Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Berbulan-bulan menunggu, kabar dari Papua akhirnya tiba jua. Frits Ramandey, Kepala Kantor Perwakilan Komisi Nasional HAM Papua, memberi kabar ke kantor pusatnya di Jakarta bahwa salah satu kelompok bersenjata tertua di Bumi Cendrawasih, bersedia ditemui.
Sejak awal 2022, Fritz sudah ditugasi Ketua Komnas HAM saat itu, Ahmad Taufan Damanik, untuk berkomunikasi dengan salah satu sayap militer Organisasi Papua Merdeka (OPM ).
Komnas HAM ingin menginisiasi jalan dialog dengan kelompok separatis untuk mengurangi angka kekerasan di Papua. Apalagi sepanjang 2021, jumlah serangan oleh kelompok KKB mencapai 106 kasus.
Jalan dialog ini pula yang ditempuh saat menangani konflik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) hingga berujung damai pada 15 Agustus 2005.
“Kami melihat puluhan tahun pendekatan keamanan di Papua tidak menyelesaikan masalah. Komnas HAM harus buat terobosan yang kami sebut dialog damai ,” ujar Taufan pada kumparan, Kamis (9/2).
Maka, ketika kesempatan dialog itu hadir, Taufan langsung bersiap menuju Papua. Ia mengajak dua komisioner Komnas HAM lainnnya, Beka Ulung Hapsara dan Choirul Anam. Mereka berangkat awal April 2022.
Sesampainya di Jayapura, Taufan dkk menunggu informasi lanjutan dari Frits. Hingga kemudian didapati kepastian bertemu di Distrik Demta, Kabupaten Jayapura. Menginap semalam di hotel, mereka lalu berangkat ke lokasi pagi buta.
Taufan dkk bukannya tak gentar hendak pertama kali bertemu kelompok separatis Papua. Menurutnya, jalan itu ditempuh demi merajut dialog damai.
“Harus ada pikiran, kemauan, dan nyali yang besar,” ucapnya.
Menumpang mobil sewaan, Taufan dkk ditemani Frits serta seorang staf Komnas HAM perwakilan Papua, beranjak ke titik pertemuan. Mereka berhenti di suatu tempat di pinggir Kota Jayapura. Itu bukan lokasi pertemuan.
Mereka kemudian melihat sebuah mobil pikap double cabin yang menunggu. Di dalamnya, ada dua orang—sopir dan rekannya—anggota kelompok bersenjata. Keduanya ditugasi menjemput komisioner Komnas HAM.
Taufan, Beka, dan Anam langsung dipersilakan masuk ke dalam mobil. Tak ada penggeledahan oleh perwakilan kelompok KKB yang menjemput. Pun demikian, perwakilan anggota KKB yang menjemput tidak terlihat membawa senjata.
“Kami saling percaya,” kata Beka.
Anam duduk di baris depan mobil di sebelah sopir, sedangkan Taufan dan Beka di baris belakang. Sementara Frits, seorang staf Komnas HAM Papua, serta satu anggota KKB duduk di bak belakang mobil. Perjalanan menegangkan itu baru dimulai.
Beka terus mengingat pesan Frits sebelum mereka berangkat. “[Dikasih tahu], ‘Pak Beka, nanti kalau jalan jangan terlalu tengak-tengok, ya. Pokoknya jalan saja.’”
Sepanjang perjalanan, mereka hanya melihat hamparan hutan. Cuaca pun berubah-ubah dengan cepat. Di dalam hati, Beka berpasrah diri.
“Saya teringat anak dan istri. Ini taruhannya nyawa—datang ke hutan, bertemu kelompok bersenjata,” kata Beka mengingat perjalanan saat itu.
Mobil berhenti di pinggir pantai, lantas menaiki sebuah perahu yang telah disiapkan. Setelah melewati sungai yang membelah hutan, mereka akhirnya tiba di lokasi pertemuan.
Rombongan Komnas HAM memperkenalkan diri dan disambut pimpinan kelompok tersebut. Mereka lalu menuju sebuah tanah lapang di tengah hutan.
