Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
“Angka 35.200 liter, kalo diotak-atik dengan kenyataan (jumlah pastor, gereja, dan misa) kecil sekali. Tapi karena sekaligus, orang kebayangnya 35 ribu liter itu, kalau diukur bak mandi 1 meter persegi 1000 liter, berarti ada 35 bak mandi,” papar Kepala Departemen Pengembangan Sumber Daya Manusia, Pelayanan Umum, dan Tenaga Gereja Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Romo Agustinus Surianto kepada kumparan.
Selama ratusan tahun, salah satu kebutuhan dasar peribadatan Katolik itu dipenuhi melalui impor dari Australia. “Kesulitan impor itu luar biasa, keluar devisa negara karena membayar dengan mata uang asing. Yang kedua regulasi mengimpor minuman beralkohol itu tidak mudah, njelimetnya luar biasa,” ucap Romo Agus selanjutnya.
Tak cuma sulit dan rumit, waktu yang dibutuhkan mulai dari proses negosiasi, perizinan, hingga distribusi pun cukup lama, “Bisa mencapai satu tahun”. Kesulitan yang dirasakan selama bertahun-tahun itu lah yang akhirnya memunculkan niat untuk berswasembada, menggunakan anggur produksi lokal.
Namun itu pun tak mudah. Meski ide untuk swasembada anggur misa itu telah muncul sejak tahun 2000-an, tapi baru pada tahun 2016 rencana tersebut diupayakan. Persoalan seperti kemampuan produsen lokal dalam memproduksi anggur yang sesuai dengan prasyarat dari gereja jadi salah satu tantangannya.
“Anggur yg digunakan di dalam misa kudus dalam perayaan ekaristi dalam pandangan gereja Katolik itu tidak boleh sembarangan. Ada aturannya, ada hukum gereja yang mengaturnya,” ujarnya menjelaskan.
Selama satu jam lebih berbincang, Romo Agus menceritakan mengapa dan bagaimana gereja Katolik berusaha berhenti impor anggur. Butuh waktu kurang lebih 2 tahun baginya menyelesaikan segala perdebatan yang timbul, perizinan, hingga seleksi produsen anggur lokal yang dapat diajak kerja sama.
Berikut petikan perbincangan reporter kumparan , Fadli Rizal dan Ratmia Dewi , bersama Romo Agus di kantor Konferensi Waligereja Indonesia, Jakarta Pusat, Senin (23/12).
Mengapa dibutuhkan anggur di setiap acara misa di gereja Katolik?
Karena gereja Katolik bertumbuh dari Timur Tengah, di mana konsumsi umumnya mereka kan roti dan anggur. Itulah yang diambil dalam perkembangan berikutnya, ketika Yesus mengarahkan perjamuan malam terakhir, roti dan anggur didoakan kemudian dibagi-bagikan ke murid-muridnya. Kemudian Yesus mengatakan, "Lakukanlah ini untuk mengenang kehendakku". Artinya para murid diminta untuk melakukan itu sebagai memorabilia terus menerus, berlangsung terus. Karena memang itu berlangsung terus sepanjang masa ketika orang mengenang apa yang dilakukan oleh Tuhan, itu dirayakan dalam Ekaristi (perayaan misa).
Ekaristi di dalam pandangan gereja Katolik itu puncak dari seluruh sakramen. Ada tujuh sakramen, ekaristi adalah puncaknya (selain ekaristi, ada juga pembaptisan, penguatan, rekonsiliasi, pengurapan orang sakit, imamat, dan pernikahan). Mengapa disebut puncaknya? Karena di situlah perjumpaan antara manusia dengan Allah menjadi nyata, menjadi konkret.
Allah hadir, mewartakan sabdanya kemudian melalui imam yang menjadi persona kristus sendiri, dan dalam bentuk ekaristi yang disambut karena diyakini di dalam agama Katolik bahwa roti dan anggur setelah proses konsekrasi itu, setelah doa yang khusyuk seperti diucapkan seperti doa yesus, diyakini bahwa itu menjadi tubuh dan darah kristus sendiri. Meskipun bentuknya sama, rasanya sama, tetapi hakikatnya yang berbeda, esensinya sudah berbeda menjadi tubuh dan darah kristus itu yang diyakini.
Maka ketika merayakan ekaristi selalu ada roti yang disebut hosti, yang bundar-bundar itu, dan anggur. Anggur ini yang digunakan sebagai bahan utama di dalam perayaan ekaristi. Nah perayaan ekaristi ini kan tidak mungkin ada tanpa itu kan. Kalo enggak ada, hanya disebut dengan ibadah sabda.
