Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Pertama kali memulai penyelidikan pada April 2013, KPK akhirnya menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) untuk tersangka suami istri pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim, pada 31 Maret 2021.
KPK menghentikan perkara tersebut dengan alasan: tak ada penyelenggara negara yang terlibat. Sebab dalam perkara ini, eks Ketua BPPN, Syafruddin Arsyad Temenggung, divonis lepas di tingkat kasasi Mahkamah Agung (MA) pada 2019.
Sedangkan Sjamsul dan Itjih Nursalim merupakan pihak swasta yang dijerat bersama-sama melakukan korupsi bersama Syafruddin Temenggung.
Sebelum divonis lepas di tingkat kasasi, Syafruddin sebenarnya telah dinyatakan bersalah dalam penerbitan SKL BLBI untuk Sjamsul Nursalim.
Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis Syafruddin selama 13 tahun penjara pada September 2018. Tak merasa bersalah, Syafruddin mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
ADVERTISEMENT
Pengadilan Tinggi DKI justru memperberat hukuman Syafruddin menjadi 15 tahun penjara, sesuai dengan tuntutan jaksa penuntut umum KPK.
Namun pada Juli 2019, MA memvonis lepas Syafruddin dari perkara tersebut. Vonis lepas itu selang 2 bulan sejak KPK menetapkan Sjamsul dan Itjih Nursalim sebagai tersangka.
Kini, vonis lepas tersebut menjadi pertimbangan KPK menerbitkan SP3 terhadap Sjamsul dan Itjih Nursalim.
Bagaimana sebenarnya pertimbangan majelis hakim kasasi MA saat memvonis lepas Syafruddin Temenggung?
Majelis Hakim Kasasi MA Tak Satu Suara
Susunan majelis kasasi MA yang melepas Syafruddin terdiri dari Salman Luthan selaku Ketua Majelis ditemani Syamsul Rakan Chaniago dan Mohamad Askin masing-masing sebagai anggota majelis.
Saat memutus perkara Syafruddin, majelis kasasi tidak satu suara. Artinya terjadi dissenting opinion atau perbedaan pendapat.
ADVERTISEMENT
Majelis kasasi menyatakan dakwaan jaksa KPK terbukti, namun perbuatan Syafruddin dinilai bukan tindak pidana korupsi.
Hakim Syamsul Rakan Chaniago berpendapat perbuatan Syafruddin merupakan ranah perdata. Sedangkan Hakim Mohamad Askin menilai perbuatan Syafruddin merupakan perbuatan hukum administrasi.
Hanya Ketua Majelis, Hakim Salman Luthan, yang menilai perbuatan Syafruddin merupakan korupsi seperti putusan Pengadilan Tipikor Jakarta dan PT DKI Jakarta.
Dengan pertimbangan hukum tersebut, 2 hakim menilai tindakan Syafruddin bukan korupsi. Sementara hanya 1 hakim yang menilai Syafruddin bersalah melakukan korupsi. Sehingga putusan akhirnya melepaskan Syafruddin dari tuntutan pidana kasus tersebut.
4 Pertimbangan Vonis Lepas Syafruddin Temenggung
Berdasarkan salinan putusan kasasi, Hakim Syamsul Rakan dan Mohamad Askin memaparkan 4 pertimbangan yang menganggap putusan Pengadilan Tipikor Jakarta dan PT DKI keliru, serta tidak mempertimbangkan dengan benar mengenai penerbitan SKL untuk Sjamsul Nursalim.
ADVERTISEMENT
Berikut 4 pertimbangan Hakim Syamsul Rakan dan Mohamad Askin:
1. Bahwa kekeliruan pertama adalah judex facti lalai mempertimbangkan bahwa kelahiran BPPN lahir dari kondisi darurat atau tidak normal sehingga diberikan hukum yang khusus yang bersifat hukum darurat dan hukum lex specialis. Hukum darurat yang bersifat lex specialis ini diatur dalam UU Perbankan dan PP BPPN.
Kedua peraturan ini merupakan rezim hukum BPPN. PP BPPN ini merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dengan UU Perbankan. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 37 A ayat (3) huruf n UU Perbankan.