Di sana, sudah tersedia berbagai sajian makanan. Frits kemudian memberi tahu bahwa Taufan dan Anam tengah berpuasa Ramadan. Tak lama, sajian makanan dipinggirkan. Begitu pula senjata disimpan.
“Mereka respect ke kami, itu makanan disingkirkan,” kata Taufan.
“Mereka menghormati kami yang sebagian berpuasa, senjata akhirnya disimpan. Itu contoh kecil keseriusan dan kepercayaan,” imbuh Beka.
Saat berdialog, pimpinan kelompok bersenjata menyerahkan sebuah dokumen yang diteken 11 November 2011. Isinya mengenai inisiatif dialog yang pernah disetujui antara kelompok itu dengan utusan pemerintah di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Farid Husain.
Almarhum Farid merupakan dokter yang menjadi juru damai antara Indonesia dan GAM. Ia meninggal pada Maret 2021.
“Mereka menanyakan status inisiatif dialog yang sudah pernah ada di tahun 2011. Bertanya bagaimana kelanjutannya,” ucap Beka.
Komnas HAM menjelaskan bahwa inisiatif dialog kali ini berbeda dengan 2011. Pimpinan KKB itu pun menerima penjelasan Komnas HAM dan siap untuk berdialog kembali di bawah payung United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).
Pertemuan berjalan sekitar satu jam dan diakhiri foto bersama. Foto itu diperlihatkan kepada kumparan. Di situ, para komisioner Komnas HAM bersama pimpinan kelompok separatis diapit puluhan anggota KKB yang mengenakan seragam hijau loreng. Namun foto itu tidak dapat ditampilkan atas alasan keamanan dan kepercayaan antar-pihak terkait.
Rombongan Komnas HAM selanjutnya diantar sampai ke perahu untuk kembali ke Kota Jayapura. Namun jalan pulang yang dilalui berbeda dengan jalan saat datang. Mereka tiba di hotel sore hari, sebelum azan Magrib berkumandang.
“Total waktu perjalanan pergi dan pulang sekitar 10 jam,” ucap Beka.
Tak cukup menemui satu kelompok, Komnas HAM bertemu kelompok berbeda di daerah lain. Frits yang kembali mengatur pertemuan. Kali ini, rombongan menemui kelompok bersenjata di wilayah Waropen pada awal Juni 2022.
Setiba di Jayapura, rombongan terbang menuju Serui, sebab tak ada akses transportasi langsung baik darat maupun udara dari Jayapura ke Waropen. Menginap semalam di Serui, mereka berangkat pagi hari ke sebuah tempat.
Di tempat yang sudah ditentukan, terdapat sebuah perahu motor bersiaga. Di atasnya sudah ada beberapa anggota KKB berseragam loreng. Dari foto yang diperlihatkan kepada kumparan, tampak di bagian belakang perahu motor terdapat dua anggota KKB berdiri dengan senjata. Mereka memakai kacamata, balaclava, dan berbaret hijau.
Seperti momen ketika menemui KKB di awal April, Beka tetap berpasrah diri sepanjang perjalanan.
“Ini once in a lifetime. Kami naik perahu mengelilingi setengah pulau, lalu menuju pulau kecil. Di pulau kecil itu dijemput, terus naik perahu lagi [ke lokasi],” kata Beka.
Ia menuturkan, meski dalam perjalanan mereka dikawal anggota KKB bersenjata, namun rasa saling percaya di antara mereka tetap tinggi. Ini dirasakan ketika mereka berganti perahu di sebuah pulau kecil.
“Kami dihormati karena kami naik perahu adat yang panjang. Perahu yang hanya dipakai untuk melayani tamu yang mereka hormati,” ucapnya.
Dalam pertemuan saat itu, Komnas HAM kembali mendapat sinyal positif. Kelompok KKB kedua yang ditemui bersedia dialog damai.
“Mereka mau dialog tapi minta tolong supaya sikap mereka disampaikan ke Komisi Tinggi HAM PBB,” kata Beka.
