Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Tak mudah menemukan kejelasan nasib para peserta aksi demonstrasi bertajuk #ReformasiDikorupsi yang ditahan polisi. Pengacara LBH Jakarta Arif Maulana bercerita bahwa dirinya dan rekan-rekan advokat yang tergabung dalam Tim Advokasi Aliansi Masyarakat Untuk Keadilan dan Demokrasi harus berulang kali menyisir kantor polisi di Jakarta sekadar mengetahui lokasi para klien.
Polisi, kata dia, tak transparan memberikan data tahanan, bahkan saat surat kuasa dari keluarga sudah ada di tangan para advokat. “Mereka (polisi) enggak mau (bantu) cari. Saya kemudian tanya ke humas, tapi humas enggak tahu apa-apa,” kata Arif.
Tim Advokasi Aliansi Masyarakat Untuk Keadilan dan Demokrasi ini sengaja dibentuk oleh beberapa ormas dan LSM untuk mendampingi demonstran yang ditangkap ketika dan pasca demonstrasi #ReformasiDikorupsi pada rentang 24, 25, 26, dan 30 September 2019 lalu.
Sebanyak 390 pengaduan dari seluruh Indonesia terkait penangkapan selama aksi protes berlangsung masuk ke tim advokasi tersebut.
Selain LBH Jakarta, tim ini terdiri atas LBH Pers, KontraS, LBH Masyarakat, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, PP Muhammadiyah, Institute for Criminal Justice Reform, dan Lokataru.
Keterbukaan data hanya salah satu dari sekian masalah yang ditemukan tim ini selama melakukan advokasi. Mereka juga menemukan masalah penangkapan asal-asalan, kesalahan prosedur, hingga penyiksaan di tahanan.
“Mayoritas pengaduan yang masuk isinya adalah pengeroyokan,” kata Rivanlee Anandar, advokat dari lembaga KontraS. Laporan ini mengalir deras di tangan tim advokasi tapi polisi enggan memberikan komentar lebih lanjut.
“Terima kasih,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Argo Yuwono, Jumat (18/10) di Polda Metro Jaya ketika ditanya soal prosedur penanganan polisi terhadap warga yang ditangkap pasca aksi demonstrasi .
Berikut petikan perbincangan kumparan dengan Arif Maulana di kantor LBH Jakarta dan Rivanlee Anandar dari KontraS yang dilakukan secara terpisah terkait penanganan polisi terhadap warga yang ditangkap selama aksi protes di DPR berlangsung.
Bagaimana dimulainya proses pendampingan yang dilakukan aliansi?
Arif: Tanggal 23 September mulai ada aksi mahasiswa. Kemudian tanggal 24 September kejadian aksi besar di mana memang pada saat itu hari tani ya. Banyak elemen masyarakat sipil turun. Enggak hanya mahasiswa tapi juga petani, nelayan, buruh, ditambah yang kita tidak duga, pelajar.
Kemudian banyak terjadi penangkapan-penangkapan. Standarnya LBH Jakarta itu memang setiap kali ada aksi, kami pasti dimintai bantuan hukum oleh aliansi yang melakukan aksi. Banyak permohonan masuk ke kami.
Untuk aksi kemarin, kami berpikir bahwa ini tidak mungkin kami sanggup melakukan bantuan hukum dengan jumlah massa, estimasi yang sudah dihitung kan besar. Maka kemudian kita membentuk Tim Advokasi Aliansi Masyarakat Untuk Keadilan dan Demokrasi.
Kurang lebih sekarang sudah diterima, per 3 Oktober, itu datanya 390 pengaduan dari seluruh Indonesia. Kita tidak hanya batasi di Jakarta tapi dari seluruh indonesia.
Rivanlee: 390 aduan ini kemudian kita konfirmasi. Model konfirmasinya itu pertama kita hubungi nomor-nomor yang mengadu ke KontraS. Terus kita tracking nama-nama mereka melalui media sosial. Jadi yang bisa melaporkan ke KontraS adalah saksi di lapangan, orang ketiga, ataupun korban itu sendiri. Memang 390 orang itu tidak semuanya mengangkat telepon. Tidak semuanya memberikan konfirmasi. Mereka mengisi pengaduan kemudian ditinggal.
Bagaimana aliansi memverifikasi aduan?
Arif: Polda itu kan menangkap banyak. Mereka ada di Divisi Kriminal Umum (Krimum), Kriminal Khusus (Krimsus), Reserse Mobil (Resmob), Keamanan Negara (Kamneg), Kejahatan dan Kekerasan (Jatanras), tersebar mereka. Jadi kita itu itu harus nanya ke satu nih, Di Krimum misalnya, ini saya ceritakan pengalaman saya. Saya ke Krimum, saya meminta informasi dulu, siapa saja yang ditangkap semalam. Kemudian saya tanya identitasnya. Sudah tuh.
Saya tunjukin surat kuasa. Saya adalah kuasa hukum dari keluarga. Keluarga memberi kuasa kepada kami untuk ketemu sama si A. Mereka enggak mau nyariin. Terus tanya ke humas, tapi humas enggak tahu apa-apa. Kemudian ke Resmob, ke mana mana, dan hampir selalu begitu jawabannya.
Pada tanggal 26 malam atau sore Komnas HAM datang, 26 sore itu saya bareng Komnas HAM. Komnas HAM saja enggak bisa bertemu. Tidak ada alasan. dijawabnya ini kewenangan kepolisian. Jadi ini kewenangan kapolda.
