Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Lubuk Larangan: Upaya Melestarikan Ikan Jurung, Hidangan Favorit Raja-raja Batak
22 Maret 2024 10:00 WIB
·
waktu baca 11 menitDiperbarui 1 Juli 2024 15:49 WIB
Siapa sangka, di sungai dengan lebar sekitar 7 meter di bawah jembatan lintas Sibolga-Padang Sidempuan itu hidup beraneka ragam ikan. Salah satunya, ikan jurung , yang jadi kebanggaan warga Kecamatan Batangtoru, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.
"Mungkin di Jawa (ikan di sungai pinggir jalan) sudah habis diambil orang yang melintas," kelakar Risman saat berbincang dengan kumparan beberapa waktu lalu.
Sungai Desa Garoga menjadi salah satu contoh sungai di Batangtoru yang menerapkan kearifan lokal bernama lubuk larangan .
Kemendikbud mencatat lubuk larangan sebagai warisan budaya tak benda yang berkaitan dengan lingkungan. Lubuk larangan adalah sebuah area tertentu di sungai yang disepakati masyarakat bersama lembaga adat untuk ditebar bibit ikan.
Namun, dilarang untuk diambil ikannya selama periode tertentu. Kearifan lokal ini berkembang di daerah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi dan Riau.
Sekali merengkuh dayung, dua, tiga pulau terlampaui. Itulah yang ingin dilakukan warga Desa Garoga melalui lubuk larangan.
Risman yang menjabat Kepala Desa Garoga ini mengatakan, lubuk larangan memberi pengertian sederhana kepada warga bahwa untuk menjaga ikan tetap hidup di sungai, maka kondisi sungai harus bersih. Mau tak mau warga juga harus menjaga kelestarian sungai dan lingkungan sekitarnya.
"Sebenarnya ini lubuk larangan kami buat atas kehendak masyarakat untuk menjaga ikan sekaligus lingkungan. Dulu di tahun 2000 ini belum kita buat lubuk larangan. Dan masyarakat kita susah dapatkan ikan (di sungai)," cerita Risman.
"Nah, setelah kami musyawarah bersama masyarakat desa, BPD, LPMD, dan seluruh karang taruna, mereka sepakat bersama kepala desa membuat wilayah aliran sungai Garoga ini menjadi lubuk larangan," imbuh Risman.
Upaya tersebut juga berkaitan dengan peran sungai yang bersih sebagai sumber kehidupan warga. Warga Garoga hingga kini masih bergantung pada sungai untuk aktivitas sehari-hari. Sebut saja mencuci, mandi, hingga sumber air untuk memasak.
Atas kondisi itu, dibuatlah peraturan desa (perdes) terkait lubuk larangan. Perdes ini mengatur kewajiban warga menjaga kebersihan sungai hingga larangan menangkap ikan dengan segala bentuk cara selama periode yang telah ditentukan. Alhasil, konsep itu berhasil menggugah kesadaran masyarakat soal pelestarian lingkungan.
"Ya alhamdulillah masyarakat itu sangat senang dan antusias. Karena mereka sama-sama menjaga sungai dan ikan, tidak ada yang berani berbuat curang. Sehingga ini (lubuk larangan) menjadi ikon juga untuk Tapanuli Selatan," papar Risman.
Hubungan Ikan Jurung dan Masyarakat Batak
Dari sekian banyak bibit ikan yang ditebar di sungai, ada ikan nila, ikan mas, dan yang paling banyak ikan jurung. Ikan jurung menjadi satwa endemik perairan Sumatera, yang tersebar dari Aceh, Sumatera Utara, hingga Riau dan Jambi.
Karakteristik ikan jurung seperti ikan salmon, menghuni kawasan hulu sungai dengan arus sedang-deras dan jernih. Pakar ilmu perikanan dan ekosistem perairan dari UGM, Prof. Dr. Ir. Djumanto, M.Sc, menjelaskan ikan jurung membutuhkan lingkungan terbatas dengan kondisi yang bersih untuk hidup.
“Kondisi lingkungannya spesifik, membutuhkan daerah yang dingin, suhunya kisaran di bawah 26 derajat, 26 sampai 16 derajat. Itu kan berarti di daerah hulu apa di atas. Nah daerah atas itu otomatis kualitas airnya masih bagus, yang berikutnya kandungan oksigennya bagus di situ, pencemarannya juga sangat sedikit karena masih di di hulu. Itu habitat yang dia butuhkan,” ujar Prof Djumanto kepada kumparan.
