Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Ada seorang dosen jurusan Sejarah di sebuah universitas di Jakarta bertanya pada mahasiswanya yang baru masuk tahun pertama kuliah.
ADVERTISEMENT
“Siapa tokoh sejarah Indonesia yang paling berpengaruh dalam merebut kemerdekaan menurut kalian?” tanya dosen tersebut.
Jawaban beragam pun keluar. Paling banyak menyebut dwitunggal Sukarno-Hatta. Alasannya sederhana, merekalah proklamator, yang menjadi promotor kemerdekaan setelah dijajah bangsa lain.
Ada juga yang menjawab HOS Tjokroaminoto. Guru bangsa, mentor dari tokoh bangsa seperti Bung Karno hingga tokoh komunis Muso.
Sementara, ada satu mahasiswa perempuan yang terlihat betul menggemari sejarah Indonesia menjawab nama lain dengan lugas. Tan Malaka, katanya.
Sambil menjelaskan singkat isi buku yang pernah baca seperti ‘Madilog’, ia menggambarkan betapa krusial peran Tan Malaka dalam memperjuangkan kemerdekaan.
Diskusi pun menghangat, sang dosen tak menyalahkan pendapat siapa pun. Namun, ia terus memancing dan berupaya memaksa semua mahasiswa bercerita soal sosok ‘pahlawan’ idealnya.
ADVERTISEMENT
Sampai ada seorang mahasiswa berkemeja putih mengangkat tangan dan menyebut seorang tokoh yang tak pernah disebut.
“Mohammad Natsir , Mas,” kata dia.
Sang dosen bertanya, mengapa kamu pilih Natsir? Apa yang istimewa?
Ia pun bercerita singkat soal perdebatan Natsir dan Sukarno soal Islam dan Negara. Bagaimana awalnya tahun 1940 Sukarno menulis di majalah ‘Pandji Islam’ soal “Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara?”
Secara singkat Sukarno menginginkan Islam harus terpisah dari negara. Sukarno mencontohkan Turki, menurutnya negara itu bisa maju karena memisahkan keduanya tanpa saling mengabaikan.
Yang menarik dari Natsir menurut mahasiswa itu, ia tak serta merta memaksakan sistem kekhalifahan meski mengedepankan Islam.
Menurut Natsir, Negara diperlukan untuk menjalankan nilai-nilai Islam. Natsir memahami bahwa lembaga Negara adalah sebuah struktur yang sesuai untuk membantu menerapkan hukum Islam, berbeda dengan Sukarno yang lebih menekankan sosialisasi ajaran Islam di kalangan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Sang dosen kemudian tertarik membahas lebih dalam soal Natsir. Namun tidak hanya soal perdebatan ideologis, tetapi perjuangannya dulu melalui bidang pendidikan. Ia pun bercerita.
Perjuangan Awal Natsir
Wilayah Hindia-Belanda memasuki tahun 1930 memiliki penduduk berjumlah sekitar 60 juta jiwa. Dari sekian banyak penduduk tersebut, hanya sedikit dari mereka yang mampu untuk mengecap pendidikan.
Pendidikan adalah masalah masyarakat, masalah kemajuan yang sangat penting, lebih penting dari masalah yang lain-lain.
Sementara pendidikan bagi Natsir adalah awal dari perkara lainnya seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, maupun masalah lainnya.
Langkah awal Natsir dalam membangun kesadaran masyarakat muslim melalui bidang pendidikan dimulai tahun 1927, yakni mengadakan kursus-kursus terbatas pada lingkungan Persis. Nama sekolah atau tempat kursus itu diberi nama Pendis atau Pendidikan Islam.
ADVERTISEMENT
Murid-murid yang kursus adalah mereka yang sudah menamatkan sekolahnya di HIS, tetapi tidak bisa melanjutkan pendidikan ke tingkat selanjutnya.
Mata pelajaran yang diajarkan pada kursus tersebut adalah pengetahuan umum dan Bahasa Inggris, tentu yang utama adalah Pendidikan Agama Islam.
Kelas pertama yang dibuka pada kursus tersebut dihadiri oleh lima orang murid, pertama kali diselenggarakan dalam waktu dua jam setiap harinya dan pada waktu sore hari.
Kursus ini bertempat di sebuah ruangan yang disewanya di simpang Jalan Pangeran Sumedang, tepatnya Jalan Lengkong Besar No 16, Bandung, Jawa Barat.
ADVERTISEMENT
Natsir pernah sampai berpindah dari rumah kontrakannya kemudian memutuskan untuk tinggal di sekolah rintisannya. Kesibukannya di sekolah ini membuat Natsir terkesan mengabaikan aktivitas lainnya, termasuk sebagai kontributor utama majalah keluaran Persis, Pembela Islam.
Natsir juga yang kemudian memperkenalkan materi sistem administrasi di pesantren tersebut mulai tahun 1936.
Meski tetap didasari dengan melihat peluang yang ada, Pendis merupakan proyek idealis dari seorang Natsir, seperti apa yang dikemukakanya dalam Capita Selecta, pendidikan adalah masalah masyarakat, masalah kemajuan yang sangat penting sekali, lebih penting dari masalah yang lain-lain.
Tak Ada di Kamus Sejarah Kemendikbud
Namun terlepas dari itu, belakangan ini ada polemik menarik soal Kamus Sejarah Indonesia Jilid I yang disusun Kemdikbud.
ADVERTISEMENT
Di sana memaparkan ratusan tokoh nasional maupun asing. Nama-nama tenar seperti Sukarno, Tjokro, maupun tokoh PKI DN Aidit ada.
Namun justru tokoh sebesar Natsir tidak ada. Seperti pendiri Nahdlatul Ulama KH Hasyim Asyari pun tak ada.
Padahal peran keduanya begitu besar. Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid sudah meminta maaf dan mengaku teledor. Mendibud Nadiem Makarim juga memerintahkan adanya koreksi.
"(Saya) Menugaskan Dirjen Kebudayaan menyelesaikan masalah dan melakukan koreksi. Saya perintahkan langsung di Kemendikbud menyempurnakan kamus yang sempat terhenti, dilanjutkan lebih cermat secara teknis dan lebih mewadahi pemangku kepentingan termasuk NU," kata Mendikbud Nadiem Makariem, Rabu (21/4).