Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Mencari Enny Arrow, “Ratu” Erotika Indonesia
24 Juli 2017 7:28 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
ADVERTISEMENT
Enny Arrow.
Namanya pernah begitu populer pada era 1970-an dan 1980-an. Buku-buku tipis bertuliskan “Enny Arrow” pada sampulnya menjadi dambaan dan incaran para remaja pria kala itu.
ADVERTISEMENT
Dijual secara sembunyi-sembunyi di kios-kios buku bekas, lapak buku kaki lima, atau tukang koran, buku itu ditawarkan kepada bocah-bocah lelaki tanggung dan pekerja kantoran berkemeja--yang kebanyakan menyambut dengan mata berbinar.
Dalam sebuah forum di Kaskus berjudul “Cerita Enny Arrow yang Hits Tahun 80-an”, para Kaskuser ramai berbagi kenangan tentang pengalaman mereka dengan buku-buku Enny Arrow. Bagi mereka, Enny Arrow adalah legenda.
Salah satu di antara mereka bercerita, betapa novel tipis itu menjadi rebutan kawan pria sekelas, hingga akhirnya halaman per halamannya disobek untuk dibaca bergiliran dengan diedarkan dari meja ke meja demi “keadilan” dan “kebahagiaan” antarteman.
Namun seorang Kaskuser yang ketahuan menyimpan buku Enny Arrow di tas saat SMP, dihukum gurunya. Ia dijemur di lapangan dengan postur tegak dan tangan kanan terangkat untuk hormat ke bendera. Sehari penuh.
ADVERTISEMENT
Jadi, agar tak ketahuan Bapak dan Ibu Guru--yang sudah pasti murka jika tahu murid-muridnya membaca karya legendaris Enny Arrow, lembaran-lembaran novel itu disembunyikan di balik buku pelajaran atau buku tulis.
Sungguh luar biasa banyak akal demi melahap sebuah edisi Enny Arrow.
Memang ada apa dengan Enny Arrow, sampai-sampai penggemarnya sedemikian militan?
Anda hanya perlu melihat sampul novelnya untuk membayangkan seperti apa isi cerita di dalam lembaran-lembaran “menyihir” itu.
Sampul-sampul novel Enny Arrow biasa berhias gambar perempuan cantik atau berpose sensual. Tak jarang dengan aurat diumbar. Atau gambar sejoli sedang bermesraan. Sungguh aduhai.
“Itu bacaan porno. Semua anak SMA pada masa itu tahu. Buku-bukunya dikoleksi, jadi bagian dari gaya hidup anak muda waktu itu--popular culture Indonesia. Isinya hanya tentang bagaimana karakter-karakter ceritanya melakukan hubungan seksual. Betul-betul fiksi porno,” kata mantan pemimpin redaksi Majalah Playboy, Erwin Arnada, kepada kumparan, Jumat (21/7).
ADVERTISEMENT
Karya Enny Arrow itulah yang semula hendak dibedah pada “Diskusi Sastra Erotika: Membaca Enny Arrow” di Semarang, Selasa (25/7). Namun acara tersebut kini ditunda atas imbauan kepolisian setempat, karena kekhawatiran atas materi yang sensitif.
Maksud dari “sensitif” itu tentu saja berbau pornografi. Dan ini mengarah pada pertanyaan berikutnya: apakah pornografi sama dengan erotika?
Secara literal, erotika memiliki arti “karya sastra bertema atau bersifat keberahian.” Sementara pornografi ialah “penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu berahi.”
Dari kacamata awam, keduanya tampak tak ada bedanya. Namun hal itu akan kita bahas terpisah.
Kembali ke Enny Arrow. Siapa dia? Bagaimana ia bisa menjadi “ratu” erotika Indonesia?
Tentang sosok Enny Arrow di balik novel-novel penuh gairah yang biasa disebut stensilan itu, hingga kini berselimut misteri. Enny Arrow sekadar nama pena, dan wajah si pengarang yang sesungguhnya, entah siapa pernah bertemu dengannya.
ADVERTISEMENT
Goodreads, situs jaringan sosial katalogisasi buku, menyebut Enny Arrow “terlahir dengan nama Enny Sukaesih Probowidagdo di Desa Hambalang, Bogor, tahun 1924. Ia memulai karier sebagai wartawan pada masa pendudukan Jepang, belajar steno di Yamataka Agency, kemudian direkrut menjadi salah satu propagandis Heiho (Pasukan Pembantu) dan Keibodan (Barisan Pembantu Polisi).”
Pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, juga menurut keterangan yang tercantum pada Goodreads, Enny bekerja sebagai wartawan republikan. Ia memantau pertempuran di seputaran Bekasi.