Jadi di dalam pandangan gereja Katolik kalau tidak ada roti dan anggur yang dipersembahkan dan didoakan secara khusus maka tidak ada perayaan ekaristi. Itu hanya sekadar ibadat, ibadat sabda biasa.
Seperti apa syarat yang diterapkan gereja Katolik terkait anggur misa?
Anggur yang digunakan di dalam misa kudus dalam perayaan ekaristi dalam pandangan gereja Katolik itu tidak boleh sembarangan. Ada aturannya, ada hukum gereja yang mengaturnya, ada tata aturan liturgi yang mengaturnya. Anggur yang digunakan adalah hasil fermentasi dari buah anggur.
Buah anggur yang seperti apa? Tidak bisa sembarangan anggur tapi anggur dari jenis Vitis vinifera. Selain itu anggurnya difermentasi hanya dengan kapang/ragi tertentu yang ada di buah anggur itu. Gak boleh ada yg lain. Tidak boleh ada unsur tambahan apapun juga di dalam produksinya.
Lalu mengapa memilih impor anggur dari luar negeri?
Di Indonesia tidak memungkinkan untuk memproduksi minuman beralkohol dengan gampang. Oleh karenanya gereja Katolik di Indonesia udah 500 tahun lebih selalu impor. Sebelum tahun 1974, impor dari Spanyol. Mulai tahun 1974, Indonesia bekerja sama dengan Australia. Jadi di Australia ada beberapa winery dan salah satunya yg diajak kerja sama itu adalah Sevenhill Cellars, di Adelaide, Australia Selatan. Itu memang winery yang dibuat oleh para Romo Jesuit (alias Serikat Yesus, ordo dalam gereja Katolik yang dikenal karena kedisiplinannya, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan). Winery Sevenhill Cellars itu udah ratusan tahun. Winerynya cukup besar.
Tapi Indonesia tidak ada, winery-nya kan kecil-kecil. Yang paling besar hanya di Bali, ada Hatten Wine (The Cellardoor) dan Sababay Winery, rasanya yang cukup besar hanya ini dua. Saya gak tahu apakah ada lagi, tapi rasanya dua itu saja.
Awalnya impor, kesulitan impor kan luar biasa. Kita harus keluar devisa negara, karena membayar dengan mata uang asing. Yang kedua regulasi untuk mengimpor minuman beralkohol itu tidak mudah karena njelimetnya luar biasa peraturannya. Pemerintah tidak melihat bahwa itu sebagai sarana peribadatan atau mungkin tidak paham ya walaupun (Katolik) sudah ratusan tahun di Indonesia. Maka mereka mengelompokkannya sebagai minuman beralkohol. Karena minuman beralkohol, kenapa segala macam undang-undang, segala macam peraturan yang dikeluarkan pemerintah yang mengatur impor dan distribusi minuman beralkohol.
Maka ketika (impor) ini berlangsung prosesnya setengah mati segala macam kementerian harus kita urus prosesnya. Kemudian yang ketiga juga lama. Butuh waktu sangat lama, mulai dari negosiasi pertama sampai bisa didistribusikan itu setahun lho.
Bagaimana awal mula niat swasembada anggur misa ini?
Tahun 2010 - 2011 dilakukan usaha untuk swasembada, tapi usaha swasembadanya mulai dari nol, mencoba bikin sendiri, mencoba membuat winery kecil-kecilan. Eksperimen percobaan gagal total, gak ada pengalaman. Saya masuk (KWI) tahun 2016, sebelumnya saya memang sejak lama saya sebenarnya diingatkan oleh seorang pemerhati pertanian, sastrawan, wartawan F. Rahardi, tahun 2000 ketika saya masih tugas di Bogor.
Pada tahun 2000an awal saya membaca di tabloid mingguan Kontan, beliau berbicara tentang swasembada pangan di Indonesia dan di dalam uraiannya itu dikatakan gereja katolik pun selama ini kan mengimpor segala sesuatu untuk peribadatannya. Saya ngobrol-ngobrol dengan beliau dan beliau mengatakan (soal impor).
Nah itu kan terngiang-ngiang terus di dalam diri saya kan, cuma saya gak punya akses. Ketika saya masuk di KWI, baru saya punya akses. Kebetulan kan saya mengepalai Departemen SDM PU-TG, sumber daya manusia pelayanan umum dan tenaga gereja, itu luas sekali. Di pelayanan umum tuh salah satunya mengadakan anggur misa.
Saya terpikir kan, kalo gitu ini mimpi saya bisa diwujudkan. Maka saya mencari. Pertama memang ditolak (usulannya), tidak gampang kan. Gak ada pengalaman lah, tidak akan murah lah, dan lain-lain segala alasan itu. Pada tahun kedua, saya coba lagi, tetapi saya mulai melihat beberapa peluang untuk bekerja sama. Saya tidak akan mulai dari nol seperti pendahulu. Ngapain kita mulai dari nol, lah kalo cuma buat produksi kebutuhan untuk liturgi, kenapa harus buat winery sendiri.
