Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Kasus dugaan makar dan kepemilikan senjata api belum juga lunas menjerat Mayjen (Purn) Soenarko . Namun ia melenggang dari Rumah Tahanan Militer Guntur pada Jumat, 21 Juni 2019. Penahanannya ditangguhkan oleh Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto sekaligus Menko Kemaritiman Jenderal (Purn) Luhut Binsar Panjaitan.
Baru tiga bulan berlalu, nama Soenarko kembali menjadi sorotan. Ia kini disebut-sebut terlibat rencana huru-hara jelang pelantikan presiden yang akan berlangsung Minggu (20/10).
Setidaknya tiga tersangka dan satu pengacara tersangka dalam kasus kepemilikan bom ikan itu menyebut Soenarko punya peran penting. Mantan Danjen Kopassus itu dituding mencetuskan pembicaraan mengenai penggagalan pelantikan presiden dan pengembalian konstitusi negara kepada UUD 1945 sebelum amandemen.
Tiga tersangka yang dimaksud di atas adalah Mulyono Santoso, Laode Sugiyono, dan Okto Siswantoro. Ketiganya ditemui kumparan di Polda Metro Jaya. Sementara seorang pengacara, Ghufron, merupakan kuasa hukum dosen IPB Abdul Basith—yang juga tersangka.
Mereka menyebut pembicaraan soal gerakan membatalkan pelantikan presiden dilakukan di rumah Soenarko di Kampung Utan, Tangerang Selatan, Jumat (20/9). Hari itu, Mulyono, Sugiyono, dan Okto bertandang ke rumah Soenarko bersama rombongan 15 anggota Majelis Kebangsaan Pancasila Jiwa Nusantara (MKPN).
“Di tengah pembicaraan, Pak Soenarko bertanya, ada yang bisa bikin petasan nggak,” ucap Mulyono di tahanan Polda Metro Jaya, Rabu (9/10).
Pembicaraan soal ‘petasan’ itu berlanjut dengan pembuatan bom ikan. Sugiyono meminta bantuan kerabatnya yang asal Buton, Sulawesi Tenggara, untuk merakit bom itu.
Rencananya, bom akan diledakkan di sejumlah titik di Jakarta yang didominasi warga etnis China. Kawasan yang menjadi target itu adalah Roxy, Glodok, Kota Tua, Pasar Senen, Otista, Kelapa Gading, dan Mal Taman Anggrek.
Pada akhirnya, niat itu urung terlaksana karena keburu terendus polisi. Abdul Basith, Sugiyono, Mulyono, dan Laksma (Purn) Sony Santoso diciduk aparat dan kini dijerat pasal Undang-Undang Darurat karena melanggar aturan kepemilikan bahan peledak.
Soenarko membantah kesaksian itu. Ia tegas mengatakan, “Tak ada pembicaraan perihal bom. Pertemuan sebatas mempererat ikatan persaudaraan di antara para tamu dari berbagai komunitas.”
Lewat pesan tertulis kepada kumparan, Senin (14/10), berikut keterangan lengkap Soenarko:
Kabarnya ada pertemuan tanggal 20 September di rumah Anda. Pertemuan itu untuk membahas apa?
Benar, ada pertemuan di rumah saya pada hari Jumat, tanggal 20 September 2019, sekitar jam 20.25 WIB sampai dengan 22.30 WIB. Pertemuan tersebut untuk mempererat tali silaturahmi atau ikatan persaudaraan di antara para tamu dari berbagai komunitas maupun tokoh masyarakat, agar bisa saling mengenal satu sama lain.
Isi pertemuan tersebut menyikapi bahwa akhir-akhir ini bangsa kita, Indonesia tercinta, telah dirundung masalah, mulai dari ekonomi, sosial, politik, hukum, keamanan, degradasi moral, tindak pidana kejahatan merajalela, termasuk penistaan agama, dan perang di sosial media, sehingga mengakibatkan perpecahan antara sesama anak bangsa dan mengancam persatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ada yang menyebut bahwa dalam pertemuan itu Anda bertanya apakah ada yang bisa membuat bom. Bagaimana situasinya saat itu?
Pertemuan tersebut sebatas mempererat tali silaturahmi di antara para tamu dari berbagai komunitas. Tidak ada pembicaraan perihal bom.
