Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Dulu, udara di tempat tinggal Ismail terasa segar. Hawa begitu sejuk karena pepohonan tumbuh di sana sini. Namun, keadaan berubah saat kawasan industri dibangun di sekitar permukiman penduduk.
Udara segar kini berubah pekat berkat asap dari cerobong pabrik yang membumbung tebal tiap pagi dan sore hari. Suatu ketika, daerah Ismail bahkan sampai gelap gulita. Bagi warga setempat, situasi tak lagi sama. Kenyamanan mereka tinggal kenangan, terenggut asap pabrik.
Ismail yang sekarang berusia 48 tahun bercerita, dahulu ia tidur berselimut karena kedinginan, terlebih pada pukul 03.00 dini hari. Tetapi sejak 2015, kamarnya pengap dan panas. Udara kotor masuk lewat lubang ventilasi setiap hari.
Satu-satunya cara agar Ismail bisa mendapat udara segar adalah: dengan memasang pendingin udara (AC).
“Sekarang kalau malam udah enggak bisa hirup langsung udaranya [karena kotor],” ujar Ismail kepada kumparan.
Terlebih, hari-hari belakangan ketika polusi menebal di Jakarta. Berdasarkan data IQAir, platform pemantau kualitas udara real time global dengan teknologi pemonitor udara asal Swiss, indeks kualitas udara di Jakarta berstatus tidak sehat setidaknya dalam tiga pekan terakhir.
Pada saat-saat tertentu, kualitas udara Jakarta bahkan tercatat paling buruk di dunia. Situasi memburuk kualitas udara dalam tiga pekan terakhir juga terkonfirmasi lewat Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang kerap menyentuh angka 101–200 (berstatus tidak sehat).
Pada pekan-pekan itulah anak Khalisah Khalid yang berusia 12 tahun mimisan saat hendak berangkat ke sekolah di pagi hari. Ia bisa mimisan tiga kali sehari. Saat kondisinya parah, darah kental mengucur dari hidung sampai satu jam lamanya.
Khalisah yang tinggal di Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, mengatakan bahwa dokter mendiagnosis anaknya alergi debu lantaran selaput hidungnya tipis. Mimisan dialami sang anak sejak berusia 4 tahun, kemudian bertambah parah saat ia menginjak SD di umur 6 tahun.
Kala itu, sang anak setiap hari melintasi kemacetan Jalan Gatot Subroto pergi dan pulang sekolah. Meski telah mengenakan masker untuk mencegah udara kotor memasuki lubang hidupnya, polusi menyusup dengan lihai.
“Menurut dokter, polusi udara menjadi salah satu penyebab [mimisan]. Itu salah satu faktor yang menyebabkan kesehatan dia memerlukan penanganan intensif. Jadi kami pakai air purifier,” kata Alin, sapaan Khalisah.
Ketika baru-baru ini Pj. Gubernur DKI berkelakar untuk meniup polusi, Alin kesal.
“Dia pikir ini jokes (candaan). Itu sebenarnya memperlihatkan pemerintah kita enggak punya empati, khususnya terhadap kelompok rentan,” kata Alin.
Menggugat Udara Bersih
“Kok aku begini terus? Kok aku enggak sembuh-sembuh?” tanya anak Alin.
Keluh kesah itu membuat Alin sedih. Sebagai pegiat lingkungan, ia tak bisa tinggal diam melihat anaknya yang mestinya berangkat sekolah dengan riang gembira, justru tersiksa sepanjang perjalanan.
Mewakili anaknya, Alin dan 31 warga lain yang tergabung dalam Tim Advokasi Gerakan Ibukota pada 9 Juli 2019 menggugat (1) Presiden, (2) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, (3) Menteri Dalam Negeri, (4) Menteri Kesehatan, (5) Gubernur DKI Jakarta, (6) Gubernur Banten, dan (7) Gubernur Jawa Barat soal polusi udara Jakarta. Gugatan didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Gugatan itu bermula salah satunya dari kampanye Greenpeace pada 2017 yang mewanti-wanti bahaya PM2,5. Studi menunjukkan partikel udara berukuran 2,5 mikrometer itu menyebabkan peningkatan penyakit kronis tertentu sehingga berisiko mengakibatkan kematian dini.
Ketika itu, pemerintah belum mengukur cemaran udara dari PM2,5. Pemerintah saat itu berargumen bahwa indeks standar pencemar udara (ISPU) masih mewajibkan pengukuran dari PM10 sesuai Kepmen LH Nomor KEP-45/MENLH/10/1997.
Akhir 2018, perwakilan Greenpeace dan 19 warga mengirim surat notifikasi kepada 7 pihak yang hendak mereka gugat soal bahaya PM2,5. Mereka juga menuntut pemulihan pencemaran udara di DKI Jakarta.
