Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
Recep Tayyip Erdogan menang dalam pilpres Turki yang digelar Minggu (28/5) kemarin. Petahana berusia 69 tahun itu bakal memperpanjang kekuasannya untuk 5 tahun mendatang usai dua dekade berkuasa.
ADVERTISEMENT
Dikutip dari Al Jazeera, Kepala Dewan Pemilihan Umum Turki Ahmet Yener mengatakan Erdogan berhasil mengantongi 52,14 persen suara pada putaran final pemilu. Sementara rivalnya, Kemal Kilicdaroglu, meraih 47,86% persen suara.
“Dengan selisih lebih dari dua juta suara di antara para kandidat, sisa surat suara yang belum dihitung tidak akan mengubah hasil,” jelas Yener.
Oleh karena itu, hasil pemungutan suara yang diperoleh sudah bersifat resmi. Erdogan pun berhak mendeklarasikan kemenangannya.
Hasil pilpres tersebut turut mematahkan prediksi yang dibuat sejumlah lembaga survei. Dalam survei yang dilakukan Alf Research pada 6-7 Maret 2023, misalnya, Erdogan diprediksi hanya mendapat 44,9 persen suara. Sementara Kilicdaroglu mengantongi 55,1 persen suara. Temuan dari sejumlah lembaga survei lain pun senada.
ADVERTISEMENT
Erdogan sendiri memperoleh suara mayoritas dalam setiap pemilihan saat ia menjadi kandidat. Pada pilpres Turki pada tahun 2014, Erdogan memenangkan pemilihan dengan 51,79% suara. Kemudian, pada pemilihan presiden pada tahun 2018, Erdogan memperoleh 52,6% suara.
Dukungan Massa yang Setia
Di balik keberhasilannya menang pilpres, Erdogan mempunyai basis pendukung yang loyal di sejumlah provinsi. Pengamat politik Timur Tengah Universitas Indonesia, Yon Machmudi menilai, mereka secara kultur dekat dengan ideologi partai Erdogan, yakni Adalet ve Kalkınma Partisi (AKP) atau Partai Keadilan dan Pembangunan.
Terlebih, Erdogan mempunyai pengalaman memimpin Turki selama 20 tahun. Tak heran, perolehan suaranya mampu unggul lebih dari dua juta jika dibandingkan dengan pesaingnya.
Yon mengatakan, dengan masa memimpin lebih dari dua dekade itu, Erdogan juga menguasai berbagai macam infrastruktur dalam pemerintahan, sehingga kekuatannya jadi sulit dikalahkan.
ADVERTISEMENT
“Saya kira tidak ada alternatif lain yang menjanjikan selain Erdogan. Karena Kemal sendiri, satu, dia bukan pemimpin alternatif, ya. Kemudian track record-nya juga biasa saja,” jelas Yon saat dihubungi kumparan, Senin (29/5).
Erdogan sendiri meraih banyak suara karena berani menggelontorkan biaya besar demi infrastruktur. Salah satunya dilakukan usai gempa dahsyat mengguncang Turki pada 6 Februari lalu hingga merusak ratusan ribu bangunan.
Dalam kampanyenya, Erdogan berjanji bakal menghabiskan dana berapa pun untuk merekonstruksi daerah-daerah terdampak gempa. Karena janjinya ini, partainya, AKP, memenangkan suara di 10 dari 11 provinsi terdampak gempa di Turki dalam pemilu.
Menurut Yon, pada pilpres ini publik dihadapkan oleh dua pilihan: tetap dengan sistem pemerintahan saat ini atau beralih ke pemerintahan sekuler yang diusung Kemal seperti yang pernah berlaku di masa lampau.
ADVERTISEMENT
“Tentu sebagian besar, ya, berpikir lebih baik mempertahankan Erdogan daripada berubah seperti zaman dulu yang juga belum tentu ekonomi menjadi semakin baik,” kata dia.
Selama masa kepemimpinannya, Erdogan mampu mengambil hati rakyat dengan berbagai kebijakan yang berlandaskan Islam. Beberapa di antaranya adalah memperjuangkan penggunaan hijab di seluruh sektor, pengajaran Al-Quran dan Hadis di sekolah-sekolah negeri–yang sudah lama hilang, melarang minuman keras, hingga mendukung perjuangan Palestina.
Ia bahkan mengubah Hagia Sophia yang mulanya musem menjadi masjid. Namun, kebijakan-kebijakan politiknya itu pula yang membuat dia dibenci oleh kaum sekuler ekstrem.
Sebelumnya, di bawah kepemimpinan Mustafa Kemal Ataturk, Turki merupakan negara sekuler. Artinya, agama masuk dalam ruang privat di bawah kontrol negara. Gagasan sekularisme menurut Mustafa Kemal kala itu pilihan paling tepat untuk membawa Turki jadi lebih baik. Seiring berjalannya waktu, sekularisme justru menjadi faktor merosotnya eksistensi pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Tahun 1980-an, gelombang demokratisasi terjadi di seluruh dunia. Masyarakat di Turki melihat gagasan sekularisme yang diusung Ataturk sudah kehilangan orientasi.
Alhasil, momen ini menjadi tonggak berdirinya partai-partai berbasis Islam. Meskipun banyak yang dibekukan karena ideologinya dinilai tak sesuai konstitusi Turki dan pengaruh militer yang cukup kuat, namun tak mengurangi semangat pejuang Islam di tengah politik yang sekuler.