Tahun 1965, saat pembantaian besar menumpas PKI dan golongan kiri berlangsung di Indonesia, Enny disebut menulis cerita berjudul “Sendja Merah di Pelabuhan Djakarta”. Karangan itu kali pertama Enny memakai nama samaran sebagai “Enny Arrow”.
Dan dari mana nama “Enny Arrow” didapat Enny Sukaesih?
Masih kata Goodreads, Arrow--yang juga nama merek mesin jahit--ialah nama toko penjahit di dekat Kalimalang, perbatasan Jakarta Timur-Bekasi, yang pernah menjadi tempat kerja Enny Sukaesih sebagai penjahit pakaian.
ADVERTISEMENT
Pasca-G30S yang mengubah wajah Indonesia, Enny melanglang buana. Ia pergi ke Filipina, Hong Kong, dan Amerika Serikat. Di AS itu, Enny lantas mempelajari penulisan kreatif, bahkan mengirimkan sejumlah tulisannya ke koran-koran di negeri Paman Sam.
Enny Arrow alias Enny Sukaesih kembali ke Indonesia pada 1974 dan bekerja di salah satu perusahaan asing di Jakarta sebagai penulis naskah (copywriter) atas berbagai kontrak bisnis. Pada masa-masa inilah Enny disebut menulis puluhan karya erotisnya, yang kemudian mendapat sambutan hangat dari sejumlah penerbit rakyat di Pasar Senen, Jakarta Pusat.
Siapapun yang menuliskan profil Enny Arrow di Goodreads, ia terlihat mengagumi sang pengarang. Enny digambarkan sebagai “penantang atas sastra-sastra yang berpihak kepada pemodal, sebab sampai kematiannya tahun 1995, dia menolak bukunya dijual di toko-toko buku besar dan tak satupun orang Indonesia yang tahu siapa Enny Arrow.”
ADVERTISEMENT
Si penulis profil bahkan menutup paparan panjangnya dengan kalimat “Enny Arrow adalah mutiara terbesar Indonesia pada era Orde Baru.”
Oke, setop dulu di situ. Saya yakin perdebatan sontak menyeruak.
“Mutiara terbesar? Enny Arrow?”
Agung Hima dari Dewan Kesenian Semarang, penyelenggara “Diskusi Sastra Erotika: Membaca Enny Arrow” yang kini ditunda, menyatakan Enny Arrow kemungkinan memang bernama asli Enny Sukaesih.
“Saya sendiri belum pernah bertemu orangnya, dan justru melalui diskusi itu kami ingin sekaligus menelusuri kembali sosoknya. Sebab saya masih sangat yakin, sastrawan Indonesia mengakui keberadaan Enny Arrow,” ujar Agung saat berbincang dengan kumparan, Sabtu (22/7).
Dewan Kesenian Semarang menyatakan tak bermaksud menimbulkan gejolak dengan berniat menggelar diskusi tentang karya Enny Arrow.
ADVERTISEMENT
“Hanya ayo hargai apapun bentuk karya sastra. (Novel Enny Arrow) terkenal sekali periode 1970-1990-an. Hampir setiap laki-laki baca itu. Ketika kita bicara erotika secara teks, memang ada nama-nama lain seperti Fredy S., Mira W., Abdullah Harahap, Motinggo Busye. Tapi pionirnya ya Enny Arrow,” kata Agung.
“Mari telusuri bersama (siapa penulisnya). Karena sebenarnya sastra erotika punya sejarah panjang, dan sudah sangat lama berkembang. Namun ia dianggap tabu ketika masuk ke Timur, meski diteliti di Barat,” ujar Agung.
Harri Gieb yang disebut pernah meneliti tentang Enny Arrow, mengatakan tak tahu siapa penulis profil Enny di website Goodreads. Ia lantas menyodorkan sejumlah nama lain yang mungkin, menurutnya, lebih paham mengenai Enny Arrow, termasuk mantan pemred Majalah Playboy Erwin Arnada.
ADVERTISEMENT
Erwin blakblakan tak sepakat tulisan Enny Arrow disebut sastra. Bagi Erwin, sebutan “sastra erotika” terlalu muluk-muluk untuk sebuah bacaan cabul.
“Saya merasa janggal dengan terminologi sastra erotika. (Novel Enny Arrow) itu porno. Itu konyol. Fiksi porno kok masuk kategori karya sastra. Itu konyol. Sastra mestinya punya nilai. Cerita fiksi tentang orang melakukan hubungan seksual. Di mana nilainya? Itu cuma stensilan.”