Namun notifikasi itu tak berbuah jawaban. Enam bulan berselang, 32 orang—termasuk perwakilan Greenpeace dan Alin—melayangkan gugatan warga negara (citizen lawsuit) terhadap 7 pihak tersebut yang mencakup pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Jalannya gugatan berlangsung panjang. Salah satunya karena pandemi COVID-19. Sebelum persidangan, penggugat dan tergugat melakukan beberapa kali mediasi.
Salah satu kesepakatan yang diperoleh dalam mediasi itu adalah Pemprov DKI Jakarta akan memasang alat pemantau kualitas udara. Namun, tuntutan 32 warga agar pemerintah tak menambah jalan tol yang dianggap jadi sumber penambah polusi tak disepakati.
“Poin besarnya kesepakatan tidak terjadi, sidang tetap berlanjut, dan bukti-bukti memberatkan bahwa tergugat ternyata tidak melakukan banyak hal untuk mengatasi masalah pencemaran udara,” kata Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu, kepada kumparan, Kamis (15/6).
Menurut Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan DLH Provinsi DKI Erni Pelita Fitratunnisa, jalan tol justru diharapkan pemerintah dapat mengurai kemacetan sehingga bisa memperbaiki kualitas udara. Di sisi lain, lanjutnya, pemerintah terus menambah dan membenahi transportasi umum agar semakin nyaman dan diminati masyarakat ketimbang kendaraan pribadi.
Pada September 2021, majelis hakim mengabulkan sebagian gugatan para penggugat dan menyatakan Presiden hingga Gubernur DKI melakukan perbuatan melawan hukum.
Presiden dihukum untuk mengetatkan Baku Mutu Udara Ambien Nasional yang cukup untuk melindungi kesehatan masyarakat, termasuk pada populasi yang sensitif. KLHK dihukum untuk menyupervisi Pemprov DKI, Jabar, dan Banten melakukan inventarisasi emisi lintas batas di ketiga wilayah tersebut.
Menkes dihukum melakukan penghitungan penurunan kesehatan akibat pencemaran udara di DKI Jakarta. Sementara Pemprov DKI dihukum paling banyak, salah satunya untuk menyusun dan mengimplementasikan “Strategi dan Rencana Aksi Pengendalian Pencemaran Udara”.
Pemprov DKI Jakarta menerima putusan hakim, sedangkan Presiden, Menteri LHK, Mendagri, dan Menkes memilih banding. Adapun Pemprov Banten dan Jabar tak disebut dalam putusan tersebut.
Usai banding, Pengadilan Tinggi Jakarta menguatkan putusan PN Jakpus. Pemerintah selaku tergugat kembali mengajukan kasasi. Diperkirakan putusan bakal diketok sekitar September-Oktober 2023.
“Dua tahun sejak 2021 kami diputus menang [sebagian], kalau mereka memilih menangani polusi udara, mungkin situasi dua pekan ini enggak terjadi atau setidaknya berkurang, tapi mereka memilih banding,” ujar Alin.
KLHK menyatakan, upaya banding mereka pilih karena sesungguhnya apa yang dituntut warga dalam gugatannya sudah dikerjakan pemerintah sejak lama.
Setelah putusan pengadilan, Pemprov DKI merespons dengan membuat Grand Design Strategi Pengendalian Pencemaran Udara (SPPU) yang berisi lebih dari 70 rencana aksi. Rencana itu antara lain menitikberatkan pada pengurangan emisi dari sumber bergerak berupa alat transportasi (imbauan uji emisi), dan dari sektor industri berupa pemasangan alat pemantauan emisi berkelanjutan (Continuous Emissions Monitoring Systems–CEMS).
“Pemprov DKI Jakarta melalui Dinas Lingkungan Hidup berkomitmen untuk dapat mengimplementasikan SPPU dengan melibatkan partisipasi semua pihak sebagaimana amanat putusan gugatan warga,” kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto, September 2022.
SPPU ini digadang-gadang menjadi panduan DKI dalam menangani polusi udara hingga 2030. Namun, strategi tersebut belum mewujud menjadi Peraturan Gubernur sebagai payung hukum.
Fitratunnisa, Kabid Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan DLH Provinsi DKI, menjelaskan bahwa SPPU awalnya menang disusun dalam bentuk Pergub. Namun karena isinya menargetkan aksi dari Satuan Kerja Perangkat Daerah, SPPU lantas diubah dalam bentuk Keputusan Gubernur.
“Saat ini masih dalam perubahan format ke dalam bentuk Keputusan Gubernur,” kata perempuan yang akrab disapa Fitri itu.
Greenpeace berpendapat, ada sejumlah perbaikan dalam penanganan polusi ibu kota usai gugatan dilayangkan.
