Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Melihat dari Dekat Kondisi Pengungsi Rohingya di Aceh, Apakah Ada Penolakan?
9 Maret 2024 23:54 WIB
·
waktu baca 6 menitADVERTISEMENT
Kedatangan para pengungsi Rohingya ke Indonesia pada penghujung tahun 2023 menuai polemik dari masyarakat lokal. Berbuntut kepada penolakan hingga desakan agar pemerintah memulangkan mereka.
ADVERTISEMENT
Menilik data UNHCR atau badan PBB yang mengurusi pengungsi, sejak tanggal 14 November 2023 hingga 22 Januari 2024, terdapat total 1.752 pengungsi yang berasal dari 11 kapal telah mendarat di Aceh dan Sumatra Utara. 74 persen di antaranya merupakan perempuan dan anak-anak.
Di Aceh, para pengungsi itu tersebar di berbagai daerah, di antaranya Sabang, Banda Aceh, Pidie, Bireuen, hingga Lhokseumawe.
Dari berbagai lokasi itu, kumparan berkesempatan untuk mengunjungi tiga kamp pengungsi. Dua di antaranya adalah yang terletak di Kabupaten Pidie, yakni di kawasan Pantai Desa Kulam, Kecamatan Batee dan di Gedung Mina Raya, Desa Leun Tanjong, Kecamatan Padang Tiji. Sementara satu lainnya yakni kamp pengungsi di Balai Meuseuraya Aceh (BMA) di Kota Banda Aceh.
ADVERTISEMENT
Di salah satu sudut di kawasan Gampong Kulam, Batee, jalan tanah selebar 2,5 meter yang membelah kebun-kebun kosong membentang hingga ke tepi pantai. Di ujung jalan sepanjang 200 meter, tepat di sebelah kanan, terhampar tanah seluas hampir satu hektare menjadi tempat penampungan pengungsi.
Di depan pintu masuk, terdapat lapak-lapak pedagang yang menjual berbagai makanan dan minuman kemasan.
Memasuki lokasi kamp pengungsi tersebut, di kala embusan angin menyusuri tenda itu, terlihat puluhan pengungsi Rohingya tengah tertidur di dalam tenda yang dilapisi terpal berwarna biru. Berdasarkan catatan UNHCR, terdapat sekitar kurang lebih 249 pengungsi yang bermukim yang tersebar di dalam lima tenda yang didirikan di sela-sela jajaran pohon kelapa yang menjulang ke langit. Di antara satu pohon ke pohon lainnya, juga dipasang tali yang digunakan untuk menjemur pakaian para pengungsi.
ADVERTISEMENT
Di sana, juga terdapat fasilitas lainnya yang menunjang kehidupan sehari-hari para pengungsi. Di depan tenda, ada dua kamar mandi kira-kira setinggi 2 meter, yang masing-masing diperuntukkan bagi laki-laki dan perempuan. Sementara, di sisi utara tenda, terdapat total 3 jamban yang dilapisi seng berwarna merah tua dengan tinggi kira-kira 2 meter.
Tak hanya itu, di sisi paling timur kamp pengungsi itu, juga terdapat tenda yang juga dilapisi terpal berwarna biru yang ’disulap’ sebagai aula. Di sana, biasanya para pengungsi menggelar sekolah informal. Selanjutnya, juga ada musala sebagai tempat beribadah bagi para pengungsi. Di sisi selatan dekat pintu masuk, terdapat posko IOM atau organisasi internasional untuk migrasi.
Menjelang azan Zuhur berkumandang, puluhan anak-anak di kamp pengungsian di kawasan pantai di Kulam, Kecamatan Batee, tampak mengikuti kelas belajar bahasa Inggris yang dipandu oleh salah satu pengungsi, Abdu Rahman. Di sana, mereka belajar memperkenalkan dirinya dalam bahasa Inggris.
ADVERTISEMENT
Di tenda lainnya, tampak juga aktivitas para pengungsi yang tengah bersiap untuk memasak ikan yang didapatinya dari salah seorang nelayan di sana. Sementara, di hamparan tanah di luar tenda, tampak anak-anak juga tengah berlari girang.
Sementara itu, berjarak sekitar kurang lebih 16 km dari kawasan pantai di Kulam, Kecamatan Batee, terdapat lokasi kamp lainnya di Pidie, yakni Gedung Mina Raya. Gedung itu merupakan tempat keberadaan sekitar kurang lebih 449 orang pengungsi yang tersebar di dalam 8 bagian gedung di dalamnya.