Taufan berujar, ada yang unik saat bertemu KKB di Waropen. Sebelum dialog dimulai, mereka mengadakan upacara bakar batu. Sedangkan ketika pemimpin KKB menyerahkan dokumen persetujuan, rombongan Komnas HAM diminta berada di bawah naungan bendera bintang kejora.
“Apakah saya mau dituduh makar? Kan enggak. Ini cara kami untuk menyelesaikan masalah,” kata Taufan.
Jeda Kemanusiaan
Juru Bicara Komando Nasional Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM), Sebby Sambom, menyebut dua kelompok yang ditemui Komnas HAM bukanlah bagian OPM.
Menurut Sebby, kedua kelompok itu merupakan binaan TNI-Polri. Sebby menyebut kelompok itu berbasis di Paniai dan dipimpin Demianus Magai Yogi.
“Itu agen TNI-Polri, biasa makan minum dengan tentara, polisi,” ucap Sebby.
Taufan mengatakan, ucapan Sebby itu hanya bentuk kekecewaan karena ia merasa tak dilibatkan dalam proses dialog damai.
Taufan menyebut kekecewaan itu merupakan dinamika yang wajar, sebab kelompok separatis di Papua terdiri dari banyak faksi. Yang jelas, kelompok KKB yang ditemui Komnas HAM bukan berada di Paniai.
“Memang ada faksi-faksi di ULMWP, ada pro-kontra. Dinamika itu biasa-biasa saja,” kata Taufan.
Taufik menyatakan, selain dua kelompok KKB tersebut, ada pula kelompok-kelompok lain yang sudah ditemui. Komnas HAM menugaskan Frits untuk menemui kelompok-kelompok KKB yang bermukim di pegunungan, sedangkan Taufan seorang diri juga pernah menemui pimpinan Negara Federal Papua Barat di tepi Danau Sentani.
Komnas HAM juga menemui pihak-pihak lain seperti pengurus NU Papua, Muhammadiyah Papua, ULMWP, Dewan Gereja Papua (DGP), dan Majelis Rakyat Papua (MRP). Semua bersepakat bahwa upaya mengurangi kekerasan di Papua adalah melalui dialog yang bermartabat.
Atas dasar itu, para pihak mengadakan tiga kali pertemuan di Jenewa, Swiss, pada Juni, Agustus, dan November 2022. Pada pertemuan terakhir, disepakati nota kesepahaman Jeda Kemanusiaan dengan masa durasi 3 bulan.
“[Inti MoU] pertama, penghentian permusuhan dan kekerasan; kedua, memenuhi hak-hak para pengungsi, termasuk mengembalikan mereka ke kampung halaman; ketiga, mengurusi hak-hak tahanan dan narapidana,” jelas Beka.
Namun pergantian komisioner Komnas HAM pada pertengahan November 2022 membuat nota kesepahaman tersebut tak pernah dijalankan. Bahkan komisioner baru Komnas HAM sudah mengambil sikap tak akan melanjutkan MoU Jeda Kemanusiaan itu.
“Komnas HAM bukan pihak yang sedang berkonflik di Papua. Dengan demikian, tidak tepat jika Komnas HAM menandatangani MoU Jeda Kemanusiaan sebagai salah satu pihak,” isi surat Komnas HAM kepada DGP, MRP, dan ULMWP.
Direktur Eksekutif ULMWP Markus Haluk kecewa dengan keputusan Komnas HAM yang tak melanjutkan nota kesepahaman.
“Bagi kami, MoU tersebut menetapkan serangkaian langkah dengan niat tulus dalam menciptakan kondisi yang kondusif untuk membuka jalan dalam proses damai,” kata Haluk.
Beka, Komisioner Komnas HAM 2017-2022 yang menguji nyali dengan bertemu kelompok-kelompok bersenjata, harus menerima kenyataan itu.
“Ini kerugian karena sudah ada kepercayaan. Balik lagi ke nol. Mungkin nanti permintaaan mereka (KKB) jauh lebih rumit. Tidak mudah juga dipercaya orang,” tutupnya.