Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Melihat Rumah Sederhana Penuh Cerita Milik Lee Kuan Yew
4 Juli 2017 16:25 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
ADVERTISEMENT
Ini cerita tentang Dinasti Lee di Singapura --keluarga penguasa Negeri Singa di ujung barat laut Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pertengahan Juni 2017, terjadi perselisihan di antara keluarga Lee Kuan Yew, tepatnya ketika kedua adik Perdana Menteri Lee Hsien Loong, Lee Hsien Yang dan Lee Wei Ling, mengatakan bahwa rumah ayah mereka di 38 Oxley Road harus diruntuhkan sesuai wasiat Lee Kuan Yew sebelum meninggal.
PM Lee mempertanyakan keabsahan wasiat tersebut. Lembaga pemerintah juga mempertimbangkan untuk menjadikan rumah itu sebagai situs bersejarah, dengan mengubahnya menjadi museum.
Tak ayal sengketa atas rumah warisan Bapak Pendiri Singapura Lee Kuan Yew memicu kehebohan di negara kota itu. PM Lee dituding kedua adiknya telah menyalahgunakan kekuasaan sebagai pemimpin negara demi mendapatkan rumah tersebut.
Kasus keluarga nomor satu di Singapura itu sampai dibawa ke parlemen Singapura demi menegaskan kredibilitas pemerintah.
Seperti apa sesungguhnya kebiasaan mendiang Lee Kuan Yew ketika menghuni rumah tersebut, dan seberapa penting rumah itu bagi negara Singapura?
ADVERTISEMENT
Dilansir The New Paper Singapore, seorang reporter bernama Judith Tan pada April 2010 sempat berkunjung ke rumah yang beralamat di 38 Oxley Road itu.
Menurut Tan, rumah Lee Kuan adalah rumah sederhana yang perkasa. Tan yang saat itu berkeliling bersama anak Lee Kuan, Lee Wei Ling, mengingat dengan jelas tiap sudut rumah tersebut.
Lee Kuan Yew semasa hidupnya pernah mengatakan bahwa rumah tinggalnya itu ialah rumah besar dengan lima kamar. Rumah yang didirikan lebih dari satu abad lalu oleh seorang pedagang Yahudi itu telah ditempati keluarga Lee lebih dari 65 tahun --kecuali ketika mereka mengusi beberapa minggu setelah kemerdekaan Singapura pada 1965 karena masalah keamanan.
Memulai ceritanya, Tan mengawali dari teras depan rumah. Ia mengatakan, teras depan adalah tempat bagi anak-anak kecil berkumpul. Di sana, ulang tahun anak-anak Lee Kuan Yew dirayakan dengan sederhana.
ADVERTISEMENT
Lee Wei Ling mengenang, ulang tahunnya di teras depan rumah itu hanya dirayakan ibu dan dua saudaranya, dengan satu kue untuk dimakan bersama.
Teras depan itu pun menjadi tempat bagi anak-anak Lee Kuan belajar. Di antara mereka yang rutin mengajar di teras ini ialah Cikgu (guru) Mohd Amin Sapawi. Ia mengajar Bahasa Melayu dua-tiga kali dalam semingu. Ada pula Ting Lao Shi yang mengajarkan Bahasa Mandarin.
Beralih ke ruang makan, di tempat ini sejumlah pertemuan penting dan perdebatan sengit terjadi menjelang kemerdekaan Singapura. Di sini pula putra tertua Lee, Lee Hsien Loong yang kini menjabat perdana menteri, tumbuh dengan merasakan nuansa politik pertamanya.
Bergeser ke kamar pribadi, Lee Kuan biasa menghabiskan malam dengan menyusun buku-bukunya. Malam hari ialah jam kerja terbaik baginya untuk menulis ulang draf tulisannya di komputer kamar pribadinya. Kadang Lee Kuan bahkan bekerja hingga pukul 04.00 dini hari.
ADVERTISEMENT
Kamar Lee itu sederhana saja, dengan tempat tidur tunggal, dengan guling kecil dan selimut tipis tersampir di atasnya.
Di kamar itu pula Lee Kuan Yew mencurahkan semua kasih sayangnya pada sang istri, Kwa Geok Choo, yang kemudian terkena stroke dan meninggal pada Oktober 2010.
Lee Kuan Yew yang dikenal dengan pidatonya yang berapi-api, menunjukkan sisi bedanya di kamar itu. Ia, dengan suara lembut, membacakan novel dan koran untuk istrinya.
Meski Kwa Geok Choo yang stroke tak bisa menjawab atau banyak merespons, Lee Kuan tak pernah berhenti menemani dan membacakan kisah setiap hari, mulai dari berita, puisi, hingga novel favorit sang istri.
Sebagian lantai di kediaman Lee terbuat dari potongan kayu longitudinal dengan pernis yang sudah mengelupas, juga ubin bercorak mosaik. Selain itu, kursi yang tidak serasi di rumah tersebut, memberi kesan eklektik.
ADVERTISEMENT
Beralih ke taman, rimbun pepohonan dan tanaman yang telah tumbuh selama bertahun-tahun, membuat suasana teduh.
Rumah Lee memang penuh kenangan. Bahkan ruangan makan di ruang bawah tanah pun menjadi saksi dimulainya sebuah pesta politik yang lantas menghasilkan negara Singapura modern, bebas dari cengkeraman kolonial Inggris.
Rumah seluas 1.250 meter persegi itu, sejak ditempati keluarga Lee, menjelma jadi tempat penuh cerita. Perjuangan, kebahagiaan, dan perpisahan melebur jadi kisah yang lebih bernilai dari sekadar bangunan.
Namun demikian, Lee Kuan Yew sebelum wafat pada 23 Maret 2015 malah berwasiat, rumah itu harus dihancurkan, segera setelah ia mengembuskan napas penghabisan.
Dalam wasiatnya, Lee Kuan berujar, jika penghancuran tak dimungkinkan secara hukum, rumah mesti ditutup rapat-rapat untuk semua orang, kecuali anak, cucu, dan kerabatnya.
ADVERTISEMENT
Lee Kuan Yew dalam wawancara dengan Straits Time mengungkapkan soal kenapa ia ingin menghancurkan rumahnya. Menurut Lee, dia belajar dari kejadian di rumah PM India pertama Jawaharlal Nehru dan sastrawan Inggris William Shakespeare yang rusak dan berantakan setelah dibuka untuk umum.
Di sisi lain, rumah Lee adalah rumah tua yang membutuhkan banyak biaya untuk perawatan. Oleh sebab itu Lee yakin siapapun yang pernah tinggal di sana, termasuk anak-anaknya, tidak akan meratapi kehilangan rumah itu karena mereka memiliki foto lama untuk mengenang masa lalu.
Di sinilah terjadi dilema keluarga dan negara: haruskah rumah itu diruntuhkan sesuai wasiat Lee, atau diabadikan sebagai bukti perjuangan sebuah bangsa?