“Website KLHK diperbaharui, kemudian ada aplikasi ISPU di HP. Di website bahkan bisa dilihat [ISPU] per jamnya,” ujar Bondan.
Perbaikan juga dilakukan melalui pengetatan Baku Mutu Udara Ambien Nasional di lampiran VII PP Nomor 22/2021. Di sana baku mutu PM2,5 diketatkan dari yang tadinya 65 mikrometer/meter kubik (µm/m3) menjadi 55 µm/m3 per 24 jam.
Bondan menjelaskan, standar WHO per September 2021 untuk PM2,5 per 24 jam adalah 15 µm/m3 dari sebelumnya 25 µm/m3. Adapun untuk rata-rata baku mutu udara PM2,5 tahunan RI stagnan di 15 µm/m3 meski anjuran WHO berada di angka 10 µm/m3.
Melihat situasi itu, menurut Bondan, beleid baku mutu ambien udara PM2,5 saat ini mesti diperbaiki lagi untuk melindungi masyarakat sensitif.
Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK Sigit Reliantoro menyebut bahwa rata-rata baku mutu tahunan PM2,5 RI sebenarnya sama dengan AS, Jepang, dan Korea Selatan.
Ia menjelaskan, pengetatan baku mutu bisa menimbulkan konsekuensi pada masyarakat rentan atau miskin, sebab salah satu dampaknya adalah penggantian semua bahan bakar yang tak sesuai standar EURO 4. Untuk memenuhi standar itu, masyarakat minimal mesti menggunakan BBM seperti Pertamax Turbo (RON 98).
“Sekarang coba lihat Pertalite (RON 90) dinaikkan, apa yang terjadi? [Bisa kacau, masyarakat protes]. Jadi lebih baik pelan-pelan. Karena begitu kita kenakan baku mutu 10 µm/m3, tak boleh lagi ada Pertalite dan Solar,” kata Sigit.
Gedung Tinggi Memerangkap Polusi
IQ Air dan ISPU KLHK sama-sama memotret tidak sehatnya udara Jakarta dalam beberapa pekan ke belakang. Data skor Indeks Kualitas Udara (IKU) DKI tujuh tahun terakhir memang meningkat, namun stagnan di status sedang, belum mencapai baik atau sangat baik.
Apa penyebabnya?
Sigit menyebut bahwa sumber polutan di DKI Jakarta berdasarkan inventarisasi emisi KLHK mayoritas berasal dari kendaraan.
“Hitungan kami di perkotaan 70% dari sumber emisi berasal dari transportasi, sisanya industri, lalu rumah tangga,” ujarnya.
Temuan itu sejalan dengan studi Vital Strategies dan Institut Teknologi Bandung pada 2019 yang mengatakan bahwa sumber utama polusi PM2,5 di Jakarta mayoritas berasal dari asap knalpot kendaraan (32–57%).
Sigit menjelaskan, polusi udara di Jakarta bertambah parah karena gedung-gedung pencakar langit berdiri bersisian mengimpit jalan raya. Gedung-gedung itu memerangkap emisi yang muncul dari berbagai macam sumber, baik kendaraan maupun industri. Fenomena ini disebut sebagai street canyon.
“Kalau mangkas gedung, bongkar gedung, kan enggak mungkin. Maka yang dikendalikan itu dari kendaraan bermotor,” kata Sigit.
Meski demikian, Greenpeace menyebut ada polutan tambahan selain transportasi yang mesti diwaspadai. Dalam laporan berjudul “Jakarta’s Silent Killer” pada 2017, LSM pembela lingkungan ini memodelkan sumber polusi Jakarta yang berasal dari PLTU batu bara di Banten.
“Padahal PLTU-nya di Suralaya, Cilegon, Banten, tapi [asapnya] bisa sampai ke mana-mana. Ada polusi udara lintas batas dari luar Jakarta masuk,” kata Bondan.
Pemodelan polusi lintas batas dari Banten ke Jakarta itu sejalan dengan temuan Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA). Riset tahun 2020 itu menyebut pencemaran lintas batas dari Provinsi Banten dan Jawa Barat merupakan kontributor utama pencemaran udara di Kota Jakarta.
Namun KLHK menampik adanya polusi lintas batas tersebut. Sanggahan itu menurut Sigit didasarkan pada dua hal. Pertama, pantauan satelit Copernicus Sentinel-5P kerap menunjukkan langit Jakarta yang lebih merah (lebih banyak NO2) ketimbang Serang.
“Berarti sumber [polusi lintas batas] mestinya dari Jakarta ke Banten,” terang Sigit.
