Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Mengapa Lembaga Survei Gagal Memprediksi Hasil Pilpres Turki?
17 Mei 2023 11:19 WIB
·
waktu baca 6 menitADVERTISEMENT
Sejumlah lembaga survei gagal memprediksi hasil Pilpres Turki. Recep Tayyip Erdogan yang 'diramal' kalah dalam sekali putaran malah unggul dibandingkan pesaingnya, Kemal Kilicdaroglu.
ADVERTISEMENT
Dalam survei yang dilakukan Alf Research pada 6-7 Maret 2023, misalnya, Erdogan diprediksi hanya mendapat 44,9 persen suara. Sementara Kilicdaroglu mengantongi 55,1 persen suara. Temuan dari sejumlah lembaga survei lain pun senada. Erdogan disebut kalah telak dan Turki akan punya pemimpun baru.
Persoalannya, berdasarkan hasil penghitungan suara, Minggu (15/5), sang petahana justru mendapat sekitar 49,5 persen suara hampir menyentuh ambang batas untuk menang satu putaran. Sementara Kilicdaroglu mendapat 45 persen suara dan calon lainnya, Sinan Ogan, hanya memperoleh 5,5 persen suara. Praktis, pemilu akan dilaksanakan dalam dua putaran pada 28 Mei mendatang antara Erdogan dan Kilicdaroglu.
Kini pertanyannya adalah: Mengapa survei-survei bisa keliru dalam memprediksi kekalahan Erdogan?
ADVERTISEMENT
Problem Metodologi Survei
Pengamat politik Timur Tengah Universitas Indonesia, Yon Machmudi, curiga bahwa ada banyak pendukung Erdogan yang tak ter-cover dalam survei. Terlebih, kata dia, Erdogan punya basis pendukung yang loyal selama dirinya dua dekade berkuasa.
“Saya kira ada faktor juga terkait pendukung loyal dari Erdogan yang memang berada pada basis-basis tertentu, ya, di wilayah-wilayah pedalaman yang mungkin tidak tercover oleh survei dan cenderung tidak muncul,” jelas Yon kepada kumparan, Selasa (16/5).
Sejauh ini, menurutnya, masyarakat Turki dihadapi dua pilihan. Tetap mempertahankan Erdogan yang konservatif atau kembali pada rezim terdahulu yang cenderung sekuler seperti yang bakal dibawa Kilicdaroglu. Persoalannya, kata dia, kelompok oposisi sulit untuk meyakinkan masyarakat pedesaan yang notabene jadi basis Erdogan yang religius.
ADVERTISEMENT
“Tentu pendukung Kemal Kilicdaroglu cukup banyak. Tapi ya bagaimana upaya Erdogan yang selama 20 tahun berkuasa itu kemudian menjadi kekuatan tersendiri. Karena bagaimana pun, dia (Erdogan) menguasai birokrasi dan juga dasar negara,” kata Yon.
Survei sendiri pada dasarnya merupakan instrumen membaca perilaku pemilih saat kuisioner disebar. Sebuah survei akan sangat tergantung pada waktu, lokasi, serta kejujuran responden. Paling tidak ada 5 hal yang menyebabkan hasil survei tidak akurat.
Dalam wawancaranya kepada kumparan pada 2018 lalu, Sekjen Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi), Yunarto Wijaya, menegaskan survei bukanlah alat memprediksi hasil pemilu. Menurutnya, data yang diperoleh pun merupakan data saat survei yang harinya bisa jadi masih sangat jauh dari hari pemungutan suara.
ADVERTISEMENT
"Makanya pertanyaannya 'jika pemilu dilakukan hari ini, bukan siapa yang akan Bapak pilih'," kata Yunarto.
Setiap lembaga survei punya metode yang berbeda dalam menentukan sample, jumlah responden, teknik pengolahan data, termasuk penyajiannya. Hasil survei tidak bisa dibandingkan antara satu lembaga survei dengan yang lain, karena waktu pengumpulan data pun berbeda.
"Survei kebutuhannya untuk kandidaat dan timses, bukan untuk masyarakat," ucap Direktur Eksekutif Charta Politika itu.
Salah satu lembaga survei yang terlibat pada Pemilu Turki adalah MAK. Mereka pun telah buka suara soal alasan hasil survei bisa berbeda dengan kenyataan. Menurut pejabat MAK, Mehmet Ali Kulat, gempa besar Turki dan bulan Ramadhan menyebabkan pihaknya kesulitan dalam menggelar jajak pendapat.
ADVERTISEMENT
"Ada periode 20 hari setelah Ramadan dan secara legal, kami tak boleh menggelar jajak pendapat di 10 hari terakhir. Ini menyulitkan kami. Namun, sebagai perusahaan riset, kami tak boleh mencari-cari alasan," ujar Kulat kepada Reuters.
