Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Selalu ada cerita dari Jakarta. Kali ini adalah soal Freemasonry , organisasi yang masih dipandang abu-abu oleh sebagian masyarakat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Ya, Freemasonry kerap kali dilekatkan dengan orang-orang yang menyembah setan. Tapi apa benar seperti itu?
Dilihat dari Anggaran Dasarnya, tertulis Freemason adalah pandangan hidup jiwa yang timbul dari dorongan batin, yang mengungkapkan dirinya dalam upaya berkesinambungan untuk mengembangkan semua sifat roh dan hati nurani yang dapat mengangkat manusia dan umat manusia ke tingkat susila dan moral yang lebih tinggi.
Freemasonry hadir ke Indonesia dibawa oleh orang-orang Belanda pada abad ke-18. Adapun tokoh sentralnya adalah Jacob Cornelis Mattheus Radermacher, putra seorang suhu agung (Ketua Umum) Freemason pertama di Belanda Joan Cornelis Radermacher.
Freemasonry nyatanya banyak meninggalkan jejaknya di Jakarta. Loji-loji tempat beraktivitas para anggota, kini masih berdiri tegak di sudut-sudut Ibu Kota.
ADVERTISEMENT
“Jadi pada satu setengah abad (Freemason hadir ke Indonesia) kemudian sudah ada 3 loji terbesar, di Weltevreden ya di Batavia (Jakarta kini) kemudian di Semarang, dan Surabaya,” kata sejarawan Universitas Indonesia, Agus Setiawan kepada kumparan, Jumat (10/8).
Sekilas, jika melintas di beberapa tempat mungkin tidak terbayang, tempat tersebut merupakan markas di mana para anggota Freemason pernah bersarang.
Sebut saja gedung Kimia Farma yang terletak di Jalan Budi Utomo, Jakarta Pusat. Menurut Th. Stevens gedung tersebut pernah difungsikan sebagai loji antara tahun 1854 dan 1934.
Pada masa itu, loji ini terkenal sebutan dengan nama De Ster in het Oosten atau Bintang Timur. Dulu, jalan yang berada di depan loji ini bernama jalan Vrijmetselaar weg atau kalau diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia berarti jalan Freemason.
ADVERTISEMENT
Loji ini kemudian dipindahkan ke sebuah gedung baru yang dinamakan Adhuc Stat, kini jadi gedung Bappenas.
kumparan berkesempatan mengunjungi sebuah loji yang kini telah menjadi gedung Bappenas di jalan Suropati, Jakarta Pusat. Bangunan utama gedung utama memang bernuansa Kolonial. Atap-atapnya pun tinggi menjulang, bukan layaknya kebanyakan bangunan di Indonesia.
Dari informasi seorang staf Bappenas yang telah bekerja puluhan tahun di sana, di lantai paling atas gedung ini, dulu para anggota Freemason di Hindia Belanda (sebutan Indonesia kala penjajahan Kolonial Belanda) mengadakan pertemuan.
“Ini gedung lama yang menjadi kegiatan Freemasonry. Di sini di ruang ini. Jadi bentuknya sudah berubah. Kalau malam Jumat ngeri,” kata staf Bappenas, Irawan Kadiman tanpa merinci lebih lanjut.
ADVERTISEMENT
Simbol-simbol Freemason di Museum Prasasti
Selain meninggalkan jejak berupa loji, simbol-simbol Freemason juga masih terpajang di jantung kota Jakarta, tepatnya di Museum Prasasti.
Selasa pagi itu, duduk sendiri seorang satpam museum. Di belakangnya duduk di sebuah ruang kecil petugas penunggu loket.
“Lima ribu,” katanya menyebut harga tiket.
Setelah tiket di genggaman, pandangan mata langsung pada nisan-nisan model Belanda yang berukuran besar. Dari penuturan seorang pemandu museum, dulunya nisan-nisan tersebut “berpenghuni”. Namun, karena hendak dijadikan museum, mayat yang ada dipindahkan atau dipulangkan ke tempat asalnya.
Di sana mayoritas adalah nisan orang-orang Belanda. Namun, ada juga nisan bertuliskan huruf China, Ibrani, dan juga makan tokoh muda Soe Hok Gie.
ADVERTISEMENT
Di museum seluas 1,8 hektar itu, beberapa nisan terukir di dalamnya simbol-simbol yang erat dengan freemason.
Pertama, kumparan menjumpai nisan yang terukir di dalamnya jam pasir. Makam tersebut milik Nicolas Pascal yang meninggal tahun 1877. Jam pasir melambangkan waktu yang kekal di kehidupan manusia yang hanya sebentar. Selain itu, benda ini juga dianalogikan sebagai simbol antara atas dan bawah atau langit dan bumi.
Langkah kaki kemudian bergerak ke sisi yang lain. Layaknya museum pribadi, di tempat yang luas ini hanyalah saya seorang diri pengunjung yang datang.
Di tengah perjalanan, simbol Freemason kembali ditemukan. Kali ini adalah simbol tengkorak dan tulang yang bersilang. Simbol tersebut terdapat di makam J.H. Horst yang meninggal tahun 1849. Simbol ini merujuk pada sifat dunia yang sementara dan seruan kebangkitan spiritual serta intelektual.
Satu jam berkeliling museum, beberapa simbol Freemason berhasil ditemukan. Seolah semakin menegaskan, Freemason memang dahulu hidup subur di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Keluar dari pintu gerbang museum, ternyata masih ada nisan-nisan yang berjajar di kanan kiri bangunan. Salah satu nisan di samping pintu masuk memiliki simbol khas Freemasonry. Simbol mata satu, segitiga, kotak dan kompas terukir dalam satu garis. Simbol-simbol tersebut terdapat dalam nisan seorang bernama Lodewyk Schneider.
Sementara, soal simbol-simbol tersebut, ada arti sendiri di baliknya.
Mata satu pertama kali muncul sebagai ikonografi Freemasonry pada 1797. Mata satu dianggap sebagai mata Ilahi, atau mata Tuhan yang melihat segalanya. Simbol ini biasanya dikelilingi segitiga dan pancaran cahaya atau gloria.
Mengutip laman The Grand Lodge of British Columbia and Yukon, mata satu menjadi simbol kewaspadaan, dan perhatian Ilahi atas alam semesta.
ADVERTISEMENT
Simbol tersebut juga sebagai pengingat, pemikiran dan perbuatan anggota selalu diamati oleh Tuhan--yang disebut sebagai Arsitek Agung Semesta.
Selanjutnya, simbol kotak mewakili moralitas dan simbol kompas melambangkan kekuatan untuk membatasi keinginan serta menjaga gairah hidup dalam batas tertentu.
Kedua simbol tersebut melambangkan pentingnya mengeksplorasi keinginan manusia dengan cara yang benar secara moral.
Terlepas dari makna-makna simbol tersebut, banyak orang masih salah kaprah menyamakan simbol Freemason dengan Yahudi. Simbol-simbol keduanya memang mirip dan ada yang cenderung sama, padahal memiliki cerita sejarah yang berbeda.
“Sebenarnya gini lambang-lambang itu menarik itu sebenarnya itu bukan lambang-lambang Yahudi. Itu lambang-lambang diambil orang-orang Yahudi sendiri ketika mereka tinggal di Mesir,” ungkap Agus.