Di masyarakat Batak, ikan jurung menjadi primadona dengan nilai ekonomi yang tinggi. Sebab dalam sejarah masyarakat Batak, ikan bernama latin Neolissochilus sumatranus (Cyprinidae) ini kerap menjadi hidangan raja.
“Kalau di Batak sana itu kan untuk upacara keagamaan ya. Upacara raja-raja. jadi kalau zaman dulu nih ceritanya kalau ada acara apa, acara kebesaran kerajaan, itu ikan harus ada (disajikan), ini yang buat mahal,” papar Djumanto.
Camat Batangtoru Mara Tinggi membenarkan informasi yang disampaikan Djumanto itu. Ikan jurung telah hidup berdampingan dengan masyarakat Batak sejak dulu.
"Makanya ikan jurung disebut juga ikan raja karena dulu hanya raja-raja saja yang memakannya, sekarang banyak masyarakat yang menjaga kelestariannya karena cukup mahal," ujar Mara kepada kumparan.
Mara mengacungkan jempol untuk Desa Garoga yang berhasil menerapkan lubuk larangan sebagai upaya pelestarian ikan jurung sekaligus menjaga kebersihan sungai.
Bahkan, Desa Garoga dinobatkan Pemprov Sumut sebagai juara 2 Lingkungan Bersih Sehat pada lomba Hari Keluarga Nasional (Harganas) 2023.
"Lubuk larangan ini kan merupakan local wisdom yang mana masyarakat membersihkan, menjaga kebersihan termasuk sungai, itu salah satunya dengan lubuk larangan. Di mana ikan jurung ini suka dengan air yang bersih, tidak suka dengan air yang kotor," jelas Mara.
Selain Desa Garoga, lubuk larangan juga diterapkan di sungai desa-desa lain di Batangtoru, seperti Batu Horing, Aek Ngadol, Sitinjak, Sumuran, hingga Sipenggeng.
Multiplier Effect Lubuk Larangan
Lubuk larangan diterapkan tak selamanya, hanya selama periode tertentu. Warga pada akhirnya bisa memanen ikan jurung dan ikan-ikan lain di sungai. Biasanya menjelang lebaran atau perayaan hari besar.
"Untuk dua tahun, tiga tahun kemarin ini, kita hanya buka sekali setahun. Itu saat seminggu lebaran. Kenapa kami buat demikian? Banyak saudara-saudara yang pulang kampung. Sehingga mereka bisa menikmati ikan yang tadinya sudah tidak terlihat di Sungai Garoga ini. Sehingga mereka setiap lebaran ada minat untuk pulang kampung," jelas Kepala Desa Garoga, Risman Rambe.
Ketika lubuk larangan dibuka, pemerintah desa akan menggelar acara memancing bersama. Warga desa setempat atau luar daerah yang ingin ikut bisa membeli tiket memancing seharga Rp 100 ribu. Jika sudah memiliki tiket, bisa memancing sepuasnya.
Risman mengaku dengan adanya event itu, Desa Garoga bisa meraup untung hingga Rp 30 juta. Keuntungan itu didapat hanya dari menjual tiket memancing.
"Kalau yang dapat untung dari jual ikan jurung ya biasanya si warga pemancing, mereka bisa jual di pasar, kan ini juga bisa menambah pendapatan warga, kalau jualan karcis bisa menambah kas desa," terang Risman.
Menurut Risman, selama lubuk larangan dibuka, ikan di Sungai Garoga tak habis begitu saja. Bahkan, warga masih bisa mengkonsumsi ikan ini lewat acara masak-masak dan makan bersama di pinggir sungai, sebagai wujud rasa syukur.
"Fresh langsung ditangkap dari sungai, langsung dimasak di pinggir. Jadi suasananya seru dan meningkatkan kekompakan warga dari kegiatan itu," ungkap Risman.
Selain menjaga kelestarian ikan jurung dan kebersihan sungai, lubuk larangan menambah multiplier effect berupa peningkatan ekonomi warga dan desa melalui acara memancing. Risman pun mendorong agar lubuk larangan bisa menjadi ekowisata, meningkatkan daya tarik wisata ke Desa Garoga.