Lagipula terikat oleh aturan di Indonesia ini yang tidak memungkinkan memproduksi minuman beralkohol. Kebutuhannya tidak sedikit. Cukup besar loh kebutuhan untuk liturgi, untuk kebutuhan peribadatan Katolik. Ini yang tidak terpikir oleh banyak pihak, termasuk oleh menteri agama.
Tahun 2010-2011 itu dimulai dengan membuat uji coba di Universitas Sugiopranoto atau Sanata Dharma waktu dulu. Tapi hasil mereka kemudian ditolak oleh para uskup karena produksi roti atau anggur untuk peribadatan harus dibawah pengawasan otoritas yang berwenang karena terkait kehalalan, tidak bisa sembarangan, harus dilihat cara produksinya, bahan bakunya, bagaimana mereka mengolahkan.
Dua tahun lalu atau tahun 2017 ya, saya dengan beberapa dengan satu uskup wakil KWI juga sowan ke menteri agama, masih Pak Lukman Hakim. Beliau kaget sekali ketika tahu untuk kebutuhan peribadatan umat Katolik Indonesia betapa susahnya, masih harus mengimpor. Pada waktu itu kami ingin dukungan dari Pak Menteri supaya kita bisa mulai swasembada tapi kita tidak mulai dari nol, kita kerja sama dengan winery yang sudah ada dan pilihan jatuh pada Sababay.
Dulu kan dua tahun sekali KWI mengimpor untuk kebutuhan peribadatan gereja katolik seluruh Indonesia 4 kontainer dari Australia. Satu kontainer isinya 80 drum anggur curah. Mengapa anggur curah? Yang murah, kalau dari botol kan mahal. Sudah bersih, sudah jernih kan. Maka yang dibeli adalah anggur curah. Jadi satu kontainer itu dimuat 80 drum. Kami impor 4 kontainer, berarti kan 80 kali 4 kan 320 drum, itu untuk dua tahun.
Kurang lebih kan 35.200 liter per tahun. Ketika saya harus uji publik di Direktorat Jenderal Bea Cukai, karena kami ingin memproses supaya dibebaskan cukai karena ini peribadatan. Maka ketika proses uji publik, mereka menanyakan angka ini gede sekali 35.200 liter.
Saya menghitung ada berapa jumlah pastor. Jumlah pastor pada waktu itu tahun 2017 ada 4.865 oran. Saya katakan setiap pastor harus merayakan satu kali misa satu hari. Hitung saja kalo satu kali berarti 4865 dikali sekitar 15 cc atau satu sendok itu, itu angkanya sudah hampir 30 ribu liter per tahun didapatkan (4.865 x 15 x 365 hari). Kalau harian misalnya ada lagi perayaan di umatnya, di jemaatnya, kan tambah. Hari Sabtu dan Minggu kan paling sedikit paroki kecil mungkin 4 kali perayaan, tapi untuk paroki besar seperti Katedral Jakarta ini bisa sampai 8-9 kali perayaan.
Maka angka 35.200 liter kalo diotak-atik dengan kenyataan kecil sekali. Tapi karena sekaligus, orang kebayangnya 35 ribu liter itu kalo bak mandi 1 meter persegi 1.000 liter berarti ada 35 bak mandi kan. Kebayangnya seperti itu. Tapi real sekali. Dan ketika kami presentasikan di Direktorat Jenderal Bea Cukai mereka juga paham. Ujug-ujug ngelihat angka sebesar itu, gak kebayang.
Tapi ini kan tidak dipakai sekaligus, gak diminum sekaligus, ini hanya untuk peribadatan. Dikontrol, kami mengontrol, tidak bisa beredar dijual umum. Ini hanya disalurkan KWI sebagai lembaga agama nasional untuk Katolik.
Mengapa memilih Sababay Winery?
Kami kunjungi ke sana, kami dialog dengan mereka, dan kaget sekali, winery-nya bukan winery ecek-ecek. Kami lihat perkebunannya, berdialog dengan petani-petani yang menjadi mitra mereka. Mereka punya kebun anggur tapi mereka juga memberdayakan ratusan petani setempat di dua kecamatan, Gerokgak dan Seririt, Kabupaten Buleleng, Bali Utara. Sababay ini kan berdiri sejak 2000 awal ya, mereka mulai menjajaki untuk membuat winery kan. Maka ketika tahun 2017 kami bisa bertemu dengan pihak Sababay, ada kecocokan.