Wewenang sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf m, bunyi ketentuan Undang-Undang ini tidak lain adalah norma hukum yang ada dalam peraturan pemerintah turunan atau pelaksanaan dari Pasal 37 A Ayat (9) UU Perbankan. Ketentuan undang-undang ini sebagai politik hukum pemerintah diperkuat oleh Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 01/P/HUM/1999 yang menolak permohonan Uji Materi terhadap PP BPPN yang diajukan DPP Asosiasi Advokat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Salah satu pertimbangan MA dalam putusan ini adalah “Faktor emergency dan occasional demand" yang mendorong kelahiran Peraturan Pemerintah ini sebagai delegated legislation yang bersumber pada Pasal 37A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 ....., beralasan untuk dapat diterima sebagai salah satu jalan keluar yang tidak dapat dielakkan .....”.
2. Kekeliruan kedua, judex facti menganggap penerbitan SKL merupakan perbuatan Terdakwa selaku Ketua BPPN secara pribadi. Kekeliruan ini merupakan turunan dari kekeliruan memahami rezim hukum BPPN.
Menurut rezim hukum BPPN setiap perbuatan Ketua BPPN adalah perbuatan BPPN. Sebagai perbuatan BPPN, maka BPPN harus mendapatkan persetujuan KKSK. KKSK memiliki kewenangan yang kuat dan pengambilan keputusan oleh BPPN yakni harus mendapatkan persetujuan KKSK. Dengan demikian, setiap perbuatan BPPN menjadi sah kalau mendapatkan persetujuan KKSK. Keanggotaan KKSK terdiri atas para menteri di bidang ekonomi yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Ekonomi. Susunan keanggotaan KKSK ini merupakan wujud perwakilan dari pemerintah sehingga setiap perbuatan BPPN sesungguhnya juga mengikat secara hukum pemerintah. Penerbitan SKL oleh ketua BPPN dilakukan setelah mendapat persetujuan KKSK. Hal ini berarti, penerbitan SKL sah menurut hukum yang mengaturnya, yaitu rezim hukum BPPN dan merupakan perbuatan hukum pemerintah.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, walaupun penerbitan SKL dilakukan oleh Ketua BPPN namun pertanggungjawaban hukumnya adalah pemerintah karena pemerintah telah menjadi bagian dari pengambilan keputusan penerbitan SKL dan pemerintah tidak pernah melakukan penolakan kepada langkah penerbitan SKL.
3. Kekeliruan ketiga, judex facti menerapkan Undang-Undang Perbendaharaan Negara sebagai dasar hukum meletakkan penerbitan SKL sebagai perbuatan melawan hukum. Kekeliruan ini melawan tiga kenyataan hukum yang berkenaan dengan Undang-Undang Perbendaharaan Negara:
1). Kenyataan hukum pertama, Undang-Undang Perbendaharaan Negara dilahirkan untuk mengatur pelaksanaan ABPN dan APBD sebagaimana diperintahkan oleh Pasal 29 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
2). Kenyataan hukum kedua, BPPN bukan merupakan salah satu dari ruang lingkup objek pengaturan Undang-Undang Perbendaharaan Negara;
3). Kenyataan yang ketiga, subyek hukum yang tunduk pada Undang-Undang Perbendaharaan Negara adalah pejabat perbendaharaan yang disebut secara limitatif. Organ BPPN dan juga KKSK tidak masuk dalam daftar pejabat perbendaharaan negara menurut Undang-Undang Perbendaharaan Negara;
ADVERTISEMENT
4. Kekeliruan yang keempat, judex facti keliru menentukan waktu terjadinya kerugian keuangan negara. Kerugian keuangan negara yang dihitung oleh Penuntut Umum bukan pada saat penerbitan SKL tanggal 26 April 2004 dan bukan pada saat berhentinya Terdakwa sebagai Ketua BPPN dan juga bukan pada saat BPPN dinyatakan bubar pada tanggal 30 April 2004.