"Banyak masyarakat yang luar daerah ini sering berkunjung ke mari. Sehingga ada (warga) yang jual makanan ikan ini, dibikin di plastik-plastik kan, dijual Rp 5 ribu per bungkus. Melewati wilayah ini sambil menikmati, melihat ikan, anak-anak juga senang," terang Risman.
Selain itu, Risman berharap ikan jurung dari sungai di desanya bisa menjadi komoditas ekspor seperti ikan segar lainnya. Pasalnya, nilai jual ikan jurung cukup tinggi hingga Rp 1 juta per kilogram dalam kondisi hidup atau segar.
“Ikan ini kan mahal harganya, jadi kalau bisa diekspor, jadi ikan lokal yang dibudidaya dengan lubuk larangan juga bisa dijual hingga luar negeri, menambah pendapatan desa dan daerah juga kan,” harap dia.
Harapan Risman soal potensi ekspor ikan jurung dilihat pakar perikanan UGM, Prof Djumanto, sebagai hal yang masuk akal. Sebab menurutnya, permintaan ikan jurung di pasar lokal dan internasional cukup tinggi meski dengan harga mahal, karena ketersediaannya yang terbatas dan masih minimnya pembudidayaan.
“Permintaan ikan segar Indonesia seperti ikan jurung di luar itu sangat tinggi. Menyebabkan harganya mahal, permintaan ekspor sampainya jadi berapa pun diterima. Tapi kita tidak bisa menyediakan gitu loh sehingga eksklusif gitu,” kata dia.
Salah satu negara tujuan ikan jurung dan ikan segar lainnya adalah negara tetangga Malaysia. Di Malaysia ikan jurung bisa mencapai harga Rp 750 ribu-Rp 1 juta per kilogram.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Malaysia memang menjadi negara pertama tujuan ekspor ikan segar hasil tangkapan dari perairan Indonesia selama 1 dekade belakangan dengan jumlah yang meningkat setiap tahunnya.
Pada 2022, jumlah ikan segar yang diekspor ke Malaysia mencapai lebih dari 31,5 ribu ton diikuti Singapura sebanyak 14,5 ribu ton.
Kemudian Jepang sebagai negara dengan masyarakat penggemar ikan mentah di posisi ketiga. Jumlah ikan segar Indonesia yang diekspor masih sedikit, hanya 1,4 ribu ton.
“Potensi ekspor ini yang perlu diperhatikan pemerintah, bahwa ikan jurung juga bisa masuk ke sana,” papar Djumanto.
Pantangan Selama Diberlakukannya Lubuk Larangan
Meski lubuk larangan memberi manfaat berganda, namun warga harus memperhatikan pantangan selama lubuk larangan diberlakukan. Sesuai namanya "lubuk larangan", warga dilarang menangkap ikan di sungai hingga waktu panen yang telah disepakati atau ketika ikan sudah besar.
Selain itu, warga juga dilarang membuang sampah di sungai selama lubuk larangan diterapkan, namun aktivitas seperti mencuci dan mandi di sungai masih diperbolehkan. Hal ini diatur dalam perdes lubuk larangan. Risman menjelaskan, apabila ada warga atau orang dari luar daerah yang melanggar, maka ada sanksi berupa denda yang diberikan.
"Di dalam perdes itu (diatur), misalnya ada yang menangkap ikan itu nanti kalau warga disuruh bayar Rp 5 juta, kalau panitia lubuk larangan Rp 10 juta, makanya warga itu kompak terutama dalam menjaga," jelasnya.
"Kalau enggak ada kekompakan di masyarakat ini kan bisa kacau. Ada yang berniat jahat untuk mengambil, sehingga dia takut karena kekompakan itu," tegas Risman.
Terkait pengawasan kebersihan sungai, Risman memastikan pihaknya bersama warga selalu rutin menggelar aksi bersih-bersih.
"Oh iya ada itu kami setiap Jumat bersih. Tapi kami coba kadang memberikan batas, misalnya Jumat ini ke Lorong 1 (lingkungan RT 1 -red), Jumat depan ke Lorong 2, dan seterusnya untuk aliran sungai ini dan setiap lorong itu bertanggung jawab untuk mengkoordinir lingkungan masing-masing," papar dia.
Prof Djumanto sependapat dengan upaya yang dilakukan pemerintah Desa Garoga. Menurut dia, larangan membuang sampah di sungai selama lubuk larangan adalah wujud edukasi yang bagus untuk mendorong kesadaran masyarakat tentang menjaga lingkungan sesuai kearifan lokal.