Mereka sanggup memproduksi sesuai ketentuan gereja yang halal, di muslim disebut halal, tapi kami juga mengatakan halal artinya mengikuti aturan yang tidak boleh dilanggar.
Selain itu, Sababay kebetulan Bu Mulyati kan pemiliknya. Dulu suaminya almarhum kan memang punya mimpi ketika ingin mulai produksi anggur mereka terpikir kapan ya bisa bantu gereja. Jadi ada niat baik ini yang nyambung.
Saya ketemu orang Sababay-nya di sebuah rumah sakit di Sintang, kita lagi ngobrol-ngobrol, ketemu, nyambung begitu. Kalau orang beriman kan mengatakan itu Tuhan yang mengatur melalui peristiwa yang tidak pernah kita sadari tiba-tiba Tuhan mengatur.
Apakah ada perdebatan di internal gereja Katolik sebelum menginisiasi swasembada ini?
Fifty-fifty di awal, tapi ketika kita bisa presentasikan bahwa di Indonesia itu mampu, ada kebun anggur yang kontinyu menghasilkan anggur , dan ada winery yang siap dan sudah dikelola cukup lama. Ketika saya berdebat dengan para uskup di forum, mereka mengatakan kita mematikan bisnis orang yang sudah membantu kita sekian lama di Australia. Saya bilang tidak, kecil sekali 35 ribu liter bagi mereka, kecil di Australia karena mereka bisa cari pasar lain atau mereka kan yang sehari-hari mengkonsumsi anggur.
Kemudian juga soal harga, para uskup mengatakan produksi dalam negeri pasti lebih tinggi harganya. Saya mengatakan kalau lebih tinggi sedikit, bukankah kita bangga dalam negeri loh, kita tidak impor lagi, nggak ada devisa yang kita alirkan ke luar negeri, dan juga kita memberdayakan petani-petani itu. Kita berpartisipasi. Dengan demikian peribadatan umat Katolik yang dilakukan rutin setiap hari itu juga bermakna bagi petani-petani Buleleng dan sekitarnya.
Kalau dinilai dengan rupiah mungkin kecil dan tidak ada artinya dari sisi bisnis bagi Sababay (Indonesia) maupun Sevenhill (Australia). Namun swasembada membawa rasa bangga, ini soal nasionalisme juga, saat anggur misa bisa dibuat di dalam negeri, mengapa harus impor dari luar negeri.
Yang ketiga mereka bilang tidak akan bisa lah Indonesia membuat anggur yang tahan lama. Ketika saya lihat winery Sababay begitu besar dan mereka sudah ekspor, memperoleh medali internasional, saya nggak ragu lagi.
Sebelumnya sempat dipermasalahkan di internal, salah satunya soal harga produsen lokal bisa jadi lebih mahal sedikit. Mengapa akhirnya tetap memilih swasembada anggur misa?
Saya ungkapkan tiga keuntungan ketika kita berswasembada. Pertama devisa negara dihemat, kedua memberdayakan petani-petani yang boleh dikatakan hampir mati di Bali. Ketika Sababay memulai memberdayakan petani, tidak melalui tengkulak-tengkulak tapi langsung ke petani, janji harga sekian per kilogram itu ditepati. Pokoknya setiap panen berapa pun mereka setor itu dibayar.
Ketiga di kemudian hari ketika Indonesia sudah bisa berswasembada bukankah nanti bisa ekspor, ketika Konferensi Waligereja Indonesia memulai swasembada, memulai produksi anggur di dalam negeri, bekerja sama dengan winery yang sudah mapan, nanti juga gereja di negara tetaang berpikir, “Ngapain jauh-jauh, ambil saja dari Indonesia kalau kualitasnya sama, kalau tingkat kehalalannya dijaga”. Itu mimpinya seperti itu sih, idealismenya.
Berarti sekarang sudah swasembada penuh?
Sudah mix sekarang, itu kan masih ada yang (kerja sama) kemarin. Jadi kan kebutuhan 320 drum, tapi 160 drum masih import, 160 dari lokal. Jadi rencana 35 ribu liter produksi lokal akan digunakan di 2019-2020 (produksi 2019, untuk digunakan di tahun 2020). Nah 2020 kita persiapan produksi untuk 2021.
Jadi impor anggur misa oleh gereja Katolik sudah berakhir?
Berakhir, dengan upacara launching tanggal 29 November 2018 di Gianyar, Bali itu menandakan Indonesia mengakhiri ketergantungan sarana peribadatan dari impor. Karena kita bisa produksi sendiri. Monsinyur Petrus Timang mengatakan, "Setelah 500 tahun kehadiran gereja Katolik di bumi pertiwi baru kali ini kita mulai menggunakan produk lokal untuk kebutuhannya.