Kerugian negara baru dihitung pada saat penjualan aset Sjamsul Nursalim oleh Perusahaan Pengelolaan Asset (persero) dan Menteri Keuangan berdasarkan Keputusan Nomor 30/KMK.01/2005 tanggal 24 Mei 2007 kepada Konsorsium Neptune dari Group Charoen Pokphand - seolah-olah menjadi beban dan tanggung jawab Terdakwa (quod non), padahal Terdakwa sudah tidak menjabat sebagai Ketua BPPN pada tahun 2007 (tiga tahun setelah dinyatakan BPPN telah bubar). Penuntut Umum tidak dapat membuktikan perhitungan kekurangan nilai aset pada saat BPPN dinyatakan bubar tahun 2004 dengan nilai penjualan aset Syamsul Nursalim tahun 2007.
ADVERTISEMENT
Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut, meskipun Terdakwa terbukti melakukan perbuatan sebagaimana yang didakwakan tetapi perbuatan Terdakwa bukan tindak pidana karena :
1). Bahwa pemberian persetujuan atas penerbitan bukti pelunasan tersebut dilakukan oleh KKSK dan penerbitan SKL merupakan melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa (KKSK dan Menteri BUMN) yang berwenang sesuai dengan ketentuan yang diatur dan ditegaskan dalam Pasal 51 Ayat (1) KUHP;
2). Bahwa perbuatan Terdakwa tidak bertentangan dengan Undang- Undang Perbendaharaan Negara, karena Pasal 37 A UU Perbankan juncto PP Nomor 17 Tahun 1999 merupakan ketentuan Lex spesialis dari ketentuan umum sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Umum PP Nomor 17 Tahun 1999, Kewenangan BPPN tunduk pada Undang-Undang Perbankan bukan pada Undang-Undang Perbendaharaan Negara;
ADVERTISEMENT
3). Bahwa LHP BPK Nomor 12/LHP/XXI/ tanggal 25 Agustus 2017 tidak sesuai dengan Standar Pemeriksaan Audit yang diatur dalam Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017, yaitu tidak melakukan uji kelayakan atas bukti dokumen pendukung dalam LHP BPK tahun 2017 dengan dokumen atau informasi yang pernah diterima oleh Auditor BPK pada Tahun 2002 dan 2006 sebelumnya. Hal ini menunjukkan kerugian yang didalilkan Jaksa Penuntut Umum KPK bersifat in dubio pro reo, bahwa dalam hal timbul keraguan atau ketidakjelasan dalam menentukan suatu kejadian maka harus diputus dengan menguntungkan Terdakwa.
Bahwa berdasarkan ketentuan-ketentuan undang-undang dan peraturan sebagaimana diuraikan di atas maka dakwaan Penuntut Umum Kesatu melanggar Pasal 2, kedua, melanggar Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tidak tepat dan tidak dapat diterapkan pada perbuatan Terdakwa selaku Ketua BPPN Periode 2002 – 2004, yang melaksanakan kewajiban dan perintah undang-undang selaku Pejabat Penyelenggara Negara;
ADVERTISEMENT
Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, oleh karena permohonan kasasi Terdakwa cukup beralasan hukum, maka permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Terdakwa tersebut patut untuk dikabulkan dan menyatakan bahwa Terdakwa terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan, tetapi perbuatan Terdakwa tersebut tidak merupakan suatu tindak pidana, maka Terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.
Pertimbangan Hakim Salman Luthan
Sementara itu, Hakim Salman Luthan yang menyatakan perbuatan Syafruddin merupakan korupsi memiliki beberapa pertimbangan hukum.
Salman menyatakan, argumen Syafruddin yang menilai perkaranya merupakan ranah perdata atau administrasi tidak tepat.
Mengenai argumen perdata, Salman menilai argumen Syafruddin tidak tepat, lantaran perjanjian pelunasan utang BLBI Sjamsul Nursalim melalui perjanjian Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) mengandung cacat yuridis.
ADVERTISEMENT
Sebab ada misrepresentasi (informasi yang tidak jujur) dari Sjamsul Nursalim mengenai piutang BDNI sebesar Rp 4,8 triliun kepada petani tambak plasma, yang dijamin PT Dipasena Citra Darmaja (PT DCD) & PT Wachyuni Mandira (WM) sebagai Aqcuisition Company. Salman menyatakan Sjamsul Nursalim menginformasikan kepada BPPN bahwa piutang petani tambak merupakan piutang lancar/
"Tetapi sesungguhnya merupakan piutang macet (kredit macet petambak plasma kepada BDNI)," isi pertimbangan hukum Hakim Salman.