Rivanlee: Di unit Polda, itu kan ada beberapa unit, ditempel tuh nama-namanya. Nah sayangnya dia tidak update. Sementara tim hukum juga terus melaporkankan. Ini ada nama-namanya. Terus kita coba verifikasi, beberapa ada dalam daftar dan beberapa tidak ada.
Yang tidak ada ini kita update-nya susah. Karena dia menempelnya (cuma) yang ditangkap tanggal sekian. Terus nggak di-update, apakah dia sudah bebas tanggal 25-26 atau 27 atau kayak gimana.
Apa saja temuan aliansi selama melakukan upaya advokasi?
Arif: Polisi mengatakan pada tanggal 25 September itu ada 94 orang di Polda, 49 orang di Polres Jakarta Barat. Terakhir tanggal 30 September mereka bilang, total semuanya di DKI Jakarta ada 1489 atau kurang lebih 1500 lah. Nggak ada berapa jumlah yang jelas. Ini identik dengan temuan kami.
Kemungkinannya teman-teman yang diadukan ke kami ini pengaduannya pasti dibilang hilang. Tidak kembali ke rumah, tidak kembali ke sekolah, tidak kembali ke kampus, atau tidak kembali ke komunitasnya. Kemungkinannya ada tiga, pertama adalah ditangkap polisi, kemudian yang kedua adalah dirawat di rumah sakit karena cedera sakit atau butuh pertolongan medis yang darurat.
Yang ketiga hilang gak tahu ke mana. Kita kan tentu berharap jangan sampai peristiwa Orde Baru terjadi, orang hilang tidak ada kejelasan dan tidak ada statusnya ke mana. Makanya kemudian tim advokasi ini mulai tanggal 24 malam sampai hari ini masih keliling ke Polda dan Polres, meskipun intensitasnya mulai menurun.
Temuan menarik lainnya, banyak juga warga sipil yang lain seperti karyawan yang melintas di sekitar situ, pedagang kaki lima, terus kemudian ada juga masyarakat yang ada di sekitar tempat kejadian aksi ikut mengadu ke kami.
Rivanlee: Mayoritas pengaduan yang masuk isinya adalah pengeroyokan, dampak dari gas air mata, terus penganiayaan serta penangkapan semena-mena. Itu sampai tanggal 3 Oktober dari kita akumulasi dari aksi tanggal 23-30, model-model itulah yang kita temukan. Kondisi luka-lukanya ada yang ditembak oleh peluru karet.
Bahkan yang kesulitan lagi adalah dia orang ketiga. Dia enggak ikut aksi, dia hanya tahu dari media sosial, akhirnya dia laporkan itu. Jadi kita di form itu menyediakan kolom bukti yang dikirimkan itu hanya screenshot media sosial. Itu yang membuat kita sering sulit.
Terus juga ada pelemparan batu dari kepolisian. Terus ada yang belum diketahui penyebabnya, penuh dengan luka-luka.
Sejauh pengamatan apakah polisi sudah secara tepat menangani mereka yang ditangkap?
Arif: Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana keluarga itu berhak untuk bertemu anggota keluarganya ketika dia ditangkap atau ditahan. Namun kenyataannya anggota keluarga enggak bisa bertemu.
Kemudian akses bantuan hukum. mereka ini kan berhak didampingi oleh kuasa hukum baik statusnya sebagai saksi atau bahkan ketika dia kemudian ditetapkan sebagai tersangka. Ketika dia ditangkap pun dia berhak atas pendampingan hukum. ini juga akses bantuan hukum dihalang-halangi, tidak boleh kita tim advokasi ini masuk memberikan bantuan hukum. Itu temuannya.
Lalu, polisi ini betul-betul melanggar hukum dengan melakukan penangkapan sewenang-wenang. Contohnya bagaimana? Ini orang-orang ditangkap enggak jelas alasan penangkapannya, statusnya apa, dan tidak ada surat penangkapan yang diberikan kepada mereka atau keluarganya. Padahal itu kewajiban sesuai dengan hukum. Makanya saya berani bilang ini melanggar. Terus kemudian yang berikutnya lagi adalah dugaan penyiksaan, kekerasan, penganiayaan, penyiksaan sampai arahnya penyiksaan itu terjadi.
Ya ini informasi publik. Setiap orang yang dilakukan penangkapan, polisi wajib memberikan surat penangkapannya ke keluarga. Ini kan sebetulnya proses penegakan hukum ya. Kalau memang betul harus penegakan hukum, kan harus ikut beracaranya. Penegakan hukum itu di Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Di situ jelas, kalau orang dilakukan penangkapan, entah itu tertangkap tangan atau karena sudah ada tuduhan dulu, dia diduga melakukan tindak pidana, misal pencurian, ada surat perintah penangkapan lalu ditangkap.
Ini kan nggak. Teman-teman ini ditangkap gitu aja karena sesudah aksi demonstrasi , mereka membubarkan diri kemudian ditangkap kembali, kayak begitu. Jadi, tidak ada alasan yang sah menurut saya yang disampaikan. Alasannya hanya, ini kewenangan kepolisian, terkesan arogan polisi itu.
Sejauh pengamatan aliansi, apakah masih ada warga yang ditahan sampai saat ini?
Arif: Masih ada dan kami sifatnya harus door to door ke Polres, ke Polda. Misalkan ini sekarang ini di Jakarta Barat kami mendata, ini data kami, ada 11 orang masih ditahan di sana. Terus di Polda kami masih belum firm berapa, tapi misalkan nih pelajar yang masih anak-anak itu di Cipayung di LPAS (Lembaga Penempatan Anak Sementara) Handayani itu ada kurang lebih tujuh anak. Jadi ya sifatnya kami harus tanya satu per satu.