Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Memahami Fenomena Santet dari Sudut Pandang Ilmu Sosial-Humaniora
12 Juni 2024 18:12 WIB
·
waktu baca 6 menitADVERTISEMENT
Keberadaan ilmu hitam di Indonesia kembali mencuat usai Soeparwati, istri dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dr Zainal Arifin Ahmad, terkena santet .
ADVERTISEMENT
Sejumlah benda logam seperti paku hingga jarum keluar dari tubuhnya. Kondisi Soeparwati pun mulai membaik setelah dirukiyah oleh Ustaz Muhammad Faizar.
"Beliau menceritakan apa yang dikeluhkan mulai dari paku yang keluar dari muntahan kemudian nyangkut di tenggorokan, kemudian jarum keluar dari pori-pori kulit, habis itu lempengan tembaga yang di usus semuanya terjadi secara misterius," kata Ustaz Faizar melalui sambungan telepon, Selasa (11/6).
Lantas, bagaimana ilmu sosial dan humaniora menjelaskan fenomena santet di masyarakat? Mengapa praktik santet masih eksis di era modern saat ini?
Perkembangan Santet di Masyarakat Jawa
Saat kita mencoba mencari tahu soal santet di internet, santet di masyarakat Jawa jadi yang paling banyak dibahas. Mulai dari jurnal penelitian hingga tulisan skripsi. Bahkan, pada Juli hingga Desember 1998 silam, sekitar 116 orang yang dituduh dukun santet di Banyuwangi tercatat tewas dibunuh secara misterius.
ADVERTISEMENT
Dosen Sastra Jawa Universitas Indonesia (UI), Prapto Yuwono, mengamini terkait santet yang selalu diasosiasikan oleh masyarakat Jawa. Hal ini tak terlepas dari keberadaan Jawa sebagai kebudayaan tertua di Indonesia. Selain itu, kebudayaan Jawa jadi salah satu yang memiliki sistem literatur cukup terorganisir melalui primbon.
Hasilnya, kata Prapto, banyak informasi mengenai kebudayaan Jawa yang terdokumentasi dengan baik dalam literasi. Pencatatan mengenai santet dalam literatur Jawa inilah yang membuat santet masih eksis di kalangan masyarakat Jawa dibandingkan dengan suku-suku bangsa lain.
"Memang budaya Jawa atau peradaban Jawa ini adalah yang tertua. Pengalaman-pengalaman berkaitan dengan kehidupan ini luar biasa. Kalau Anda lihat primbon Jawa itu kan isinya bermacam-macam yang berkaitan dengan kepercayaan orang Jawa ya. Di dalam primbon juga ada catatan mengenai persantetan, peneluhan, dan sebagainya. Hanya literatur Jawa yang mencatatkan semua," jelas Pripto kepada kumparan, Rabu (12/6).
ADVERTISEMENT
Menurut Prapto, santet sebenarnya dapat dipahami sebagai penyimpangan dari kepercayaan masyarakat Jawa sendiri. Prapto menjelaskan sebelum agama samawi masuk di kawasan Indonesia, masyarakat Jawa sudah memiliki sistem kepercayaan kuno yang disebut Kapitayan.
Kapitayan, kata Prapto, merupakan sistem kepercayaan yang berprinsip pada kehadiran Tuhan. Mereka percaya akan keberadaan Tuhan yang Maha Esa.
"Kapitayan itu adalah agama asli orang Jawa yang percaya kepada Tuhan, sebagai sang yang san ono, tunggal. Jadi orang Jawa itu sejak masa pra-sejarah sebelum datang agama sudah percaya itu. Jadi dalam kehidupan dia menghayati bahwa semua alam ciptaan Tuhan, itu tunggal," jelas Prapto.
Mereka sudah percaya dengan penghayatan Tuhan yang bisa melihat dan mendengar. Masyarakat Jawa sudah percaya Tuhan yang mampu mengayomi dalam kehidupan. Ini yang disebut Prapto bahwa masyarakat Jawa sudah memiliki kehidupan terkendali, karena kepercayaan mereka terhadap Tuhan.
ADVERTISEMENT
Seperti masyarakat beragama pada umumnya, kata Prapto, mereka yang meyakini Tuhan selalu menerima godaan. Salah satunya adalah melibatkan intervensi dari dunia lain [gaib].
"Kapitayan mencari Tuhan dengan perhayatan apa pun dilakukan. Dengan kuasa, dengan bertapa, dengan Nyepi di gunung-gunung, itu sebenarnya perhayatan kepada Tuhan. Tetapi dalam proses mencari Tuhan itu banyak kendala. Kendalanya adalah intervensi dunia lain, yang bukan Tuhan, " tuturnya.