Nah, sejarah besar terjadi saat Recep Tayyip Erdogan mendirikan partai AKP pada 14 Agustus 2001. Masyarakat mengapresiasi partai yang berkembang pesat ini, terutama saat berhasil menang pemilu tahun 2002. Partai Erdogan tersebut meraih 367 kursi dari total 550 total kursi di parlemen. Kejayaan AKP kian meroket pada pemilihan presiden 2003 saat Erdogan terpilih jadi perdana menteri dan pendiri lainnya, Abdullah Gul, menjadi presiden.
ADVERTISEMENT
Perbaikan demi perbaikan pun dijalankan. Usai dua kali jadi perdana menteri, Erdogan terpilih sebagai Presiden Turki pada 2014. Ia mengambil hati masyarakat dengan kebijakan-kebijakan yang dibawa dengan damai sesuai nilai-nilai Islam.
Menurut Yon Machmudi, ada perbedaan yang mencolok antara pemerintahan Erdogan dan pemerintahan sebelumnya. Ini yang bikin Erdogan terus mendapat dukungan dari pengikutnya.
“Erdogan kan dari sisi ekonominya sangat pro kepada manfaat kepada rakyat, perbaikan ekonomi, infrastruktur, transportasi, dan lain sebagainya. Yang itu tidak terjadi pada masa sebelumnya,” jelas Yon.
Posisi AKP sebagai partai mayoritas juga memberi pengaruh terhadap kepercayaan masyarakat Turki kepada Erdogan. Apalagi, Erdogan masih menjabat sebagai ketua partai itu.
Pada tahun 2017 lalu, Erdogan bahkan menggelar referendum soal sistem pemerintahan. Ia menawarkan agar Turki menganut sistem presidensial ketimbang parlementer. Hasilnya, sebanyak 51,4 persen suara menyatakan "Ya". Sementara sisanya sebesar 48,6 persen memilih "Tidak". Erdogan pun bisa melenggang bebas sebagai presiden setelah sebelumnya menjadi perdana menteri.
ADVERTISEMENT
Apakah Publik Puas?
Pada Maret 2022, lembaga independen Metropoll merilis hasil survei terkait kepuasan publik atas kinerja Presiden Erdogan. Data itu diambil sejak Desember 2011 (saat Erdogan masih jadi PM) hingga Maret 2022.
Dari survei tersebut, tingkat kepuasan tertinggi ada pada Juli 2016 kala percobaan kudeta melanda Turki. Namun sejak pandemi 2020, angkanya cenderung turun. Apalagi, kasus positif corona di Turki sempat meningkat di tahun 2021.
Nah, awal tahun 2022, kepuasan publik terhadap kinerja Erdogan mulai naik lagi. Saat itu, Turki meluncurkan pocket satellite pertamanya. Erdogan pun mengubah identitas negaranya dari "Turkey" jadi "Türkiye".
Selain itu, pada Januari 2022, angka penerimaan Erdogan naik sebanyak 2,1 persen sejak Desember 2021 dari 38,6 persen jadi 40,7 persen. Kenaikan ini juga dipengaruhi situasi ekonomi di sana. Meski tengah dilanda inflasi tinggi, mata uang lira saat itu bertahan stabil dalam beberapa minggu.
ADVERTISEMENT
Jadi Presiden Lagi, Lantas Apa?
Perayaan kemenangan Erdogan diikuti dengan banyak tugas baru, khususnya di bidang ekonomi. Pasalnya, negara tersebut tengah mengalami inflasi.
Tingkat inflasi yang mencapai 44 persen itu sudah mempengaruhi banyak aspek kehidupan masyarakat Turki. Harga kebutuhan sehari-hari hingga sewa rumah melonjak. Keadaan diperparah dengan enggannya Erdogan menaikkan suku bunga serta mengamati kebijakan ekonomi umum.
ADVERTISEMENT
Yon mengatakan, masalah ekonomi ini harus segera ditangani. Selain itu, menurutnya, Erdogan juga harus memperbaiki hubungan dengan Kurdi. Para militan suku Kurdi selama ini dinilai sebagai ‘teroris’.
“Berkaitan dengan separatis Kurdi, bagaimana kemudian bisa menjadikan Kurdi bagian berintegrasi secara penuh dengan Turki, sehingga tidak menjadi musuh negara,” ujar Yon.
Di balik sorak sorai pendukung yang loyal, terpilihnya Erdogan menimbulkan kekhawatiran dari sisi kelompok LGBT. Sejak 2015–setahun setelah dia terpilih sebagai presiden untuk periode pertama, parade gay telah dilarang.
ADVERTISEMENT
Selama kampanye pilpres ini, Presiden Erdogan kerap menyinggung kelompok tersebut. Dia pun mengatakan kepada loyalisnya yang konservatif bahwa pihak oposisi terus mempromosikan hak-hak LGBT.
“Tak ada orang LGBT yang keluar dari negara ini. Kita tidak akan menodai struktur keluarga kita. Berdirilah tegak seperti laki-laki, keluarga kita seperti itu,” ujarnya dalam sebuah pawai di Kota Izmir.
Dikutip dari The Independent, Erdogan dalam kampanyenya mengeklaim telah meraih ‘kejayaan di mana tak ada kaum yang tertinggal”. Momen dia terpilih lagi sebagai presiden ini bakal jadi pembuktian atas janji-janji untuk perubahan yang lebih baik di Turki.
Live Update
Pada 5 November 2024, jutaan warga Amerika Serikat memberikan suara mereka untuk memilih presiden selanjutnya. Tahun ini, capres dari partai Demokrat, Kamala Harris bersaing dengan capres partai Republik Donald Trump untuk memenangkan Gedung Putih.
Updated 5 November 2024, 20:55 WIB
Aktifkan Notifikasi Breaking News Ini