio untuk datang menghadap. Kepada Rio, penyidik tersebut meminta Rio untuk tidak menuruti kemauan keluarganya dalam pemindahan kuasa hukum jika kasusnya ingin cepat selesai.
“Dia telepon dari dalam ngomong, ‘Aku dipaksa nggak boleh cabut kuasa hukum’. Saya tanya ‘Terus kamu mau gimana?’ Dia jawab tetap maunya sama LBH Jakarta,” ujar Ance.
Debat melalui telepon antara Ghifar dan Halim pun terjadi. Halim keberatan jika harus melakukan pengalihan kuasa hukum. Ia beralasan telah melakukan pendampingan sejak awal penangkapan. Lalu untuk menyelesaikan masalah, Halim pun datang ke Polda Metro untuk bertemu keluarga Rio dan LBH Jakarta.
Tarik-menarik pendampingan hukum Rio dan Risky terus berlanjut sampai pelimpahan berkas perkara ke Kejaksaan Negeri Kota Tangerang menjelang Idul Fitri. Saat itu, penyidik dan Halim kembali mendatangi Rio dan Risky. Keduanya kembali dipaksa tanda tangan untuk mengalihkan kuasa hukum dari LBH Jakarta ke pengacara pilihan polisi.
Mengetahui hal itu, advokat LBH dan pihak keluarga langsung menuju ke Polres Metro Tangerang. Di sana mereka berhasil kembali mendapatkan tanda tangan Rio dan Risky dan LBH kembali sah menjadi kuasa hukum keduanya.
“Beberapa hari kemudian, dia didatangi lagi sama penyidik Polres, ditanyain benar apa enggak itu tanda tangannya, dan dia bilang benar,” tutur Ance.
Coretan logo Anarko di gerbang DPR RI saat berunjuk rasa menolak UU yang menuai polemik, pada Senin (23/9/2019). Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Halim kepada kumparan mengatakan masih menjadi kuasa hukum yang sah bagi Rio dan Risky. Itu sebabnya ia ia datang ke Kejaksaan Negeri Tangerang untuk melimpahkan berkas perkara P21. Menurutnya, hingga saat ini belum ada surat pengalihan kuasa dari dirinya ke LBH Jakarta.
Halim juga menuding LBH Jakarta memaksa memindahkan kuasa. Untuk itu, ujar Halim, ia akan tetap mendampingi kedua tersangka dalam persidangan yang dijadwalkan berlangsung pekan depan.
“Sempat juga saya jumpa di kantin (Polda Metro Jaya dengan pihak LBH)—dengan gaya arogan seorang advokat tidak menghormati adanya advokat yang sudah menjalankan tugas dan pertanggungjawabannya mendampingi dengan selesai dan jelas. Artinya mereka mendapatkan kuasa itu memaksa,” ujar Halim, Senin (8/6).
Menurut Halim, tak masalah jika ia tak lagi dipakai untuk mendampingi Rio dan Risky. Yang terpenting sebelum sidang dimulai, ia meminta LBH Jakarta mengirimkan berkas asli pemindahan kuasa dari dirinya ke LBH Jakarta.
“Kalau dia mau mencabut kuasa saya, secara etika dan prosedur dia harus menyampaikan pencabutan aslinya ke saya. Ini kan enggak disampaikan dan dicabut sepihak. Ya dia nggak sah dong,” ujar Halim.
Pengacara Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Era Purnama Sari yang juga duduk sebagai tim kuasa hukum pelaku menjelaskan pihaknya sudah menemui jaksa penuntut umum dan memastikan bahwa pengacara pelaku yang sah adalah LBH Jakarta. Hal itu dilakukan agar tim advokat bisa mendampingi pelaku dalam persidangan.
“Kita mengantisipasi jangan ada sidang tanpa ada pendampingan kuasa LBH; karena bisa saja sidang dijalankan dengan kuasa hukum penunjukkan polisi yang dipakai,” kata Era.
Berdasarkan catatan LBH Jakarta sejak awal penangkapan, ada beberapa kejanggalan prosedur yang dilakukan kepolisian. Kejanggalan itu antara lain polisi tidak membawa surat penangkapan; dan jika pun membawa, tidak tertera nama pelaku yang dituju.
Laporan dugaan kekerasan semasa pemeriksaan pun diterima oleh LBH Jakarta. Saat proses penangkapan, kepolisian melakukan tindak kekerasan terhadap para pelaku. Kepala ketiganya dilaporkan ditutup plastik hingga mereka sulit bernapas dan pingsan ketika digelandang ke Polres Metro Tangerang. Selain itu, mereka mengalami kekerasan dan intimidasi saat diperiksa.
Seorang demonstran mengibarkan bendera Anarko saat demo di depan Gedung DPR, Selasa (24/9/2019). Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Yeni Wulan Sri, kakak sepupu Risky, melihat luka memar di kaki Risky saat menjenguknya. Menurut Risky—yang saat itu sudah diplontos dan dicukur alis—memar itu akibat pukulan besi oleh polisi.
