Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Enam sertifikat tanah milik mendiang ibunda aktris Nirina Zubir mendadak berubah nama. Tanah-tanah itu dibalik nama jadi milik sang asisten rumah tangga, Riri Khasmita, dan suaminya, Edrianto. Riri lantas menjual sebagian tanah di Jakarta itu kepada pihak ketiga, sedangkan sebagian lainnya ia agunkan ke bank. Alhasil, keluarga Nirina merugi hingga Rp 17 miliar.
Riri dan Edrianto kini telah ditahan. Mereka ditetapkan menjadi tersangka dugaan penggelapan sertifikat tanah bersama tiga orang notaris dan pejabat pembuat akta tanah (PPAT). Dalam kasus yang diduga melibatkan mafia tanah ini, polisi menduga ada pihak lain yang juga terlibat.
Mafia tanah juga menjerat Zurni Hasyim Djalal, ibunda eks Wakil Menteri Luar Negeri Dino Patti Djalal, yang sertifikat tanahnya berpindah tangan tanpa proses jual beli.
Bermula saat Zurni hendak menjual rumahnya di Jakarta Selatan, ada calon pembeli menghubunginya, mentransfer uang tanda jadi, lalu mengirim orang untuk meminjam sertifikat tanah Zurni guna dicek keasliannya ke BPN.
Zurni menyerahkan sertifikat itu tanpa curiga, dan tanpa sepengetahuannya sertifikat tersebut dibalik nama dan dijual kepada pihak ketiga alih-alih dicek ke BPN. Dalam kasus ini, polisi menetapkan 15 tersangka.
Di Makassar, lahan 30 sekolah yang terdaftar sebagai aset pemerintah kota digugat oleh sejumlah pihak. Satu di antaranya yang digunakan oleh SD Inpres Pajjaiang bahkan sudah dimenangkan oleh penggugat atas nama Hj. Sitti, dkk dan berkekuatan hukum tetap. Gugatan ini tak pelak membuat puluhan sekolah terancam tutup.
Tak cuma 30 sekolah, tujuh aset pemerintah di Makassar juga digugat lahannya. Ini termasuk jalan tol, pelabuhan, masjid, hingga sebagian lahan Universitas Hasanuddin. Gugatan tersebut, menurut Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, setidaknya mencakup sepertiga luas Kota Makassar.
Wali Kota Makassar Danny Pomanto menduga ada keterlibatan mafia tanah yang bekerja sama dengan orang dalam pada gugatan-gugatan tersebut.
Di Cakung, Jakarta Timur, tanah seluas 7,7 hektare jadi sengketa di pengadilan. Tanah itu sejak 1974 merupakan milik adat dan dikuasai oleh keluarga Tabalujan, kemudian pada 2008 beralih sertifikat hak milik (SHM) atas nama Benny Simon Tabalujan.
Menyitir situs Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR), keluarga Tabalujan memasukkan aset tanah tersebut sebagai modal perusahaannya atau inbreng ke PT Salve Veritate pada 2011. Maka di tahun tersebut, SHM diturunkan jadi 20 dan dipecah jadi 38 sertifikat hak guna bangunan (SHGB).
Pada 2017, seseorang bernama Abdul Halim sempat mengajukan pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL) atas lahan PT Salve Veritate tersebut, tetapi ditolak BPN. Setahun kemudian, 2018, Abdul Halim melayangkan gugatan atas penolakan itu ke PTUN.
Namun saat sengketa belum diputus pengadilan, Kanwil BPN DKI Jakarta tiba-tiba membatalkan 20 SHM berikut turunannya yang mencakup 38 SHGB. Setelahnya, terbit SHM No. 4931/Cakung Barat atas nama Abdul Halim. Tanah itu lalu dialihkan kepada pihak ketiga, Harto Kusumo.
Kasus ini belakangan membuat delapan pegawai BPN, satu pensiunan pegawai BPN, dan Lurah Cakung Barat ditetapkan sebagai tersangka. Mereka diduga bekerja sama dengan mafia tanah.
Sejak Orde Baru
Juru Bicara Kementerian ATR/BPN, Taufiqulhadi, mengatakan kasus-kasus yang melibatkan mafia tanah sudah berlangsung sejak Orde Baru. Saat itu, pemerintah gencar membangun infrastruktur sehingga tanah menjadi bernilai.
Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 1997 tentang Koordinasi Pengembangan Kawasan Jonggol sebagai Kota Mandiri yang diteken Soeharto, misalnya, dijadikan momentum oleh mafia tanah. Keppres itu seolah-olah mendukung isu bahwa Jonggol akan menjadi ibu kota baru yang ketika itu sempat ramai dibicarakan.