"Kalau di daerah itu ada lubuk larangan, orang-orang akan berpikir ulang untuk menangkap ikan dengan alat-alat yang tidak ramah lingkungan. Itu karena masyarakat aktif menjaga," terang dia.
Kolaborasi Melestarikan Lubuk Larangan
Upaya pelestarian lubuk larangan membutuhkan kerja sama antara pemerintah, warga, akademisi, hingga pihak-pihak yang menaruh perhatian pada kelestarian lingkungan.
Kolaborasi inilah yang dilakukan PT Agincourt Resources (PTAR), pengelola Tambang Emas Martabe di Batangtoru dengan para pemangku kepentingan di wilayah sekitar operasionalnya.
Senior Manager Community PTAR Christine Pepah memastikan pihaknya selalu menggaungkan dan mengajak warga sekitar tambang untuk bersama-sama melestarikan lingkungan, termasuk lewat kearifan lokal lubuk larangan. Misalnya, melakukan penebaran bibit ikan di sungai Desa Garoga, Aek Ngadol, Batuhoring, hingga Sipenggeng.
"Kalau khusus di daerah Sumatera Utara ini, khususnya di lingkar kami di Kecamatan Batangtoru, itu yang kami lepas itu adalah ikan mas dan ikan jurung," terang Christine kepada kumparan saat aksi bersih lingkungan di Desa Aek Ngadol.
"Di Aek Ngadol pada Agustus dan September 2023 kami melepas sekitar 7.000 bibit ikan jurung dan sekitar 1.600 bibit atau sekitar 200 kilogram lah ikan mas, tapi lubuk larangan kami sebelumnya sudah pernah (menebar bibit) dulu di Desa Garoga, dulu sudah pernah," rinci dia.
Selain menebar bibit ikan, PT Agincourt Resources mengajak warga menanam pohon di sekitar sungai lubuk larangan.
"Besar harapan kami bahwa kearifan lokal seperti lubuk larangan ini bisa terus dilestarikan karena memang nilai-nilai budaya itu sangat mendukung kelestarian alam, yang sejalan dengan visi-misi PTAR untuk melestarikan lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati," pungkas Christine.
Upaya yang dilakukan PTAR ini pun diapresiasi warga. Camat Batangtoru Mara Tinggi menilai warga merasa terbantu dengan adanya penebaran bibit ikan di sungai.
"Jadi di dalam lubuk larangan tersebut kita juga bekerja sama dengan PTAR, kami yang mengajukan proposal sehingga dan disetujui. Pada 2021 kemarin, kita ada pelepasan ikan jurung sebanyak 13.000 bibit di Sungai Garoga," jelas Mara.
Sementara Kepala Desa Garoga Risman Rambe merasa warga terbantukan dari segi ilmu soal pelestarian lingkungan yang diberikan PTAR. Warga meyakini bahwa lingkungan hidup yang bersih, maka penghuninya sehat.
"Karena masyarakat kampung ini masih kurang paham tentang lingkungan. Nah, setelah perusahaan ini mengadakan pertemuan-pertemuan tentang pelestarian lingkungan, kami sangat senang. Dan semua masyarakat butuh itu. Karena pada saat ini juga kan kita tahu bahwa bumi ini makin panas. Nah, sehingga masyarakat menerima program PTAR itu," papar Risman.
Sementara itu, Prof Djumanto menilai kolaborasi dalam menjaga kelestarian lingkungan yang tercipta di Batangtoru dapat meningkatkan kualitas lubuk larangan.
Jika ditemukan tanda-tanda kualitas air yang menurun akibat pencemaran, maka pihak-pihak yang berkolaborasi tersebut bisa bersama-sama mengedukasi masyarakat sebagai langkah preventif maupun mengupayakan langkah-langkah meminimalisasi pencemaran secara cepat.
Ia juga berharap kearifan lokal soal lingkungan seperti lubuk larangan bisa diterapkan di daerah lain sebagai wilayah perlindungan satwa endemik.
“Jadi artinya kalau ada tempat tempat baru, misalnya nih di suatu tempat kok di situ ditemukan banyak ikan yang dilindungi, di situ berpotensi untuk dibuat sebagai sanctuary, daerah perlindungan secara kearifan lokal,” pungkas Djumanto.