Risky juga mengatakan sempat mendapat beberapa bogem mentah di rahangnya. “Mbak Ica (dari LBH) nanya ke Risky, emang ada kekerasan? Terus Risky jawab ada. Dia dipukul di rahang,” ujar Wulan kepada kumparan lewat sambungan telepon.
Sementara soal kasusnya sendiri, Ghifar merasa tak ada tindak pidana yang dilakukan kliennya. Corat-coret di tembok tak dapat dipidana karena belum disertai aksi rusuh.
Ghifar, Putusan MK Nomor 7/PPU-VII/2009 atas pengujian Pasal 160 KUHP tentang penghasutan menjelaskan bahwa pasal tersebut merupakan delik materiil, bukan delik formil. Artinya, pelaku baru bisa disebut menghasut jika apa yang dia lakukan memunculkan tindak pidana lain, semisal kerusuhan.
“Bahwa perkara yang terkait pasal yang mereka tuduhkan ini harus sudah ada dampaknya, baru orang bisa dituntut,” ujarnya.
Ghifar khawatir polisi sengaja mempersulit akses pendampingan hukum agar perkara tak terawasi. Terlebih, perkara dua tersangka Yofie dan Alfiah sudah selesai di Pengadilan Negeri Tangerang.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus mengatakan kedua tersangka masih berada di bawah 17 tahun dan dijatuhi empat bulan penjara oleh majelis hakim.
“Berkas kedua pelaku anak, A dan RH, telah divonis hakim. Setelah dilakukan upaya tiga kali diversi sesuai proses peradilan anak tidak berhasil, hakim tetap menjatuhkan hukuman penjara empat bulan,” ucap Yunus dalam keterangan pers, Jumat (8/7).
Proses hukum kelompok Anarko di Tangerang hanya satu dari sekian banyak. Kelompok tersebut seolah tengah jadi salah satu bidikan. Di Malang misalnya, Polda Jawa Timur menangkap sepuluh orang di sekitar lampu merah pintu keluar Tol Lawang. Polisi menduga mereka bagian dari kelompok Anarko.
Kapolres Kota Malang AKBP Hendri Umar menyebutkan tengah memproses sepuluh orang yang diduga melakukan aksi vandalisme di underpass Karanglo Singosari itu. “Vandalisme diduga kuat dilakukan oleh kelompok Anarko atau anak punk,” jelasnya.
Aksi vandalisme yang dilakukan tersangka—salah satunya bernama Hendri—ialah mencoretkan tulisan “Bubarkan Negara” dan “Rakyat Tidak Butuh Negara”. Identitas pelaku coretan tersebut diidentifikasi dengan adanya simbol A dalam lingkaran yang identik dengan simbol kelompok Anarko.
Selain itu, Polresta Malang menangkap tiga orang mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang yakni Saka, Fitron, dan Alfian, terkait dugaan kelompok Anarko. Ketiganya dikenal sebagai aktivis Kamisan di Kota Malang.
Pegiat Aksi Kamisan Jakarta, Ali Nur Sahid, menilai polisi tengah menangkapi orang-orang yang kritis terhadap pemerintah. Menurutnya, ada kecurigaan berlebih dari pemerintah terhadap kelompok prodemokrasi.
“Sejak aksi revolusi dikorupsi, kelompok Anarko seolah menjadi kambing hitam. Dari penahanan terhadap tiga mahasiswa Malang ini terlihat adanya penyalahgunaan prosedur dan penangkapan tanpa BAP,” ujarnya.
Barang bukti milik tersangka vandalisme ‘Sudah Krisis saatnya Membakar’ didominasi buku tentang Marxisme. Foto: Dok. Polda Metro Jaya
Asisten peneliti Lokataru Foundation, Kirana Anjani, dalam tulisannya berjudul Kaus Hitam dan Paranoia Negara, Stigmatisasi dan Pelanggaran Hak Kelompok Anarko-Sindikalis menjelaskan bahwa dalam dua tahun terakhir terdapat peningkatan signifikan atas fobia dan stigma yang sengaja ditanam negara terhadap gerakan Anarko.
Menurutnya, sekian banyak barang bukti seperti cat pilox, sepeda motor, dan buku milik para tersangka yang diperlihatkan polisi kepada masyarakat, sama sekali tak kuat untuk mengungkap sebuah kejahatan yang terorganisir. Pun, menurut Kirana, hingga hari ini Anarko-Sindikalisme di Indonesia bukanlah kelompok terorganisir yang memiliki komando terpusat.
Di tengah gempuran pandemi corona, tindakan represi aparat terhadap kelompok Anarko berujung pada pengabaian hak dan prosedur melalui penangkapan sewenang-wenang dan penyiksaan. Selain itu, tutur Kirana, minimnya literasi aparat mengenai paham anarkisme juga mengaburkan arti harfiah anarkisme itu sendiri.
“Akibatnya, pelanggaran ketertiban umum melalui vandalisme atau perusakan sering ditanggapi secara tidak proporsional,” lanjutnya.
Ghifar khawatir polisi tengah bertaruh gengsi soal pemidanaan anarko ini. Sementara Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus yang dihubungi kumparan mengatakan akan mengecek persoalan ini. “Saya akan cek dulu.”
***
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)
Yuk, bantu donasi untuk atasi dampak corona.