Anda disebut terlibat dalam penyiapan bom yang dikelola Abdul Basith. Apa respons Anda? Dan bagaimana Anda bisa mengenal Abdul Basith?
Saya tegaskan sekali lagi bahwa tidak ada rencana (pengeboman—redaksi) semacam itu. Saya kenal Abdul Basith pertama kali dari Ibu Tri sekitar tiga bulan yang lalu. Dikatakan bahwa Abdul Basith ingin kenal dan bertemu saya untuk silaturahmi.
Anda berteman dengan purnawirawan AL Slamet Soebijanto dan Sony Santoso?
Saya kenal dengan Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto saat saya masih berdinas sebagai Tentara Nasional Indonesia, lebih kurang 10 tahun yang lalu, dan hubungan kami sebagai sesama anggota Tentara Nasional Indonesia.
Saya kenal Laksamana Muda TNI (Purn) Sony Santoso saat saya masih berdinas sebagai Tentara Nasional Indonesia, lebih kurang 10 tahun yang lalu, dan hubungan kami sebagai sesama anggota Tentara Nasional Indonesia.
Apakah Anda ikut serta dalam Majelis Kebangsaan Pancasila Jiwa Nusantara yang dipimpin Slamet Soebijanto?
Saya tidak ikut serta sama sekali dalam Majelis Kebangsaan Pancasila Jiwa Nusantara.
Kembali ke pertemuan 20 September, apakah Slamet Soebijanto, Sony Santoso, dan Abdul Basith hadir di situ?
Pertemuan di rumah saya pada hari Jumat, tanggal 20 September 2019, sekitar jam 20.25 WIB sampai dengan 22.30 WIB, dihadiri sekitar 20 orang dari berbagai komunitas maupun tokoh masyarakat. Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto tidak hadir.
Apakah pertemuan 20 September itu menyinggung Aksi Mujahid 212?
Pertemuan tersebut tidak ada kaitannya sama sekali dengan Aksi Mujahid 212.
Peserta pertemuan 20 September antara lain berasal dari anggota Majelis Kebangsaan Pancasila Jiwa Nusantara. Seperti apa hubungan Anda dengan mereka?
Saya tegaskan sekali lagi, bahwa pertemuan pada hari Jumat, tanggal 20 September 2019, sekitar jam 20.25 WIB sampai dengan 22.30 WIB, di rumah saya adalah bersifat umum dan dalam rangka mempererat tali silaturahmi. Tidak ada kaitanya sama sekali dengan Majelis Kebangsaan Pancasila Jiwa Nusantara.
Bagaimana dengan pertemuan 10 hari sesudahnya, pada 30 September, di Hotel Aston?
Pertemuan silaturahmi terjadi pada Senin, 30 September 2019, sekitar jam 19.30 WIB sampai dengan 21.00 WIB, di Hotel Aston Priority Simatupang, Jakarta Selatan.
Yang hadir dalam pertemuan itu di antaranya Marsekal TNI (Purn) Imam Sufaat beserta istri, Letnan Jenderal TNI (Purn) Burhanudin Amin, Mayor Jenderal TNI (Purn) Soenarko , Mayor Jenderal TNI (Purn) Djoko Susilo Utomo, Marsekal Muda TNI (Purn) Amirullah Amin , Inspektur Jenderal Polisi (Purn) Drs. Bambang Abimanyu, Brigadir Jenderal Polisi (Purn) Drs. Sad Harunantyo, Jack Yanda Zaihifni Ishak, KPAA Ferry Firman Nurwahyu. Ada pula advokat Meidy Juniarto, dr. Rudy, dan Abdullah Bakrie.
Itu pertemuan silaturahmi antara para purnawirawan TNI dan polisi dengan komunitas lintas profesi agar bisa saling mengenal, diawali dengan makan malam bersama sambil menanyakan kabar keluarga satu sama lain serta bincang-bincang santai, setelah itu kami pulang ke rumah masing-masing.
Apakah pertemuan tersebut terkait rencana pengeboman oleh Abdul Basith dkk?
Pertemuan silaturahmi tersebut tidak ada kaitannya sama sekali dengan dugaan pemboman oleh Basith.
_________________
Simak selengkapnya Liputan Khusus kumparan: Huru-hara Jelang Pelantikan Presiden