Lebih lanjut, Erwin bahkan meyakini sosok Enny Arrow sesungguhnya tak ada. Alias tidak ada orang dengan nama Enny Arrow, dan tak ada pula sosok individu di balik “Enny Arrow”.
“Dulu, saat saya menjadi wartawan di Majalah Editor, tahun 1990, saya bertemu dengan mahasiswa-mahasiswa di satu kampus yang dibayar untuk membuat cerita (Enny Arrow). Satu cerita dibayar Rp 15.000-20.000, diserahkan ke penerbit di Senen. Jadi Enny Arrow bukan orang, itu penerbit,” ujar Erwin.
ADVERTISEMENT
“Saya ketemu mereka (mahasiswa-mahasiswa penulis novel Enny Arrow) tahun 1990. Tapi Enny Arrow lebih terkenal tahun 1980-an,” imbuhnya.
Khatibul Umam, dosen penulisan kreatif Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro yang mestinya menjadi pembicara di “Diskusi Sastra Erotika: Membaca Enny Arrow”, punya penjelasan sendiri atas temuan Erwin.
“Semula dia (Enny Arrow) menulis sendiri. Namun dalam konteks industri perbukuan, semua orang bisa menulis, dan akhirnya Enny Arrow jadi merek dagang, di mana setiap orang atas pesanan penerbit bisa memakai nama ‘Enny Arrow’ atau ‘Fredy S.’ untuk produk-produk mereka (yang dibuat menyerupai karya sang penulis asli).”
Peneliti yang berada di wilayah ilmiah, ujar Khatibul, mencoba melacak mana yang betul-betul tulisan Anny Arrow, dan mana yang tiruan. Namun riset atas itu terkendala karena buku-buku Anny Arrow kini sukar ditemukan.
ADVERTISEMENT
“Akses terhadap buku sulit karena buku-bukunya sekarang jadi buruan kolektor, jadi memorabilia yang diborong,” kata Khatibul.
Teori Khatibul, bahwa Enny Arrow benar ada meski akhirnya nama dia menjadi merek dagang, bisa jadi benar. Sebab sejumlah penggemar setianya mengatakan dapat membedakan antara novel yang asli dan palsu.
Seorang Kaskuser yang langganan membaca karya Enny Arrow saat SMP berkata, “Ada dua jenis novel Enny Arrow: yang asli tulisan Enny Arrow, dan yang abal-abal. Keduanya bisa dibedakan dari bahasa dan gaya penulisannya.”
“Yang abal-abal kebanyakan tak jelas jalan ceritanya, langsung tembak (adegan seks) dan pakai gambar vulgar. Sementara yang asli ada alur ceritanya, lebih enak dibaca, dan nggak pakai gambar vulgar di dalam cerita. Pure hanya teks.”
Industri novel stensilan mau tak mau pernah jadi bagian dalam kebudayaan populer Indonesia. Yang menarik, ujar Khatibul, sastra erotika mulai berkembang pada era Orde Baru seiring kebijakan pemerintah memberangus semua hal beraroma kiri.
ADVERTISEMENT
“Penulis kiri dan buku bertema kiri dilarang, direpresi, kemudian booming cerita erotika yang akhirnya jadi budaya massa pada era tertentu. Jadi ini bagian dari ekspresi massa, bahwa hal tabu juga harus ada salurannya.”
Khatibul berpendapat, semua karya fiksi adalah sastra, baik yang dinilai high culture atau adiluhung (bermutu tinggi), atau low culture.
Eka Kurniawan, penulis Indonesia yang kerap disebut “The Next Pramoedya Ananta Toer” dan salah satu novelnya--Lelaki Harimau--masuk nominasi The Man Booker International Prize 2016, dalam salah satu jurnalnya yang berjudul “Membayangkan Enny Arrow sebagai Tonggak Kesustraan Indonesia” mengisyaratkan “ketakpedulian” dia dengan kategorisasi sastra.
Selama pembaca senang dengan suatu karya dan menggandrunginya, ya sudah, itu hak mereka. Begitu kira-kira kata Eka--yang juga membaca novel Enny Arrow ketika remaja.
ADVERTISEMENT
Pada jurnal lain miliknya berjudul “Kita Semua Medioker dengan Cara Sendiri”--yang sesungguhnya tak membahas soal Enny Arrow, Eka mengatakan, “... iklan obat kuat bisa sama pentingnya dengan Tetralogi Buru Pramoedya, dari aspek semiotik, sejarah, maupun estetik. Bahwa segala sesuatu, termasuk kebenaran, adalah konstruksi pemaknaan yang relatif.”
Lalu siapa Enny Arrow?
Ah, tak ada yang tahu pasti. Mungkin.