"Adalah makhluk ciptaan Tuhan yang bukan manusia ya. Ya setan, iblis, genderuwo, dan sebagainya itu. Itu yang mencoba dalam mencari Tuhan, orang Jawa disesatkan oleh mereka. Sehingga ini yang akhirnya dikatakan orang Jawa itu, seringkali kelihatannya nyelenik (Klenik)," sambung Prapto.
Prapto lalu menyebut ada orang-orang yang mencari jalan lain selain Tuhan, yaitu dengan Klenik untuk keperluannya sendiri. Selain itu, ada juga yang memanfaatkan santet untuk mencelakai orang lain. Hal ini yang disebut Prapto membuat masyarakat Jawa lekat dengan pencitraan santet.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, menurutnya, santet pada akhirnya harus kembali dilihat dalam persoalan sulitnya kondisi sosial politik di masyarakat. Alhasil, kata Prapto, santet akan selalu ada bahkan hingga di era modern saat ini.
"Akhirnya, masyarakat butuh kepastian hidup. Oh, ternyata ada jalan dunia lain yang dulu pernah di nenek moyang kita lakukan. Akhirnya, keserakahan hingga [motif] cari kekayaan menguasai pribadi mereka," pungkasnya.
Tidak Ada Eksplanasi yang Memadai
Dosen Antropologi Sosial UI, Irfan Nugraha, menyebut fenomena santet tidaklah mesti harus dilihat sebatas benar atau tidak. Menurut mahasiswa S3 di SOAS University of London ini, fenomena tersebut juga tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang kontra sains. Yang terpenting, kata dia, antropologi melihat bahwa masih banyak manusia yang percaya santet itu ada.
ADVERTISEMENT
"Dalam antropologi, tradisi kebanyakan [diartikan] sebagai religion ya. Satu bagiannya kan tentang belief system, sistem keyakinannya. Dan ada penelitian yang khusus tentang apa yang dinamakan definisi tentang konsep magic itu sendiri. Magic itu sebenarnya adalah sistem keyakinan," jelas Irfan kepada kumparan, Rabu (12/6).
Menurut Irfan, santet masuk dalam konsepsi soal sihir tersebut. Santet, kata Irfan, termasuk dalam sistem kepercayaan yang pragmatis atau fenomena yang tidak dapat dipisahkan dari konteksnya. Mulai dari kondisi sosial, politik, maupun ekonomi.
Irfan lalu mencontohkan bagaimana proses seseorang bisa mempercayai sebuah peristiwa dialami sebagai santet. Hal itu, kata dia, bisa terjadi saat seseorang tidak bisa mendapatkan penjelasan yang masuk akal seperti paku yang tiba-tiba ada di dalam tubuh seseorang.
"Apa yang mereka alami jangan-jangan hal-hal yang sebenarnya dekat dengan esensi atau hal-hal basic atau hal-hal berdasarkan kehidupan itu. Misalnya, soal kesakitan, kita tahu bahwa orang itu mungkin belum mencari jawaban ke mana-mana [atas rasa sakitnya itu]. Mungkin secara rasional, secara masuk akal, secara dunia, mereka tidak mendapatkan [jawaban], sehingga dia bisa mengkomunikasikan bahwa itu magic," tutur Irfan.
ADVERTISEMENT
Ketika seseorang mengasosiaskan sebuah peristiwa sebagai santet, kata Irfan, itu tak lepas dari situasi kebudayaan yang mengitari hidupnya. Ketika sebuah masyarakat memiliki konsepsi tentang santet, kata dia, maka orang akan mengatribusikan peristiwa masuknya paku ke dalam tubuh sebagai santet.
"Bahkan, lebih intens ya di Indonesia, karena masuk diskursus secara populer dan kita sudah paham kalau ada konsep itu [santet]," jelas Irfan.
"Kayak tadi, misalkan kita sakit, sudah cari dokter ke mana-mana, kita juga sering dengar cerita kayak gitu, jangan-jangan disantet dan kita pun percaya," tutupnya.
Bisakah Pelaku Santet Dipidana?
Kini pelaku santet bisa dipidanakan merujuk pada pasa 252 KUHP baru, yaitu UU 1/2023. Meski begitu, undang-undang ini baru bisa berlaku di tahun 2026 mendatang. Bunyinya sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
(1) Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
(2) Jika Setiap Orang sebagaimana dimaksud ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah 1/3 (satu per tiga).
Dengan pidana denda dalam Pasal 252 ayat (1) UU 1/2023 sebesar Rp200 juta.