Menurut Salman, Syafruddin dengan wewenangnya sebagai Ketua BPPN kemudian menerbitkan SKL BLBI untuk BDNI. Sehingga negara kehilangan hak penagihan piutang kepada Sjamsul Nursalim sebesar Rp 4,8 triliun.
"Yang secara tidak langsung menimbulkan kerugian kepada negara sejumlah piutang tersebut bukan merupakan masalah perdata, tetapi merupakan masalah tindak pidana korupsi," kata Salman.
Salman berpendapat, kesalahan Syafruddin yakni mengatakan bahwa Sjamsul Nursalim tidak melakukan misrepresentasi terhadap utang petambak yang diserahkan ke BPPN. Hal itu disampaikan Syafruddin saat memimpin rapat di BPPN pada 21 Oktober 2003.
ADVERTISEMENT
Hal itu bertolak belakang dengan keputusan BPPN sebelum dipimpin Syafruddin yang menolak permintaan Sjamsul Nursalim agar utangnya ke BLBI dikurangi guna menutupi kerugian BPPN akibat adanya misrepresentasi. Sebab Sjamsul menyatakan aset petambak senilai Rp 4,8 triliun yang diserahkan ke BPPN untuk membayar utang BLBI sebagai piutang lancar.
Padahal hasil audit financial due dilligence (FDD) oleh Kantor Akuntan Publik Prasetio Utomo & Co (Arhtur Andersen) dan Legal Due Dilligence (LDD) oleh Kantor Hukum Lubis Gani Surowidjojo (LGS), menyatakan piutang BDNI kepada petambak merupakan kredit macet.
Namun karena berkukuh Sjamsul tak melakukan misrepresentasi, Syafruddin dalam sidang kabinet terbatas tanggal 11 Februari 2004 melaporkannya kepada Presiden Indonesia saat itu, Megawati Soekarnoputri.
Dalam rapat itu, Syafruddin menyatakan aset petambak milik Sjamsul yang diserahkan ke BPPN berjumlah Rp 3,9 triliun. Namun hanya Rp 1,1 triliun yang bisa ditagih BPPN ke petambak. Sedangkan Rp 2,8 triliun sisanya diusulkan untuk dihapus.
ADVERTISEMENT
"Namun pada rapat tersebut tidak ada penetapan utang petambak kepada BPPN," kata Salman.
Syafruddin kembali mengusulkan hal yang sama kepada Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) pada 12 Februari 2004. Padahal dalam rapat kabinet terbatas itu, tak ada penetapan untuk menghapus utang petambak Rp 2,8 triliun.
Sehari setelahnya, Dorojatun Kuntjoro-Jakti selaku Ketua KSSK menandatangani keputusan yang menyetujui usulan Syafruddin dengan menghapus utang petambak Rp 2,8 triliun.
Atas dasar itu, Syafruddin pada 26 April 2004 menandatangani SKL BLBI yang menghapus kewajiban Sjamsul Nursalim membayar utang BLBI.
Adapun terkait argumen perkaranya merupakan ranah administrasi juga ditolak Salman. Menurut Salman, meski perbuatan Syafruddin menerbitkan SKL berdasarkan wewenang formal yang dimilikinya, tetapi hal itu tidak sesuai dengan tujuannya menjabat Ketua BPPN, yakni menyehatkan perbankan dan mengusahakan penyelamatan uang negara.
ADVERTISEMENT
"Bahwa perbuatan terdakwa (Syafruddin) menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham kepada Sjamsul Nursalim bukan perbuatan hukum administrasi. Tetapi perbuatan melawan hukum yang masuk kualifikasi korupsi yang dilegalisasi dengan sebuah ketetapan/keputusan hukum yang dibuat oleh terdakwa tetapi tanpa dasar moralitas hukum dan moralitas jabatan," jelas Salman.