Terlihat juga cat di masing-masing bagian gedung sudah mulai terkelupas dan memudar. Di masing-masing bagian gedung tersebut, juga terpasang tali yang terikat untuk dijadikan tempat menjemur pakaian para pengungsi.
Selain ditempatkan di dalam ruangan gedung itu, juga terlihat tenda pengungsi yang beratapkan terpal berwarna abu-abu dengan di sisinya dipasangi terpal berwarna biru.
ADVERTISEMENT
Saat kumparan menyusuri salah satu bagian gedung, tampak salah satu pengungsi tengah memasak ikan kuah kari yang dicampur dengan labu.
Para pengungsi lainnya juga terlihat tengah bersantai sambil bercengkrama dengan rekannya yang lain. Anak-anak tampak bermain dan berlari di lapangan basket dan lapangan voli di tengah gedung tersebut yang sudah ditumbuhi rumput-rumput di sekitarnya.
Salah satu warga lokal di sekitar kamp pengungsian di sana, Husein (bukan nama sebenarnya, 38 tahun), menegaskan tidak ada penolakan dari para warga terhadap keberadaan pengungsi Rohingya.
"Kalau warga desa Leun Tanjong [lokasi kamp Gedung Mina Raya], sejauh ini tidak ada keberatan [dengan pengungsi Rohingya]," ujarnya saat ditemui di Gedung Mina Raya, Pidie, Aceh, Selasa (5/3).
Menurutnya, justru penolakan terhadap pengungsi Rohingya datang dari warga yang berasal dari desa lain namun mengatasnamakan warga Leun Tanjong.
ADVERTISEMENT
"Cuma sebelumnya juga ada yang mengatasnamakan warga Leun ini melakukan penolakan, sempat juga warga sini [Leun Tanjong] marah, karena mengatasnamakan warga, padahal tidak ada [penolakan]," kata dia.
"Kalau warga sini memang mendukung, cuma warga lain mengatasnamakan warga sini yang menolak," sambungnya.
Keesokan harinya, lokasi kamp yang didatangi kumparan terletak di pusat kota Banda Aceh, yakni di Gedung Balai Meuseuraya Aceh (BMA). Gedung tersebut berada di pinggir jalan raya dan berjarak kurang lebih sekitar 850 meter dari Kantor Gubernur Aceh.
Di sini, para pengungsi ditempatkan di basement gedung, dengan total pengungsi sekitar kurang lebih 124 orang. Para pengungsi itu sebagian besar berasal dari kamp Cox’s Bazar, Bangladesh. Suasana gelap, bau pesing, dan sampah yang bertebaran di sekitar kamp penginapan itu mesti dihadapi oleh para pengungsi setiap harinya.
ADVERTISEMENT
Para pengungsi yang berada di basement gedung tersebut hanya beralaskan terpal dan kardus bekas sebagai bantalnya. Sebagian lainnya juga ada yang menggunakan tas sebagai bantalnya.
Di sebelah lokasi penginapan mereka, dipasang terpal berwarna biru yang mengelilingi dan menutupi antara satu tiang dengan tiang lainnya. Ruangan itu ’disulap’ untuk dijadikan musala bagi mereka untuk melaksanakan ibadah salat.
Di luar basement gedung tersebut, tepatnya di halaman yang berjarak 50 meter setelah pintu masuk, tampak tenda yang digunakan sebagai posko kesehatan bagi para pengungsi. Di depannya, sore itu digunakan sebagai tempat mengajar dari relawan 3R (Rumah Relawan Remaja) yang merupakan salah satu mitra UNHCR. Saat itu, anak-anak belajar bahasa Inggris dan dikenalkan tentang buah-buahan. Sesekali, mereka juga diminta untuk mengucapkan nama buah tersebut dalam bahasa Inggris.
ADVERTISEMENT
Telah menetap kurang lebih 3 bulan di kamp pengungsian tersebut, salah satu pengungsi, Toshmin (14 tahun), mengaku merasa betah di Aceh.
”Ya terima kasih. Saya betah, kita bisa tinggal dengan baik, kalau bisa dikasih tempat masing-masing begitu, kamar masing-masing, jadi mungkin saya akan lebih betah lagi," katanya kepada kumparan, Rabu (6/3).
"Saya sangat ingin melanjutkan pendidikan. Saya hanya ingin menjadi terpelajar, dan bisa menggapai cita-cita saya, tapi yang penting adalah saya bisa menjadi orang yang terpelajar," pungkasnya.