Alhasil, lahan di Jonggol yang sebagian besar merupakan hutan dan sawah tiba-tiba jadi melejit harganya. Ini gara-gara ulah spekulan tanah.
“Yang melakukan spekulasi tanah tersebut ya mafia [tanah] dari Jakarta. Jadi mafia tanah sudah ada sejak waktu itu,” kata Taufiqulhadi kepada kumparan di kantor Kementerian ATR/BPN, Rabu (22/12).
Meski pada masa itu belum ada sebutan mafia tanah, praktik penguasaan atau penyerobotan tanah yang terjadi sama seperti sekarang. Taufiqul lantas mendefinisikan mafia tanah sebagai: kekuatan yang bisa menggerakkan pihak berwenang untuk bertindak atas perintahnya dan membentuk jaringan.
Jaringan yang dibikin mafia tanah di antaranya ada di Kementerian ATR/BPN, lembaga penegak hukum, dan pemerintahan desa hingga kecamatan. Ini pula yang terjadi pada kasus lahan 7,7 hektare di Cakung yang membuat delapan pegawai BPN dan seorang lurah menjadi tersangka.
“Semuanya [yang terlibat] adalah orang berwenang yang digerakkan oleh dia [mafia tanah] untuk kepentingan dia, dengan melawan hukum lewat kekuatan uang jasa penguasaan tanah,” ujar Taufiqulhadi.
Modus Operandi
Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan, kasus mafia tanah seperti yang menjerat ibunda Dino Patti Djalal banyak terjadi di Indonesia, dengan jumlah mencapai ribuan. Sementara Kementerian ATR/BPN mengatakan bahwa Satgas Anti Mafia Tanah dari 2018 sampai Juni 2021 telah menangani 242 kasus.
Di sisi lain, Panitia Kerja Pemberantasan Mafia Tanah Komisi II DPR sepanjang 2021 saja menerima 4.358 pengaduan kasus tanah yang sebagian besar melingkupi sengketa kepemilikan lahan dengan mafia tanah.
Modus yang digunakan mafia tanah untuk merebut lahan orang itu bermacam-macam. Salam satunya, menurut Plt. Kepala Dinas Pertanahan Kota Makassar, Ahmad Nansum, adalah mengeklaim bahwa tanah tersebut merupakan hak warisnya sehingga ia kemudian menggugatnya ke pengadilan.
“Herannya kami, karena ada beberapa [tanah] yang dia menangkan, akhirnya fasilitas umum atau fasilitas sosial itu lepas,” kata Ahmad kepada kumparan.
Sebagian gugatan tanah di Makassar muncul terhadap fasilitas kota yang belum memiliki alas hak—sebagai syarat pengajuan permohonan hak atas tanah—meski fasilitas itu tercatat sebagai aset pemerintah kota yang didapat dari pembebasan lahan atau hasil hibah. Oleh sebab itu, Pemkot Makassar tengah mengupayakan sertifikasi atas lahan-lahan tersebut agar mafia tanah tak lagi menggugatnya.
Walaupun begitu, mafia tanah bisa juga menggugat tanah yang sudah bersertifikat. Salah satu modus yang acap digunakan adalah dengan membikin girik palsu.
Girik yang digunakan sebagai tanda pembayaran pajak tanah pada era kolonial itu sesungguhnya sudah tak lagi menjadi bukti hak kepemilikan tanah. Pada 1993, Dirjen Pajak Karsono Surjowibowo menerbitkan Surat Edaran bernomor SE-15/PJ.6/1993 yang mengatur larangan penerbitan girik dan sejenisnya.
Penerbitan girik dapat menimbulkan masalah bila kemudian digunakan individu atau lembaga sebagai bukti hak atas tanah. Padahal yang dianggap bukti hak atas tanah ialah surat pajak bumi yang diterbitkan sebelum 24 September 1960 sesuai Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 Tahun 1961 Jo. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 26/DDA/1970.
Taufiqulhadi menjelaskan, blangko girik yang tak lagi digunakan itu sempat menumpuk di Kementerian Keuangan. Persoalannya, blangko tersebut kemudian dicuri dan digunakan oleh mafia tanah untuk melancarkan modusnya: membikin girik palsu dan menggugat lahan ke pengadilan dengan klaim ia adalah pewaris tanah itu.