Sementara itu, ahli strategi perkembangan pasar SEB, Erik Meyerson, menyebut survei di Turki bisa saja salah jika warga tak jujur dalam mengisi survei. Hal itu pun menurutnya bisa terjadi di negara-negara lain.
"Pemilih mungkin memberikan sinyal soal ketidakpuasan mereka terhadap kebijakan pemerintah dengan memilih oposisi di survei, tapi pada kenyatannya mereka akan tetap memilih petahana saat pemilu," ujar Erik.
Survei Bisa Mempengaruhi Pemilih
Sebelum pemilu putaran pertama berlangsung, Presiden Erdogan sempat murka terhadap Barat. Pemimpin berusia 69 tahun itu melontarkan kritik tajam usai majalah The Economist pada edisi Mei menyasar dirinya dengan sampul bertuliskan ‘Erdogan harus pergi’, ‘Selamatkan demokrasi’, dan ‘Gunakan hak pilih’.
ADVERTISEMENT
Selain The Economist, media asal Perancis Prancis Le Point dan L’Express turut membahas soal anti-Erdogan. Publikasi serupa juga terbit di majalah berita besar di Jerman, Spiegel, yang menuliskan soal ‘takhta’ Erdogan ‘sedang terguncang’.
Terkait publikasi-publikasi ini, Erdogan dalam sebuah acara kampanye pada Jumat (12/5) mengecam Barat dan menilai itu sebagai upaya eksternal untuk mempengaruhi opini masyarakat Turki.
“Bagaimana Anda menaruh kata-kata ini di sampul majalah-majalah tersebut? Ini bukan urusan Anda, Barat! Ini urusan bangsa saya untuk memutuskannya,” kecamnya.
Apa yang terjadi di Turki lalu membuat orang bertanya: Apakah hasil survei di sana juga merupakan bagian dari penggiringan opini itu? Sulit untuk memastikannya. Namun yang jelas, hubungan survei dengan kecenderungan memilih itu memang ada.
ADVERTISEMENT
Dalam jurnal 'Bunga Rampai Tata Keola Pemilu Indonesia' (2020) yang diterbitkan KPU RI, survei bisa mempengaruhi pemilih pemula. Studi kasusnya adalah saat Pilkada Jakarta 2017 lalu.
Melalui analisis korelasi pearson, disebutkan bahwa hasil polling berpengaruh terhadap pembentukan opini pemilih pemula sebesar 30,5 persen. Pemilih pemula biasanya baru menginjak usia 17 tahun.
Ekonomi Turki Masih Kacau
Terlapas dari hasil pemilu, publik Turki sendiri memang tenah berjuang dari krisis. Sejak akhir pemilu 2018, inflasi Turki konsisten berada di angka dua digit. Inflasi dimulai setelah krisis mata uang pada akhir 2021. Itu disebabkan oleh pemotongan suku bunga dan kebijakan ekonomi gaya non-ortodoks yang dilakukan Erdogan.
Mata uang Turki, Lira, pada 2021 kehilangan nilai sebesar 44 persen. Pada 2022 sebanyak 30 persen. Total sejak periode kedua Erdogan menjabat nilai Lira hilang sebanyak 76 persen. Publik pun mengeluh lantaran harga bahan-bahan pokok terus membengkak.
ADVERTISEMENT
Tak hanya soal inflasi, turunnya dukungan terhadap Erdogan juga disebabkan oleh lambannya penanganan pemerintah saat gempa dahsyat melanda Turki pada Februari 2023 lalu.
Gempa berkekuatan 7,8 magnitudo itu menyebabkan 50 ribu lebih warga Turki kehilangan tempat tinggal. Mayoritas warga menilai pemerintah seharusnya bisa mencegah kerusakan masif.
Di tengah krisis itulah Kilicdaroglu datang. Ia merupakan pemimpin partai oposisi sekuler utama di Turki Partai Rakyat Republik (Cumhuriyet Halk Partisi/CHP). Dia adalah satu-satunya kandidat yang diusung oleh koalisi enam partai oposisi. Koalisi besar yang terdiri atas partai sayap kanan, kiri, dan tengah ini disebut juga dengan Table of Six atau Aliansi Bangsa.
Mereka memegang mimpi mengembalikan sistem pemerintahan Turki kembali ke parlementer, setelah sempat diubah menjadi eksekutif-presidensial oleh Erdogan pada 2016 ketika kudeta terhadap pemerintahannya saat itu gagal.
ADVERTISEMENT
Pemilu Turki 2023 ini turut bakal menentukan ke arah mana Turki sebagai sekutu NATO di tahun-tahun mendatang. Sebab, Kilicdaroglu punya keinginan agar Turki kembali ke pro-Barat dan lebih demokratis.