Kedua, KLHK juga sudah melakukan pemodelan dispersi udara PLTU Suralaya berdasarkan rata-rata arah angin. Hasilnya, arah asap PLTU justru mengarah ke utara, ke Laut Jawa dan Provinsi Banten.
Soal polusi di Jakarta belakangan ini, Sigit menyebut hal itu diperburuk oleh musim kemarau. Perburukan polusi juga diduga karena pada Mei–Agustus ada angin timur dari dataran kering Australia yang mengarah antara lain ke Pulau Jawa.
“Secara tahunan, dari 2019, polanya sudah kayak gitu. Polusi selalu naik di bulan Juni–Juli pas musim kering,” terangnya.
Sigit menegaskan, situasi polusi udara saat ini tak jauh berbeda dengan sebelum pandemi pada 2019.
Upaya Meniup Polusi Perkotaan
Pemerintah menggadang-gadang penggunaan kendaraan listrik sebagai solusi atas polusi yang menghantui ibu kota. Hal ini dikemukakan oleh Menko Maritim dan Investasi Luhut Pandjaitan, Pj. Gubernur DKI Heru Budi, dan KLHK.
Penggunaan kendaraan listrik yang minim emisi, menurut Sigit, bakal mengurangi fenomena street canyon, sebab kendaraan listrik tak akan memperkuat emisi yang terimpit di jalanan.
“Namun kendaraan listrik baru berpengaruh kalau sudah sekitar 30–40 persen [penetrasinya],” kata dia.
Saat ini baru sekitar 20-30 ribu kendaraan listrik yang mengaspal di Indonesia. Sementara menurut data BPS, di Jakarta saja terdapat 26,3 juta kendaraan bermotor.
Pemerintah juga mengupayakan agar seluruh kendaraan bermotor memenuhi standar baku mutu. Per 5 Juni 2023, KLHK dan 8 kabupaten/kota di Jabodetabek bekerja sama untuk memulai uji emisi.
“Dulu pernah diuji coba, dipaksakan. Ada denda dan lain sebagainya, lalu menjadi ramai. Sebetulnya masyarakat juga masih belum siap, padahal [uji emisi] itu wajib,” kata Sigit.
Pemprov DKI pun tengah mengembangkan aplikasi yang tertaut dengan sistem parkir. Nantinya, kendaraan dengan emisi melebihi baku mutu akan dikenai tarif parkir tertinggi.
Namun, kebijakan itu menemui aral lantaran baru 19% kendaraan di DKI Jakarta yang sudah melakukan uji emisi.
Upaya lain untuk menghalau polusi dari industri adalah memasang alat pemantauan emisi berkelanjutan (CEMS) sebagai syarat Persetujuan Lingkungan yang diwajibkan berdasarkan PP 22 Tahun 2021.
Di sektor industri, alat ini sudah terintegrasi di 88 perusahaan se-Indonesia dengan total pantauan ke 236 cerobong asap.
“Begitu dia (ada industri) melebihi baku mutu, alat terpicu dan otomatis ada surat peringatan kepada perusahaan itu,” kata Sigit.
Meski demikian, aturan mengenai denda bagi perusahaan yang melebihi baku mutu baru akan disusun.
Anggota Komisi D DPRD DKI Justin Andrian menilai harus ada langkah nyata untuk menangani polusi Jakarta. Pemerintah tak bisa serta-merta bertumpu pada peralihan ke kendaraan listrik, sebab tak semua orang bisa membelinya.
“Harus dibarengi transportasi massal yang aman dan nyaman. Hunian di DKI juga terpecah-pecah, tidak terlokalisir. Misalnya dizonasi, perumahan vertikal itu mudah diorganisir dengan sistem transportasi massal,” kata politisi PSI itu.
Justin juga mengkritik tiadanya penindakan pada pelanggar emisi. Hal ini turut disinggung Bondan dari Greenpeace yang menyangsikan korelasi antara uji emisi dengan penurunan tingkat pencemaran udara.
“Di putusan [gugatan polusi udara] hakim memerintahkan uji emisi dibuka datanya—berapa yang tercemar dan mencemari, dan hukuman apa yang diberikan pada mereka yang uji emisinya yang melebihi baku mutu. Harus ada efek jera pada transportasi dan industri yang emisinya melebihi itu. Jadi datanya harus dibuka,” kata Bondan.
Bondan juga mendorong riset rutin tahunan mengenai sumber polutan di DKI. Hasil riset itu bisa jadi acuan keberhasilan pemerintah dalam mengurangi emisi berdasarkan sumbernya.
“Plus riset soal kesehatan: berapa orang sakit gara-gara polusi? Misalnya diketahui ada orang sakit ISPA sekian persen, lalu apa kebijakannya? Kalau semua angka turun, berarti berhasil. Tapi sekarang kita enggak punya angka perbandingannya,” tutup Bondan.