Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Meliput Konflik hingga Ditahan, Ini Cara Jurnalis Penyabet Nobel Atasi Ketakutan
14 Oktober 2021 15:14 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Pemenang Nobel Perdamaian 2021, Maria Ressa , sudah lama malang melintang di dunia jurnalistik. Jam terbangnya meliputi terjun ke wilayah konflik, hingga ditahan oleh kepolisian Filipina . Sebagai manusia biasa, tentu ia tetap merasakan ketakutan dan kekhawatiran.
ADVERTISEMENT
Ressa, dalam diskusi interaktif dengan media-media Indonesia, membeberkan bagaimana dia mengelola rasa takut ketika berhadapan langsung dengan ketidakpastian.
“Banyak orang yang berkata pada saya, ‘Anda tak kenal takut.’ Tidak, saya tetap merasa takut. Dan Anda tahu, kita pernah melalui waktu-waktu yang dipenuhi ketidakpastian. Dan yang Anda lakukan ketika hal tidak menentu, yaitu Anda harus memikirkan skenario-skenario,” jelas Ressa dalam bahasa Inggris pada acara IDN Media A Conversation with 2021 Nobel Peace Prize Laureate Maria Ressa, Kamis (14/10).
Ia kemudian mengisahkan ketika dirinya pindah ke Amerika Serikat (AS) di usia 10 tahun. Ketika bersekolah, ia menjadi satu-satunya keturunan Asia dan tidak bisa berbicara bahasa Inggris dengan baik.
“Tetapi, saya ingin belajar. Jadi, bagi saya, pelajaran yang saya dapatkan ketika saya berusia 10 tahun satu-satunya jalan untuk melawan rasa takut Anda, adalah dengan menghadapi rasa takut itu,” ungkap jurnalis asal Filipina ini.
ADVERTISEMENT
“Anda harus menyentuh rasa takut Anda, membayangkannya, memegangnya, dan menyaksikan sendiri bagaimana rasanya. Karena, rasa takut Anda tidak akan menjadi lebih buruk, jika sudah dibayangkan sebelumnya.”
Ressa mengisahkan pengalamannya saat meliput di Indonesia sekitar 1998 dan 1999, di mana banyak konflik yang terjadi usai runtuhnya rezim Orde Baru. Saat itu, ia menjadi penanggung jawab keselamatan tim di zona konflik.
“Kami [Ressa dan tim] pergi dari satu provinsi ke yang lain, dan akan selalu ada orang-orang yang saling bertempur satu sama lain. Sangat banyak memori, memori yang buruk, tetapi sebagai jurnalis, Anda belajar. Jadi, hadapilah rasa takut itu,” ujarnya.
Di Rappler, media Filipina yang didirikan dan dipimpin Ressa, cara kerja (workflow) mereka adalah dengan selalu menyiapkan skenario terburuk. Ketika lisensi Rappler dicabut oleh pemerintah Filipina pada Januari 2018, ia mengadakan rapat umum dengan seluruh jurnalisnya.
ADVERTISEMENT
“Saya menanyakan semua orang, saya memberi opsi, jika ini semua terlalu berat untuk Anda, tolong beri tahu kami. Kami akan pindahkan Anda ke newsroom lain.”
Salah satu persiapan skenario terburuk bagi jurnalisnya, kata Ressa, adalah dengan mempersiapkan nomor darurat. Jurnalis Rappler sebagian besar adalah anak muda, dan lebih dari setengahnya adalah perempuan. “Jika Anda mendapat kekerasan, jika Anda butuh bantuan, Anda telepon,” tegasnya.
Tak hanya itu, salah satu cara untuk membantu pengelolaan rasa takut adalah dengan dukungan keluarga. Keluarga, bagi Ressa, merupakan sumber kekuatan.
“Anda harus mengabari keluarga Anda. Anda harus mengabari apa yang harus mereka persiapkan dan harapkan--Anda harus menyusun workflows bagi mereka, ketika mereka mengkhawatirkan Anda,” ujarnya.
Hal terakhir, yang menurutnya sangat penting, adalah diri sendiri. Diri sendiri menjadi sumber ketakutan yang juga bisa menjadi pangkal dari kekuatan.
ADVERTISEMENT
“Apa pun yang Anda lakukan. Setiap konflik, semuanya bermula dari diri kita sendiri. Pertempuran di dalam diri sendiri, dalam tubuh sendiri, adalah yang harus Anda taklukkan. Sehingga, ketika benar-benar merasa takut, saya selalu memikirkan skenario terburuk dari semuanya,” pungkas Ressa.
Maria Ressa adalah jurnalis asal Filipina berprestasi. Ia terkenal dengan pena yang tajam dalam mengkritik rezim Presiden Rodrigo Duterte. Termasuk reportasenya soal kebijakan tidak manusiawi Duterte terhadap pengedar dan pemakai narkotika.
Ressa sendiri sungguh lekat dengan Indonesia. Jakarta pernah menjadi rumah Ressa pada era 1990-an, saat itu Ressa merupakan jurnalis CNN International. Kini, Ressa tumbuh dan berkembang pesat dengan media yang ia dirikan, Rappler.