“[Girik] kemudian dibawa ke kepala desa. Kepala desa mengatakan, ‘Oh, ini benar yang asli’. Karena ada pengakuan kepala desa, maka [gugatan] dimenangkan oleh pengadilan. Maka hilanglah tanah orang,” terang Taufiqulhadi.
Untuk mengeklaim tanah sebagai warisan nenek moyang, salah satu modus yang digunakan ialah berbekal eigendom, yakni hak atas tanah yang berlaku pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Ini adalah hak milik dalam pengaturan tanah barat.
Padahal, menurut Taufiqulhadi, hak itu sudah tak berlaku lagi sejak Undang-Undang Pokok-Pokok Agraria dibentuk pada 1960. UU yang mengatur pertanahan di Indonesia ini mengharuskan pemilik hak barat untuk melaporkan dan mengonversikan tanahnya.
Jika suatu tanah tak ada yang melaporkan kepemilikannya, maka tanah itu akan diambil negara. Adapun jika ada laporannya, maka tanah itu akan dikuasai masyarakat. Pelaporan ini berlangsung dengan tenggat hingga tahun 1980. Setelahnya, hak itu tak berlaku.
“Sekarang ini problemnya mafia. Dia mengatakan [tanah] ada eigendomnya, lantas dia ahli warisnya, kemudian dibawalah [gugatan atas tanah itu] ke pengadilan. Pengadilan dibayar [mafia], dari pengadilan negeri sampai ke Mahkamah Agung, dimenangkan semua eigendom itu,” kata Taufiqulhadi, menuturkan contoh kebobrokan sistem yang dicengkeram mafia tanah.
Menurut Staf Khusus Menteri ATR/Kepala BPN Bidang Penyelesaian Sengketa dan Konflik Tanah dan Ruang, Irjen Pol. Hary Sudwijanto, sejumlah modus mafia tanah lainnya ialah:
Waspada Mafia Tanah
Menilik kasus yang sudah-sudah, masyarakat harus waspada terhadap gerak-gerik mafia tanah. Lahan yang rawan diincar mafia tanah adalah lahan yang tidak dikuasai atau tak ada aktivitas di atasnya.
Mafia tanah juga mengincar tanah-tanah luas yang berada pada posisi strategis, misalnya tanah yang akan dilewati jalan tol atau proyek infrastruktur lain.
“Mafia sudah ngerti bahwa tanah tersebut akan dilewati jalan tol, maka dia beli saja. Diambil saja kadang-kadang, misalnya beli Rp50 ribu per meter, lalu dijual lagi ke pemerintah nanti jadi Rp5 juta,” kata Taufiqulhadi.
Secara terpisah, Hary membeberkan bahwa terdapat sejumlah celah yang dimanfaatkan mafia tanah dalam menjalankan aksinya, antara lain terkait ketidaklengkapan data register tanah di kantor kelurahan desa hingga adanya pegawai di BPN, PPAT, dan pengadilan yang bekerja sama dengan mafia tanah.
Hary mengatakan, BPN memeriksa seluruh pegawainya yang terlibat kasus mafia tanah dengan menurunkan Inspektorat Jenderal selaku Aparat Pengawasan Intern Pemerintah.
“... dan memberi sanksi tegas berupa hukuman disiplin sesuai kesalahannya,” kata Hary kepada kumparan, Sabtu (25/12).
Sejak 2016, sudah ada 125 pegawai BPN yang terkena hukuman tersebut. Sebanyak 32 orang dihukum berat, 52 orang dihukum disiplin, dan 40 lainnya dihukum ringan.
Guru Besar Hukum Agraria Universitas Padjadjaran, Ida Nurlinda, menilai bahwa pokok masalah mafia tanah adalah orang beritikad buruk yang didukung oleh orang yang punya kewenangan. Karenanya, untuk membasmi mafia tanah, perlu penataan terhadap instansi yang punya kewenangan terkait pertanahan, yakni BPN.
“Di era Presiden Jokowi ini sudah cukup baik dalam memberantas mafia tanah, tetapi di sisi lain mereka [mafia tanah] tetap mencari celah yang lain. Saya berharap ATR/BPN jangan hanya spontanitas, jangan anget-anget tahi ayam [memberantas mafia tanah]. Ini harus jadi pekerjaan yang komprehensif dan kontinu,” ujar Ida.
Sepak terjang mafia tanah memang patut diberantas. Di Cakung, misalnya, mereka bak maling teriak maling dalam sengketa lahan seluas 7,7 hektare. Ia bukan cuma mencuri tanah orang, tapi juga menuding pemilik aslinya sebagai pencuri.